Tampilkan postingan dengan label Candi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Candi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 Mei 2011

RELIEF MISTERIUS DI KAKI CANDI BOROBUDUR By Isyana



Oleh Tole
Siapa tak terpesona menatap keindahan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah?
Dibangun pada masa Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra pada tahun 824, Borobudur terdiri dari 1460 panel relief dan 504 stupa. Namun, panel yang selama ini terlihat ternyata belum lengkap. Ada panel-panel yang sengaja ditimbun tanah karena reliefnya dianggap vulgar dan cabul. Panel-panel itu terletak di bagian paling bawah, yang disebut Kamadhatu.

Bagian fondasi tersembunyi itu terdiri dari 160 relief adegan Sutra Karmawibhangga atau hukum sebab-akibat. Panel-panel itu menggambarkan perbuatan yang mengikuti hawa nafsu manusia, semisal: bergosip, membunuh, menyiksa dan memerkosa. Juga ada adegan-adegan seks dalam berbagai posisi.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia, Edi Sedyawati mengemukakan, relief Karmawibhangga itu menggambarkan kehidupan masyarakat saat candi itu dibangun.

Ada sejumlah pendapat mengapa relief ini ditimbun. Bisa jadi karena kurang pantas dipertontonkan ke publik, tapi ada pula yang menduga penutupan ini semata-mata demi kestabilan posisi candi — agar tidak amblas.
Terlepas dari perdebatan itu, keseluruhan relief di Borobudur mencerminkan ajaran Budha Mahayana: semakin ke atas semakin mencapai kesempurnaan. Bagian paling bawah atau Kamadhatu menggambarkan perilaku penuh angkara murka dan hawa nafsu yang menyebabkan seseorang masuk neraka jahanam.
Bagian tengah (terdiri dari empat tingkat) dinamakan Rapadhatu, tempat manusia dibebaskan dari nafsu dan hal-hal duniawi. Sedangkan bagian teratas — termasuk tiga teras melingkar yang mengarah ke pusat kubah—disebut Arupadhatu, tempat para dewa bersemayam atau nirwana.

Keberadaan Borobudur sesungguhnya telah diketahui penduduk lokal di abad ke-18. Sempat tertimbun material Gunung Merapi, candi ini lalu ditemukan kembali oleh Sir Stanford Raffles pada 1814. Selanjutnya, pada 1885, arkeolog JW Yzerman mendokumentasi dan merekam reliefnya. Saat itulah, timnya menemukan relief tersembunyi di bagian paling bawah.

Sekitar tahun 1890-1891, bagian yang tertutup itu dibuka seluruhnya oleh fotografer Kasiyan Chepas untuk dipotret satu per satu. Batu bervolume 13000 meter kubik ini diangkat, lalu dikembalikan lagi ke posisi semula.  Hingga hari ini, bagian itu ditimbun tanah sehingga tak seorangpun bisa melihat. Ada tiga panel di bagian tenggara candi yang terbuka--diduga karena proses penutupan kembali yang tak sempurna.

Hasil bidikan Chepas kemudian dibukukan pada 1931. Buku aslinya kini ada di Museum Nasional, Jakarta. Sedangkan klise asli disimpan di Museum Tropen, Amsterdam karena statusnya milik Pemerintah Belanda. Pemerintah Indonesia memiliki replika seluruh foto itu.

Senin, 25 April 2011

Candi Jiwa, Saksi Bisu Bencana Masa Lampau

Candi Jiwa di Bekasi

Candi Jiwa, Saksi Bisu Bencana Masa Lampau


Liputan6.com, Jakarta: Selama delapan bulan, Tim Studi Bencana Katastropika Purba mencoba mencari dan meneliti fakta dan data bencana di abad modern ataupun zaman purba yang katastropik atau dampaknya menghilangkan peradaban. Seperti terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam, 26 Desember 2004 silam, adalah megatsunami yang menghancurkan sebagian peradaban di Tanah Rencong. Demikian rilis yang diterima Liputan6.com, Ahad (24/4), dari Wisnu Agung Prasetya, asisten Staf Khusus Tim Studi Bencana Katastropik Purba.

Berdasarkan penelitian Tim Studi Bencana Katastropika Purba, ternyata di Aceh teridentifikasi kemudian ada Desa Ie Beuna. Artinya, ombak besar bergulung-gulung. Ini berarti pula pernah ada tsunami di Aceh. Bahkan, tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI menemukan bangunan kuno di laut Aceh. Dan melalui ekskavasi geologi berhasil membuktikan 1.400 tahun lampau pernah terjadi mega tsunami.
Warga Simeulue mengenal smong atau tsunami pada 1907, sehingga korban sedikit saat tsunami 2004. Masyarakat Yogyakarta dikejutkan gempa pada 2006 yang merusak dan menimbulkan korban. Padahal 1835 pernah terjadi gempa yang lebih besar. Di sini menunjukkan betapa lemahnya ingatan masyarakat Indonesia terhadap bencana. Padahal, gempa atau gunung berapi bisa dipastikan akan mengalami pengulangan: The Past is the Key of Future.

Untuk diketahui pada 1814, Sir Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jenderal Kolonial Inggris di Jawa, 1811-1816), menemukan satu bukti bencana katastropik purba akibat letusan gunung api di semak belukar, yaitu Candi Borobudur. Data sejarah menunjukkan pernah ada letusan Merapi sekitar era 1000-an. Bisa dibayangkan, peradaban yang terkubur itu. Belum lagi jika menengok perubahan iklim yang diakibatkan letusan Toba di Pulau Sumatra, 75 ribu tahun lalu.

Bagaimana dengan Jakarta Hasil pemantauan global positioning system (GPS) dan pengukuran deformasi serta disandingkan dengan data historis, juga mengagetkan hasilnya. Ada potensi 8,5 skala Richter di Selat Sunda. Ini juga pengulangan 1906, 1856, 1833, dan 1699, serta gempa-gempa kecil yang terasa sampai Jakarta.

Bertitik tolak dari itu, tim mencoba mendapatkan bukti otentik sedimentasi atau data lainnya dengan segera melakukan penelitian intensif terhadap temuan Candi Jiwa di Bekasi, Jawa Barat.
"Kita senang terhadap temuan peradaban itu, tetapi juga harus ditemukan mengapa dan kapan candi itu terkubur. Karena jarak dengan Jakarta tidak terlalu jauh. Apakah tertutup karena vulkano atau mega tsunami. Kita menyambut baik langkah Foke (Gubernur Fauzi Bowo) yang segera membuat peta mikrozonasi dan building code. Karena ini juga rekomendasi tim sembilan peta gempa yang melihat ada kenaikan 0,3 g di batuan dasar. Sama seperti Aceh, Sumbar, Bengkulu, Banten, Jabar, Jatim, Jateng dan Yogya. Kita berupaya secara scientific mengurangi risiko bencana dengan menemukan gempa purbanya. Apa yang terjadi di Jepang menjadi pelajaran bersama. Masyarakat harus bahu-membahu membantu Pemda, BNPB, BMKG dan lain-lain, tidak perlu panik," urai Wisnu Agung.

Terkait rencana pembangunan jembatan Selat Sunda, temuan ini sangat penting agar jembatan tersebut disiapkan untuk tahan gempa di atas besaran yang potensi itu. Dengan begitu, pembangunan harus terus jalan.
Pada kejadian letusan katastropik Toba, diperkirakan terjadi pemusnahan massal dari populasi makhluk hidup di seluruh dunia, termasuk manusia. Hanya sebagian kecil yang dapat bertahan hidup. Meskipun demikian, tidak ada data yang cukup untuk mengetahui dengan jelas apa yang terjadi pada peradaban manusia sebelum dan sesudah letusan Toba.

Ilmu pengetahuan hanya tahu bahwa paling tidak sejak sekitar 90.000-100.000 tahun lampau, bumi sudah dihuni oleh makhluk berakal dan mengenal Tuhan. Dan sampai saat ini para ilmuwan sedunia percaya bahwa sampai sekitar 10.000 tahun lalu manusia masih hidup di zaman batu, alias hidup di alam, di hutan-hutan dan gua-gua seperti hewan.

Adapun letusan gunung api katastropik lainnya adalah letusan Gunung Krakatau purba. Catatan mengenai letusan Krakatau purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi. Isinya antara lain menyatakan: "Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara (Krakatau). Ada pula guncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula...Ketika air menenggelamkannya, Pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan Pulau Sumatra."(ANS)