Sabtu, 26 Mei 2018

BUKU PENDING EMAS 4 PENULIS J. HERLINA

Ki Slamet Blog - Kita Semua Wayang
Minggu, 27 Mei 2018 - 08:20 WIB

Image "Sang Saka Merah Putih" (Fato: Google)
Sang Saka Merah Putih

Aku biasa saja, sudah terlatih dan kebal. Panaspun, aku tidak. Waktupun berjalan terus, sampai jauh malam. Aku minta diri untuk segera pulang. Kuanggap tidak ada apa-apa, asal aku tidak mengganggu mereka dan semua kuhormati lebih dari diriku.
Kudengar bahwa Kepala Staf  akan mengadakan peninjauan ke daerah Maluku Utara. Tentu beliau pergi dengan rombongan besar dan memakai kapal sendiri. Daripada menunggu kapal lain terlalu lama, kalau beliau tidak keberatan lebih baik aku ikut dengan kapal ini.
Tanggal 12 Nopember 1961 dengan rombongan Kepala Staf aku naik kapal Tirtonadi, meninggalkan pelabuhan Ambon. Untung ada seorang keluarga yang ikut serta dalam kapal, sehingga aku bukan wanita satu-satunya.
Mayor Suryadi hanya kawan seperjalanan. Tapi karena baik sekali, lagi anggota serumah denganku, Lt Adelan serta Kapten Saroa, maka rasanya seolah-olah keluaarga sendiri. Perpisahan dengan beliau itu cukup mengharukan. Biasanya, waktu makan selalu ditutup dengan humor yang mentertawakan. Pada umumnya tentara memang banyak humornya.
Sekarang suasana berubah. Di kapal ramai sekali, jumlah penumpang bertambah banyak. Tidurnya berderet, yang dapat kamar hanya Kepala Staf dan Dokter, lainnya di dek. Aku tidur dengan Nyonya Kapten Sulaeman, berjajar dalam satu deretan.
Dalam perjalanan sudah menjadi kebiasaan untuk membuat segala sesuatu menjadi meriah. kalau tidak demikian tentu menjemukan sekali. Lebih-lebih perjalanan dengan kapal, perlu adanya tukang banyol. Karena aku dianggap laki-laki, Dokter berusaha membuatnya lelucon. “Sebaiknya Herlina ini diperiksa saja, betul-betul wanita atau laki-laki. Setuju? Mari kita pegang saja Lina supaya diperiksa”.
Ya, begitulah antara lain sesuatu yang dicari-cari untuk bahan tertawa, dan kebetulan aku yang dapat dijadikan obyek.
Kami tidur di dek dengan tenda bocor-bocor. Waktu hujan turun dengan lebatnya, maka hanya beberapa orang sajalah yang terhindar dari tetesan air; yang lain nongkrong tidak bisa tidur, menunggu redanya hujan.
Setelah dua hari berlayar, sampailah kami di Ternate. Kunjungan Kepala Staf akan dilanjutkan ke pulau-pulau lain, yakni Tobelo, Morotai dan Soasiu.
Aku sudah di tempat tujuan. Rasa-rasanya masyarakat  Ternate heran kenapa aku kembali lagi. Untuk kedua kalinya aku di daerah ini. Pertama, ketika aku singgah sebagai pengeliling Indonesia. Yang kedua adalah sekarang ini untuk waktu yang tidak tertentu, sehingga Irian Barat kembali ke dalam wilayam wilayah kekuasaan Indonesia.
Pejabat-pejabat Ternate sibuk menyambut kunjungan Kepala Staf. Acaranya termasuk timbang-terima penggantian jabatan Dan Dim Maluku Utara.
Di Ternate tiada kesulitan rumah, aku mempunyai ibu yang sangat baik sekali kepadaku. Keluarga ini termasuk keluarga terkenal di Ternate.
Lalu lintas laut jarak dekat dilakukan dengan kapal  kecil milik pak Iskak, walaupun kecil, memegang perananan penting.
Sampai saat Kepala Staf tiba di daerah, angkatan Darat masih mempunyai pinjaman pada pak Iskak. Pada kesempatan kunjungan inilah kumintakan supaya pak Iskak dapat perhatian mengenai pinjaman yang belum dibayar. Overste Fatah akan menyelesaikan dengan segera setelah beliau kembali ke Ambon.
Waktu beliau akan kembali melanjutkan perjalanannya ke Tobelo, aku diminta untuk ikut. Tawaran itu kusambut dengan senang hati.
Kunjungan beliau merupakan bahan berita dalam surat kabarku nanti. Perjalanan Ternate — Tobelo hanya berlangsung 8 jam.
Merupakan tradisi bahwa daerah-daerah yang kukunjungi mengadakan upacara adat sebagai penghormatan. Waktu kapal memasuki pelabuhan, perahu-perahu berhias dengan wanita-wanita di dalamnya menyanyikan lagu-lagu adat disertai bunyi-bunyian, menjemput kami.
Pejabat-pejabat setempat meminta para tamu pindah ke dalam perahu menuju ke pelabuhan. Ramai sekali rakyat Tobelo berderet di kiri dan di kanan jalan. Tari Cakalele merupakan acara tetap pada setiap penyambutan kunjungan tamu. Masyarakat Tobelo pun sudah mengenal aku, mereka juga memberi salam atas kedatanganku yang kedua kalinya di daerah ini. Murid-murid SR, SMP menyanyi koor yang diperdengarkan di sepanjang jalan yang dilalui rombongan tamu. Kami pun sebentar-sebentar harus berhenti mendengarkan lagu-lagu yang khusus disusun untuk kunjungan tersebut. isinya mengharukan. Syairnya bertema kenyataan-kenyataan penderitaan rakyat di daerah, yang minta diperhatikan. Mereka percaya bahwa pada pemimpinlah tempat permohonan perbaikan nasib .............................
Kenyataannya, kadang-kadang ada pemimpin yang sampai hati menelan hak rakyat untuk kepentingan diri sendiri. Rakyat hanya diberi janji yang tidak pernah dipenuhi. Toh rakyat tetap setia, sekalipun janji pemimpinnya tidak pernah dibuktikan. Mereka tetap menunjukkan kesetiaannya memberi sambutan yang hangat ada setiap kunjungan, walaupun mereka tidak mempunyai apa-apa kecuali tidak jemu-jemu mengingatkan pemimpinnya : “Ingatlah nasib kami”.
Kalau memang pemimpin rakyat, tidak usah lagi rakyat meminta-minta. Pemimpin cukup melihat kenyataan, ia pasti tidak sampai hati untuk mencari kekayaan dan keuntungan bagi diri sendiri. Ikut menderita dengan rakyatnya, aku pikir lebih baik, daripada mentereng di tengah-tengah kemiskinan.
Hasil pokok daerah adalah kopra. Kopra ini dibeli dengan uang belakangan. Bagaimana rakyat bisa hidup ? Karenanya rakyat menjadi malas, kelapanya ditinggal saja bertumpukan, mereka nanti toh tidak menerima uang.
Aku tidak tahudimana letak kepincangan ini
Pohon sagu di Ma luku tidak pernah habis dan tidak perlu ditanam seperti padi. Di daerah ini, misalnya Morotai, rakyatnya makan pisang bakar. Memang enak juga pisang bakar, tapi bagaimana jadinya kesehatan merka. Bagi mereka tidak apa-apa, karena itulah makan pokoknya , dan mereka tidak tahu bahwa ada beras yang mereka berhak menikmatinya.
Untunglah Indonesia mempunyai rakyat yang nrimo. Kalau ada, baiklah ! Kalau tidak ada, ya sudah. Mereka hanya tahu di dunia, lain tidak ! Apa yang mereka makan adalah kemurahan Tuhan. Padahal mereka mempunyai pemimpin-pemimpin yang dicintai. Tapi pemimpin bukan hanya untuk dicintai, ia harus memperhatikan rakyatnya.
Tidak hanya cukup dengan pidato yang berisikan menganjurkan kerja keras dan jujur. Rakyat tidak tahu bagaimana anjuran ini dilaksanakan.
Siapa yang sebenarnya tidak jujur ? rakyat yang mana ? mungkinkah rakyat yang jelata tidak jujur? Selamanya rakyat yang dibawah itu tidak tahu apa-apa. Kadang-kadang pemimpin berteriak untuk rakyat, padahal mereka sendirilah yang menelan hak rakyat ! ini merupakan penyakit, rupanya bukan di Ibukota saja, tapi juga di daerah-daerah.
Kapan penyakit ini akan berakhir, entahlah ?! dapatkah generasi baru ini merobah atau malahan menambah ? Apa yang kulihat merupakan pengalaman untukku dan menjadi pelita bagiku sebagai anggauta generasi baru, walaupun aku tidak mempunyai arti apa-apa. Namun aku sebagai putera Indonesia tidak rela melihat kemerdekaan Indonesia akan diperkosa oleh segolongan manusia-manusia Indonesia yang tidak bertanggung jawab, yang sampai hati memperkaya diri dialunan ratap rakyat...........
Dengan menari ronggeng, berdansa, tertawa gembira, rakyat yang berhati murni melupakan apa yang mereka derita. Barulah setelah tamu-tamu pergi, terasa apa yang sedang mereka hadapi : pisang bakar, anak telanjang, tak ada sekolah, sungguh menusuk hati. Memang aneh, ditempat lain memberantas buta huruff, tapi di pulau kecil lain membentuk buta huruf. Tidak ada sekolah, anak-anak harus naik perahu, mendayung sendiri, sedang orang tuanya mencari nafkah. Lain dengan di kota besar, anak-anak diantar dengan mobil atau sepeda, beca. Tapi dalam lalu-lintas antar laut hal ini tidak mungkin. Inilah oleh-olehku dalam perjalanan mengikuti rombongan yang cukup berkesan.
Mudah-mudahan saja hasil peninjauan ini menjadi perhatian. Tidak semua pemimpin sama. Rakyat masih beruntung mempunyai tempat untuk menaruhkan kepercayaannya.
Kunjungan terakhir adalah Soasiu, kota ini masih termasuk Kodam XV, walaupun Soasiu merupakan suatu propinsi tersendiri.
Setelah rombongan berangkat, Ternate berkurang ramainya, tinggallah lelahnya saja, tak ubahnya seperti mengadakan pesta. Kalau selesai, tinggallah lelahnya.
Mengapa aku sampai di sini, kadang-kadang aku berpikr. Seolah-olah khayalan ! Aku masih ingat pada kata-kataku, kepada polisi-polisi muda yang dipindahkan ke Soasiu. Waktu itu mereka sangat menyesal atas kepindahan ke Soasiu. Waktu itu mereka sangat menyesal atas kepindahan ke daerah yang sangat sunyi seperti Soasiu. Mereka merasa tertipu. Yang disebut Propinsi Irian Barat itu nyatanya seperti daerah mati belaka. Walaupun mereka laki-laki, namun banyak yang menangis. Maklum umur mereka juga masih diantara 17 – 22 tahun, begitu keluar dari pendidikan Sukabumi langsung dibawa ke Soasiu. Tentu saja kaget. Aku ngobrol dengan mereka, kuusahakan obrolan-obrolanku itu menanamkan pengertian, bahwa kepindahan mereka ke daerah ini merupakan tugas yang mulia.
Kapan lagi kita bersedia bertugas di daerah yang sunyi, kalau kita masih berpikir bahwa dipindahkan di tempat yang  sunyi, adalah buangan ! justeru kepindahan mereka di Soasiu banyak pengaruhnya pada masyarakat. Setidak-tidaknya penduduk Soasiu penduduk Soasiu ada pandangan baru.
Pemuda-pemuda tampan lagi gagah. Anjuran Presiden dapat segera terlaksana. Dengan adanya asimilasi antar daerah, Soasiu yang sunyi dapat menjadi lebih ramai. Jika biasanya hanya orang-orang yang sudah berkeluarga saja yang berdatangan, sekarang datang pula yang masih bujang-bujang. Memberi semangat, terutama kepada gadis-gadis di situ.
Pingitan nantinya akan berkurang. Kukatakan kepada mereka, bahwa kalau sudah selesai berkeliling Indonesia, aku akan bersedia di tempat yang sunyi. Inilah sekarang kubuktikan, bahwa apa yang kukatakan betul-betul kulaksanakan.
Apa yang mereka rasakan akan kurasakan juga. Memang benar tidak cukup hanya dengan kemauan saja. cita-cita harus dicapai dengan usaha, tapi modal utama adalah kemauan. Tanpa adanya kemauan, manusia tak akan berusaha. 
  
S u m b e r  :
J. Herlina – Pending Emas
PT Gunung Agung – MCLXIV 
Cetakan ke 2 – 1965
Mei 2018 - 08:17 WIB



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar