Jumat, 18 November 2016

SEJARAH KAKAWIN BHARATAYUDA Oleh : Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto

Blog Ki Slamet 42 : Kita SemuaWayang
Sabtu, 19 November 2016 - 06:23 WIB

 
Karna vs Arjuna

Kakawin Bharata-Yuddha yang ditulis oleh Mpu Seddah dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh merupakan salah satu karya indah dari zaman Kediri dan disusun atas perintah raja Jayabhaya. Sekalipun tidak disebutkan, bahwa raja Jayabhaya itu dalam kakawin Bhaeata-Yuddha memerintah di Kediri, melainkan bertahta di Daha, dapat diketahui, bahwa Daha itu sama dengan Kediri. Ialah pecahan dari kerajaan Airlangga yang pada akhir bertahtanya telah dibagi menjadi dua, ialah Janggala dan Kaddiri.
Begitu pula, karena nama nama raja Jayabhaya itu dikenal dari beberapa prasasti yang menyebutkan nama raja itu sebagai raja Kediri dan berangka tahun 1135 dan 1146,  nama Jayabhaya dari kakawin Bharata-Yuddha itu dapat diidentifikasikan dengan nama Jayabhaya dari prasasti-prasasti tersebut. karena kakawin Bharata-Yuddha juga berangka tahun dalam bentuk candra tahun Çaka 1079, ialah tahun Masehi 1157 ini tidak berselisih dengan angka tahun 1135 dan 1146, sehingga dengan ini dapat ditentukan, bahwa Jayabhaya dari prasasti-prasasti itu identik dengan Jayabhaya dari kakawin Bharata-Yuddha.
Jaman Kediri yang berkembang antara tahun 1104 dan 1222 itu merupakan zaman keemasan kesusasteraan Jawa kuno dan banyak kitab kakawin telah diciptakan oleh beberapa pujangga, seperti Mpu Dharmaja, Mpu Sêddah dan Mpu Panuluh tersebut di atas, Mpu Monagunna, Mpu Trigunna, Mpu Tanakung dan sebagainya.
Sekalipun dari zaman Kediri dan dari zaman sesudah berkembangnya kerajaan Kediri itu banyak karya para pujangga yang diciptakan dalam bahasa Jawa kuno, hanya kira-kira 4 kakawin yang tetap hidup dan dikenal dalam kesusasteraan Jawa baru, ialah Kakawin Ramayana, kakawin Arjuna-wiwaha, kakawin Bharata-Yuddha dan kakawin Uttara-kanndha, sedangkan sebaliknya 4 kakawin tersebut bersama-sama kakawin lainnya tetap dibaca dan hidup di pulau Bali dan di pulau Lombok hingga sekarang. Apabila kitab-kitab dari kesusasteraan Jawa kuno itu dilanjutkan tradisinya di Bali dan Lombok, disebabkan karena kerajaan dari Jawa itu telah diluaskan ke Bali, sejak zaman Kertanegara dari Singasari dan pada zaman Majapahit, ketikaMahapatih Gajah Mada mempersatukan Indonesia. Janggal ataupun tidak janggal kedengarannya, tapi kenyataannya ialah, bahwa rakyat di Bali dan Lombok itulah yang memelihara kesusasteraan Jawa kuno.
Sebaliknya apabila di kedua pulau itu perhatian terhadap kesusasteraan Jawa kuno tetap dipelihara, di Jawa sendiri pemeliharaan buah-buah kesusasteraan tersebut mulai terlantar. Salah satu sebabnya ialah, karena sejak runtuhnya kerajaan Majapahit yang menjadi pusat kegiatan kesusasteraan Jawakuno, tidak ada lagi pusat kekuasaan politik yang memberi iklim dapat berkembangnya kesusasteraan tersebut. sebab setelah Majapahit runtuh dan kekuasaan politik yang terpecah-pecah dalam tangan beberapa kepala daerah pesisir yang telah memeluk agama Islam, seperti Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Giri, dan sebagainya. Rupa-rupanya pujangga-pujangga yang mencari nafkah hidup itu sesudah runtuhnya Majapahit mengabdikan diri kepada kepala-kepala daerah yang ada di daerah pesisir tersebut dan terus memelihara kesusasteraan Jawa kuno sambil menciptakan karya-karya baru dalam bahasa Jawa baru yang diabdikan untuk meluaskan agama Islam.
Engan ini dapat dikonstruksikan, nahwa pertumbuhan kesusasteraan Jawa kuno menuju ke arah kesusasteraan Jawa baru melalui kesusasteraan Jawa tengahan, garisnya dapat ditarik dari Majapahit menuju Gresik – Giri dan menuju ke Demak yang berkembang antara tahun 1500 – 1555 dan sekitarnya. Karena dari sejarah politik dapat diketahui, bahwa setelah Demak yang dapat direbut sebagian dari bekas kekuasaan politik Majapahit itu runtuh, kekuasaan politik pindah ke Pajang untuk akhirnya pindah ke Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senapati dan Sultan Agung, garis pertumbuhan dan kehidupan kesusasteraan itu juga jalan melalui garis politik tersebut, ialah Demak – Pajang – Mataram. Adanya  garis pertumbuhan kesusasteraan itu dibuktikan oleh kitab Kojajahan yang menurut penyelidikan R.M. Ng. Dr. Poerbacaraka berdasarkan atas gaya bahasanya berasal dari Gresik – Giri dan yang disebut-sebut dalam kitab Nitisruti. Apabila kitab Nitisruti menurut dongeng adalah ciptaan Pangeran Karanggayam dari Pajang, menurut R.M.Ng.Dr. Poerbacaraka berasal dari zaman Mataram awal, ialah pada zaman Panembahan Seda Krapyak ( 1601 – 1613 ), raja Mataram yang kedua. Dengan ini jelaslah, bahwa garis pertumbuhan kesusasteraan Jawa baru itu dapat ditarik dari Gresik – Giri  menuju ke Demak dan Pajang untuk akhirnya sampai di Mataram zaman Islam. Berdasarkan atas kitab Nitisruti itu disusun kitab Nitipraja yang ditulis tahun 1641 dan menurut dongeng kita Nitipraja itu merupakan karya Sultan Agung ( 1613 – 1645 ) sendiri.
Apabila garis pertumbuhan kesusasteraan Jawa kuno dapat diikuti dari sejak zaman kediri, Singhasari dan Majapahit, padahal telah dibuktikan bahwa kesusasteraan Jawa kuno dari zaman Majapahit itu juga melalui Gresik – Giri dan Demak tumbuh  di Pajang dan Mataram sehingga menjadi kesusasteraan Jawa baru, tidak dapat diingkari lagi bahwa ada garis pertumbuhan yang melalui waktu yang lama, ialah dimulai dari abad 11 pada zaman Kediri sampai pada zaman Mataram awal pada abad 17.  Berdasarkan adanya pembuktian, bahwa ada garis pertumbuhan kesusasteraan yang menuju kesusasteraan Jawa baru, gugurlah pendapat Prof. Dr. C.C. Berg yang mengatakan, bahwa kesusasteraan Jawa baru dari zaman Mataram Islam itu tidak ada hubungannya dengan kesusasteraan Jawa kuno dari Majapahit, Singhasari dan Kediri.
Dengan ini dapat diketahui, bahwa 4 buah kitab dari kesusasteraan Jawa kuno, ialah kakawin Ramayana, kakawin Uttarakanda, kakawin Arjuna-wiwaha, dan kakawin Bharata-Yuddha dengan melalui pemeliharaan di puasat-pusat kesusasteraan di Gresik – Giri. Demak dan Pajang sampai Mataram.
Pada zaman Mataram, khususnya pada zaman Kartasura akhir dan dan Surakarta awal pada kira-kira tahun 1755. Jumlah pujangga yang mengenal kesusasteraan Jawa kuno hanya tinggal sedikit dapat dihitung dengan jari. Karena timbul rasa kekhawatiran, bahwa kitab-kitab kakawin dalam bahasa Jawa kuno itu akan hilang, karena tidak terbaca lagi, beberapa orang pujangga, di antaranya Raden Ngabehi Jasadipura mulai menyadur kitab-kitab kakawin tersebut dalam bahasa Jawa baru dengan menggunakan tembang macapat. Karya-karya baru itu disebut jarwa yang berarti makna.
Dalam hal ini R.Ng. Jasadipura telah menyadur kitab kakawin Ramayanna dan kakawin Bharata –Yuddha dari bahasa Jawa kuno ke dalam bahasa Jawa baru yang masing-masing menjadi serat Rama atau Ramayana Jarwadan Serat Bratayuda atau Bratayuda Jarwa, sedangkan kitab kakawin Arjunna – Wiwaha atau Wiwaha Jarwa dan juga terkenal dengan Mintaraga oleh Paku Buwana III ( 1749 – 1788 ) dan satu naskah Serat Arjuna – Wiwaha lainnya yang dikatakan sebagai karya R.Ng. Jasadipura juga. Kakawin yang ke – 4 ialah kakawin Uttara – Kanndda, telah disadur dalam bahasa Jawa baru oleh R. Ng. Sindusastra dengan judul Serat Arjunasasrabau dan juga terkenal dengan nama Serat Lokapala. Dalam hubungan itu perlu diterangkan, bahwa apabila kitab-kitab kakawin itu mempergunakan bahasa Jawa kuno dengan memakai aturan syair India, kitab-kitab yang disebut Jarwa itu mempergunakan bahasa Jawa baru dengan memakai aturan syair Indonesia asli yang disebut macapat. ************ 2
Tentang kakawin Bharata – Yuddha dalam bahasa Jawa kuno ini dapat dikatakan, bahwa kitab ini disadur dalam bahasa Jawa baru menjadi Serat Bratyuda Jarwa oleh R.Ng. Jasadipura bersama-sama dengan kakawin lainnya di sekitar tahun 1755, ialah kira-kira akhir zaman Mataram Kartasura dan permulaan zaman Surakarta atau Surakarta awal. Kitab Serat Bratyuda ini merupakan satu-satunya kitab dalam kesusasteraan Jawa baru yang menyebutkan seorang tokoh sejarah, ialah raja Jayabaya dari Kediri, seperti disebutkan dalam kitab tersebut. sebab dengan adanya perpindahan puat kekuasaan politik dari Kediri, Singhasari, Majapahit, Demak dan Pajang menuju ke Mataram, hubungan sejarah antara kerajaan-kerajaan itu telah terputus-putus.
Tetapi, kakawin Bharata-Yudha dalam pupuh I  6 dan 7, begitu pula dalam Pupuh LII  10-13 itu disebutkan nama raja Jayabhaya, nama raja ini terkenal juga sampai pada zaman Mataram Kartasura, ketika kakawin Bharata-Yudha itu disadur menjadi Serat Baratayuda oleh R.Ng. Jasadipura, Justru karena dalam seluruh kesusasteraan Jawa baru hanya dikenal seorang tokoh sejarah saja, nama Jayabaya itu bersama-sama dengan Serat Bratayuda yang juga mulai dipertunjukkan sebagai wayang itu menjadi keramat. Bahkan nama raja Jayabaya dihubungkan dengan pralambang atau ramalan-ramalan tentang sejarah pulau Jawa pada waktu yang akan datang, yang pada dasarnya merupakan suatu kepercayaan kepada seoran ratu adil yang telah dijalinkan dengan pengetahuan eschatologi Islam dan kepercayaan kepada kedatangan seorang Imam Mahdi.
Nama raja Jayabaya dalam kebudayaan Jawa juga menjadi keramat, karena cerita Bratayuda itu tidak secara sembarangan dapat dipertunjukkan sebagai permainan wayang kulit. Sebab, apabila tidak diadakan tindakaan-tindakan yang cermat untuk menghindarkan sesuatu yang dapat membahayakan, baik dalang atau pemukul gamelan, maupun orang yang mempunyai kerja atau penontonnya akan mengalami salah suatu bahaya, sehingga pertunjukan wayang dengan mengambil salah suatu episode dari cerita Bratayuda atau cerita seluruhnya itu sedapat mungkin tidak dipertunjukkan. Dari beberapa peristiwa yang dialami oleh mereka yang pernah melihat pertunjukan cerita Bratayuda sebagai lakon, ada beberapa macam kejadian, ialah dari kejadian yang biasa sampai kejadian yang sangat mengejutkan. Umpamanya saja dalangnya yang jatuh pingsan, kebakaran dalam dapur dan sebagainya. Dengan itu nama Jayabaya yang masih dikenal sebagai pencipta cerita Bratayuda secara psikologis makin kramat.
Karena adanya hal-hal yang misterius mengenai Serat Bratayuda dan lakon Bratayudaitu, cerita ini telah lama menjadi perhatian beberapa orang sarjana Barat yang mempelajari pengetahuan Orientalistik. Salah seorang yang tertarik oleh Serat Bratayuda saduran R. Ng. Jasadipura, ialah Thomas Stamford Raffles. Letnan Gubernur Inggris di Jawa, yang telah memuji keindahan Serat Bratayuda itu dalam kitabnya yang berjudul The Hisyory of Java. Karena kitab Serat Bratayuda pada waktu Raffles memegang kekuasaan di pulau Jawa ( 1811 – 1816 ) belum dicetak, artinya naskah-naskah masih dalam bentuk tulisan tangan, sebagian dari Serat Bratayuda itu oleh Raffles itu telah dimuat dalam kitabnya tersebut di atas. Dengan ini sebagian dari Serat Bratyuda telah dicetak dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
Sebagian akibat adanya kegiatan dari pihak Inggris yang sekalipun hanya berkuasa di pulau Jawa selama kira-kira 6 tahun, tetapi telah terbukti telah banyak menaruh perhatian sejarah  dan kebudayaan Indonesia. Pemerintah Beanda dan sarjana-sarjana Belanda mulai terbuka matanya, bahwa di Indonesia itu banyak manikam-manikam kesusasteraan yang tidak kalah nilainya dengan karya kesusasteraan di bagian dunia yang manapun juga. Tidak mengherankan, apabila sarjana P.P. Roorda van Eysinga, seorang sarjana Belanda dan Guru Besar dalam ilmu-ilmu yang mengenai kebudayaan Indonesia, pada tahun 1849 menterjemahkan sebagian dari Serat Bratayuda dalam bahasa Belanda. Karena yang diterjemahkan oleh Dr.P.P. Rooda van Eysinga itu hanya sebagian saja dari kitab Serat Bratayuda, kemudian Pemerintah Belanda minta kepada Dr. A.B. Cohen Stuart untuk menerbitkan seluruh kitan Serat Bratayuda dengan terjemahannya dalam bahasa Belanda. Naskah Serat Bratayuda itu selesai dicetak dengan huruf Jawa pada tahun 1856, dan pada tahun 1860 diterbitkan lagi dalam seri Verhandelingen Bataviaasch Genoofschap, sedangkan terjemahannya dalam bahasa Belanda juga diterbitkan sebagai seri Verhandelingen Bataviaasch Genooschap pada tahun 1860.
Orang boleh mengejek tentang cara bekerja Dr. A.B. Cohen Stuart dan beberapa banyak salah yang dibuatnya, tetapi sebagai perintis dalam penyelidikan kebudayaan Indonesia, pada waktu kira-kira sekitar tahun 1860-an, sarjana itu  termasuk salah seorang sarjana  yang tekun. Untuk menilai catatan-catatan mengenai kebudayaan yang ditambahkan kepada terjemahan Serat Bratayuda itu dapat diambil kesimpulan, bahwa Dr. A.B. Cohen Stuart itu telah memiliki pengetahuan kebudayaan dan kesusasteraan Jawa yang luas.
Bahwa dalam kalangan bangsa Indonesia sendiri juga ada yang memperhatikan Serat Bratayuda, dibuktikan dengan nyata ketika kitab ini diterbitkan di Surakarta oleh Diryaatmaja pada tahun 1901 dan 1908 dengan huruf Jawa. Ikhtisar dan isi Serat Bratayuda ini dimuat juga dalam karya, Kats yang mencoba untuk mengadakan tinjauan tentang wayang, karena seperti telah disinggung di atas bagian-bagian dari cerita Ramayana dan Mahabharata mulai dipertunjukkan sebagai wayang kulit. Barangkali lebih tepat untuk dirumuskan, bahwa lakon atau cerita wayang itu diambil dari Serat Rama Jarwa dan Serat Bratyuda Jarwa. ******* 3
Apabila perhatian bangsa Indonesia di Jawa dan dalam dunia Orientalistik ditujukan kepada Serat Bratayuda Jarwa yang mempergunakan bahasa Jawa baru, bangsa Indonesia di pulau Bali tetap mempelajari dan membaca kakawin Bharata-Yudha dalam bahasa Jawa kuno. Seperti diketahui naskah-naskah Jawa kuno seperti kakawin Ramayana, Bharata-Yudha dan sebagainya tetap dipelajari di dalam lingkungan puri ( istana ) oleh kaum bangsawan dan oleh rakyat yang mengikuti “mabasana”, ialah perkumpulan kesusasteraan yang mempelajari naskah-naskah kuno yang dikerjakan oleh khalayak ramai di Bali di bawah pimpinan seorang sastrawan yang mahir kesusasteraan Jawa kuno, karena kakawin Bharata-Yudha itu sebagai unsur agama Hindu Bali tetap hidup bersama dengan hidupnya agama itu, kakawin Bharata-Yudha yang banyak dibaca itu untuk sekian ribu kali ditulis dengan tangan di atas keropak atau daun lontar. Bahwa rakyat Bali mengenal dan mengerti bahasa Jawa kuno yang dipakai dalam kakawin Bharata-Yudha, dibuktikan oleh catatan-catatan antar baris ( interlinear ) dalam bahasa Bali untuk menerangkan kalimat atau kata-kata Jawa kuno dalam kakawin Bharata-Yudha. Catatan-catatan dalam bahasa Bali itu ternyata benar, apabila ditinjau dari sudut ilmu bahasa dan paramasastera. Begitu pula cerita kakawin Bharata-Yudha, kecuali menjadi bahan bacaan juga menjadi bahan seni lukis dan dipertunjukkan juga sebagai wayang kulit dan seni panggung di Bali.
Setelah Dr. A.B. Cohen Stuart menerbitkan Serat Bratayuda Jarwa, dunia Orientalistik mulai tertarik oleh kesusasteraan Jawa kuno, khususnya oleh kakawin Bharata-Yudha. Pada tahun 1873 Dr. H. Kern telah mulai memperhatikan kakawin Bharata-Yudha  ini dengan jalan membicarakan Pupuh XV yang dimuat dalam Bijdragen Koninklijk Instituut. Berdasarkan atas gaya bahasa dalam Pupuh XV yang menceritakan tentang usaha keluarga Pandawa untuk menggempur Jayadratha yang telah gugur membinasakan Abimanyu, sarjana Kern ini mengatakan, bahwa bahasa yang dipakai oleh kakawin Bharata-Yudha jelas dan tandas. Di samping mengajukan pendapat itu, Dr. H. Kern telah mengetahui juga, bahwa di dalam beberapa Pupuh yang ada dalam kakawin Bharata-Yudha itu ada bagian-bagian yang disisipkan dan dalam Pupuh XV itu telah diketemukan bagian yang disisipkan.
Perhatian terhadap kakawin Bharata-Yudha sesudah diselidiki oleh Dr. H. Kern pada tahun 1973 mulai hangat lagi, ketika pada tahun 1903 Dr. J.G.H. Gunning menerbitkan seluruh kakawin Bharata-Yudha itu dengan huruf Jawa. Jadi baru sesudah kira-kira 30 puluh tahunan, setelah Dr. H. Kern membicarakan Pupuh XV dari kakawin Bharata-Yudha itu, kitab ini menarik perhatian lagi, ketika diterbitkan pada tahun 1903 tersebut. Karena penerbitan tersebut telah dalam bentuk kitab, khalayak ramai lebih mengetahui tentang isi kakawin Bharata-Yudha, khususnya dalam kalangan sarjana-sarjana Orientalistik. Dengan demikian dikecualikan kegiatan rakyat di Bali, orang-orang Indonesia lainnya, tidak terkecuali juga orang-orang Indonesia di Jawa, belum dan tidak tertarik oleh kakawin Bharata-Yudha, karena pada waktu-waktu sekitar tahun 1903 itu tidak ada  seorangpun yang mengetahui bahasa Jawa kuno, kecuali seorang saja, ialah R. Lesya yang kelak bernama R.Ng. Poerbacaraka. Dengan melalui pendidikan Jawa yang diperolehnya dari orang tuanya sendiri, pemuda R. Leya  ini memahami Serat Bratayuda Jarwa dan kitab-kitab Jarwa lainnya, sedangkan dengan adanya kesempatan belajar pada Buropeesche Lagere School ( Sekolah Rendah Belanda ) di Surakarta, pemuda ini yang telah mengenal dasar-dasar bahasa Belanda telah sanggup membaca uraian Dr.H. Kern tentang kakawin Bharata-Yudha mengenai Pupuh XV tersebut di atas dan paramasastera  bahasa Jawa kuno yang diuraikan oleh sarjana Kern ini.
Tetapi perhatian terhadap kakawin Bharata-Yudha mulai tumbuh lagi pada tahun 1921, ketika ada seorang yang tidak menyebut namanya membicarakan Pupuh XLIV dengan judul : Bharata-Yudha yang XLIV, untuk kemudian dibicarakan pada tahun 1923 oleh Dr.H.H. Juynboll dalam majalah Nederlandsch Indie Oud en Nieuw. Selanjutnya pada tahun 1929, ketika R.Ng. Dr. Poerbacaraka menyelidiki arti kata pamaҫa, penyelidikannya itu didasarkan atas kata yang diketemukan pada Pupuh L 3 dari kakawin Bharata-Yudha, sedangkan pada tahun 1929 Dr.J. Gonda membicarakan tentang penghianatan raja Çalya yang disebutkan dalam kakawin Bharata-Yudha dan yang disertai oleh suatu keterangan oleh R.g.Dr. Poerbacaraka. ******* 4
Jadi, apabia sampai dengan tahun 1929 itu kakawin Bharata-Yudha baru dibicarakan secara fragmentaris, akhirnya baru pada tahun 1934 terbitlah terjemahan seluruh kakawin Bharata-Yudha yang dikerjakan oleh R.Ng.Dr. Poerbacaraka yang dibantu oleh Dr.C. Hooykaas dan dimuat dalam majalah Jawa. Apabila sebelum tahun 1934 itu R.Ng.Dr. Poerbacaraka telah siap dengan terjemahan kakawin Bharata-Yudha, khususnya yang mengenai bagian-bagian yang dianggapnya asli, terjemahan itu tidak dapat dimuat dalam majalah Jawa tersebut  sebelum dilengkapi dengan terjemahan dari bagian-bagian yang disisipkan. Sekalipun permintaan staf redaksi Majalah Jawa itu sangat berat untuk dilaksanakan karena bagian-bagian yang disisipkan itu memang sukar, karena yang menyiapkan itu tidak lagi mahir mempergunakan bahasa Jawa kuno, permintaan tersebut dilaksanakan juga oleh R.Ng.Dr. Poerbacaraka. Dalam terjemahan kakawin Bharata-Yudha dalam bahasa Belanda itu bagian-bagian yang disisipkan ditulis dengan huruf kecil.
Dari pihak bangsa Indonesia sendiri, perhatian terhadap kakawin Bharata-Yudha kecuali diperlihatkan oleh R.Ng.Dr. Poerbacaraka yang pada tahun 1952 menulis kitab Kepustakaan Jawa dan membicarakan beberapa hal yang menarik tentang hubungan yang ada antara kakawin Bharata-Yudha dan Serat Bratayuda Jarwa, ada juga beberapa orang peminat terhadap kakawin Bharata-Yudha ini dengan huruf Latina, artinya mentranskripsikan terbitan Dr.J.G.H. Gunning.
Sekalipun Sastrosoewignyo dikatakan, bahwa ia telah mencoba memperbaiki naskah Gunning, ucapannya itu tidak terbukti, bahkan dari beberapa bagian transkripsinya itu merupakan bumerang untuk memukul dirinya sendiri.
Salah satu contoh dari tidak mampunya membaca Jawa kuno yang tepat, dibuktikan oleh Pupuh  I  6 baris 4. Ia menulis : ( ejaan menurut Sastrosoewignyo ) “ring prang darpa Paҫuprabhu pamanira hyun i kadungla ning parangmuka”. Kalimat itu sebenarnya harus dibaca seperti berikut : “ring prang darpa Paҫuprabhupamanira hyun dan seterusnya. Artinya : di dalam perang  ( raja Jayabhaya ) itu seperti ( umpamanya ) dewa Paҫupati dan seterusnya. Jelaslah bahwa pa yang ditulis oeh Sastrosoewignyo tentang paman itu tidak ada artinya sama sekali.
Contoh kesalahan yang kedua ditunjukkan oleh transkripsi pupuh II  7 baris 4. Ia menulis : “dudut angasisig hatur sinaliwah katon tan tulus”. Sebetulnya transkripsi ini harus berbunyi : “dudu tang asisig hatur sinaliwah” dan seterusnya. Artinya : “lainnya ( dudu ) yang sedang menghitam giginya memperlihatkan” dan seterusnya. Jadi jelaslah,  bahwa kata-kata dudut dan angasisig seperti telah yang dikerjakan oleh Sastrosoewignyo itu tidak ada artinya sama sekali. Itulah sekedar 2 contoh dari sekian banyak kesalahan.
Sarjana Indonesia lainnya yang juga membicarakan kakawin Bharata-Yudha dalam hubungannya dengan cerita-cerita wayang, ialah Sucipto Wiryosuparto yang mengupas persoalan ini dalam tesisnya yang berjudul Ghattotkacâҫraya. Peminat lainnya iala yang dapat disebutkan ialah I Gusti Bagus Sugriwa dari Bali yang telah menerbitkan kakawin Bharata-Yudha dalam huruf Bali disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Bali dan bahasa Indonesia.
Setelah diuraikan tentang adanya perhatian yang ditujukan terhadap kakawin Bharata-Yudha ini sepanjang masa, naskah dan terjemahan kakawin Bharata-Yudha dalam bahasa Indonesia ini mudah-mudahan dapat dipergunakan sebagai bukti, bahwa kebudayaan Indonesia pada zaman modern ini masih mempunyai segi-seginya yang berpangkal kepada zaman yang lampau, khususnya yang mengenai ajaran tentang moralitas, sikap serta watak kekesatriaan dan sebagainya.   

S u m b e r :
Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto. 1968.
Kakawin Bharata–Yuddha. Bhratara - Jakarta