Kamis, 26 Maret 2020

Ki Slamet 42: "MATINYA DURSASANA"

Blog Ki Slamet 42: Kita Semua Wayang
Kamis, 26 Maret 2020  -  22.20  WIB


“MATINYA DURSASANA”
Karya : Ki Slamet 42

Sang  Dursasana  melompat dengan  waspada
Genggamlah panah besar sakti bernama bhalla
Panah  sakti bhalla  melesat cepat ke angkasa
Pancarkan kobaran api mengarah tubuh Bima
Hingga Bima putera Bayu pun jatuh terkesima

Tapi Bima cepat sadar dengan keadaan dirinya
Dia pun segera bangkit berdiri dengan perkasa
Kobaran  api bhalla  tiada bisa bakar tubuhnya
Dengan tandang sebat balas serang Dursasana
Terjadilah perang tanding  di antara keduanya

Keduanya nampaklah garang, saling menyerang
Saling bersiasat,  bahkan gunakan cara curang
Bima kembali serang Dursasana dengan garang
Tiada orang  bisa menghalang Bima bertandang
Hingga bumi jadi terasa bergoyang berguncang

Kepada Dursasana,  Bima bersesorah gancang
Suaranya keras laksana suara guntur di awang
Buat Dursasana jantungnya berdetak kencang
Timbul rasa kecut,  takut pikirannya melayang
Namun  ia berupaya  agar hatinya tetap tenang

“Wuakh... kau Dursasana, manusia licik curang
Yang pintarnya cumalah mengganggu istri orang
Beraninya kau melawanku tetapi,  terus terang
Aku senang bisa cepat buat nyawamu melayang
Dan, minum darahmu dengan  perasaan senang”

Bima cepat melompat dari gajah yang ditunggang
Hampiri Dursasana  yang telah waspada  memang
Dengan gerak Bima yang dengan ganas menyerang
Maka,  Dursasana cepat hindari serangan garang
Bima yang tak alang kepalang dengan balik serang

Dursasana pun melempar tombaknya ke arah Bima
Seraya berkata dengan kata ejekan yang menghina:
“Ha, ha, ha, ha ... kau kah itu Bima,  si Werkudara
Bukankah kau ini budakku yang telah minggat lama
Dulu hampir saja aku jamah itu istrimu yang jalang”

Bima menangkap tombak yang dilempar Dursasana
Lalu dipatahkannya tombak itu hingga menjadi dua
Melihat itu Dursasana berlari ngacir kecut hatinya
Bima tangkap Dursasana dengan jambak rambutnya
Dijambak Bima, Dursasana sama sekali tak berdaya

Dursasana cuma bisa pukul kiri,  pukul  kanan saja
Menendang dengan kakinya  tanpa bisa  kenai Bima
Seketika itu Bima injak muka dan badan Dursasana
Sehingga tubuhnya memar, bengkak-bengkak semua
Dursasana membalas, tapi Bima terus menginjaknya

Ketika itu Sangkuni dan Suyudana majulah ke muka
Dengan sengit mereka menyerang menggempur Bima
Tetapi Bima,  dapatlah dengan mudah mengatasinya
Bahkan  Bima  menghadapinya  sambil  tertawa-tawa
Sementara Arjuna, Nakula, Sadewa membantu Bima

Tanpa hiraukan keadaan sekelilingnya Bima berkata:
“Wahai semua, khususnya dewa yang jelma di dunia!
Lihatlah aku, Bima yang akan segera penuhi janjinya
Di  tengah-tengah  medan  pertempuran ini,  bahwa  
Aku akan menghirup,  meminum darah Dursasana!”

“Dan, ini hari terakhir Drupadi menggerai rambutnya
Rasakan akibat perbuatan jahatmu, wahai Dursasana
yang tidak sopan telah membuat malu Dewi Drupadi
Percuma  kau berupaya lepas dengan  meronta-ronta
Meski  kau berupaya  bangkit lagi  kau tak akan bisa!

Setelah berkata demikian, Bima meringkus Dursasana
Cengkeram perutnya lalu dengan kuku pancanakanya
Robek perut dada Dursasana hingga robek menganga
Lalu Bima pun menghirup meminum darah Dursasana
Yang  muncratlah  dari luka robek di perut dan dada

Maka Dursasana tewas regang nyawa di tangan Bima
Ketika minum darah Dursasana,  Bima tarik ususnya
Hingga terburai ke luar dari dalam perut Dursasana
Perilaku Bima  lampiasan dendam kepada Dursasana
Yang telah membuat malu Dewi Drupadi begitu rupa

   KSP 42 —
Kp. Pangaran, Bogor
Kamis, 26 Maret 2020 – 22:16 WIB
 

Selasa, 14 Januari 2020

Ki Slamet 42: WATAK DAN PERILAKU TOKOH WAYANG PANDAWA LIMA

Blog Ki Slamet 42 : Kita Semua Wayang
Rabu, 15 Januari 2020 - 09'08 WIB

Image "Pandawa Lima (Foto: Google)
Pandawa Lima
Di dalam buku Karakter Tokoh Pewayangan Mahabharata, tulisan Sri Guritno – Purnomo Soimun Hp., beliau memaparkan bahwa tokoh pewayangan yang terdapat dalam cerita Mahabharata terdiri dari sejumlah besar pribadi yang watak dan karakternya beraneka ragam.
Keanekaragaman tersebut dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu :
1.            Tokoh pewayangan yang mempunyai watak yang baik, dan
2.            Tokoh pewayangan yang mempunyai watak buruk.
Simbol tokoh pewayangan yang mempunyai watak baik terdapat pada kelompok dan para tokoh Pandawa, sedangkan simbol tokoh yang berwatak buruk terdapat pada kelompok dan para tokoh Kurawa.
Tokoh para Pandawa adalah keturunan Pandudewanata, raja Astina yang mempunyai dua istri. Istri pertama bernama Dewi Kunti atau Dewi Prita, seorang puteri dari kerajaan Mandura yang dipersunting Pandudewanata setelah ia berhasil memenangkan sayembara memanah yang diadakan oleh kerajaan Mandura tersebut. Dari permaisuri pertamanya inilah lahir tiga orang putera yang diberi nama Yudistira, Bima, dan Arjuna.
Permaisuri kedua bernama Dewi Madrim, seorang puteri dari kerajaan Mandaraka yang dipersunting oleh Pandudewanata setelah ia dapat mengalahkan kesaktian Narasoma dalam suatu sayembara tersebut. Dari permaisuri kedua, Dewi Madrim inilah lahir putera kembar yang diberi nama Nakula dan Sadewa. Kelima putera dari kedua permaisuri Pandudewanata inilah yang dalam jagat pewayangan dikenal dengan nama Pandawa Lima.
Seperti telah dikatakan bahwa tokoh Pandawa Lima dikenal sebagai tokoh yang mempunyai watak dan perilaku yang baik. Akan tetapi, apabila dikaji secara individu masih memiliki sifat yang kurang sempurna dalam arti sifat yang tidak baik. Seperti tokoh Yudistira misalnya, putera tertua Pandawa Lima ini dikenal sosok yang memiliki tingkat kesabaran yang amat tinggi, mampu menguasai diri secara sempurna, suka bersamadi, tidak pernah bertengkar, berbudi luhur, dan tidak pernah menolak permintaan seseorang sesederhana apapun.
Oleh karena sifat dan wataknya yang tidak pernah menolak permintaan orang lain inilah Yudistira menerima tantangan Duryudana untuk bermain judi dadu. Dimana dalam permainan judi dadu yang penuh dengan kecurangan ini Yudistira mengalami kekalahan, yang pada akhirnya istri dan adik-adiknya yang dipertaruhkan dalam perjudian itu menjadi orang buangan di hutan selama tiga belas tahun.
Begitupun halnya dengan Tosok Bima. Dalam jagat pewayangan Bima dikenal sebagai pahlawan perang yang disegani lawan. Kejujurannya tidak pernah tergoyahkan. Kestiaannya dan ketabahannya membuat dirinya menjadi sosok yang dikagumi. Ketabahan dan kesetiaannya teruji dalam cerita Dewa Ruci. Sebuah cerita Mahabharata yang mengisahkan tentang avonturisasi Bima dalam melaksanakan perintah gurunya Begawan Drona untuk mencari Tirta Prawitasari (air pengehidupan), diri sendiri, dan Tuhan. Akan tetapi di balik semuanya itu, sesungguhnya Bima sosok yang egois, karena kata-katanya selalu menggunakan kata “Aku”. Selain itu, Bima adalah seorang pembohong dan senang sekali makan (gembul).
Dari paparan di atas maka sebagaimana pernyataan Anderson (1976), bahwa para tokoh Pandawa Lima pun tidak luput dari kritik itu memang benar adanya. Hal ini karena sifat dan watak tokoh Arjuna selain memiliki berbagai kelebihan juga mempunyai kekurangan-kekurangan. Akan tetapi jika watak dan karakter kelima tokoh Pandawa Lima itu disatupadukan akan terbentuk watak dan karakter tokoh pewayangan yang sempurna. Perpaduan kelima watak dan karakter inilah yang akhirnya dalam perang Bharatayuda pihak Pandawa menang melawan pihak Kurawa.
Perpaduan kelima watak dan karakter, persatuan dan kesatuan yang dimaksud di sini adalah bersatunya kesatuan spiritual. Persatuan dan kesatuan tersebut dapat menumbuhkan kekuatan spiritual yang jauh lebih kuat daripada kekuatan fisik, sebagaimana terlihat dalam perang Bharatayuda. Meskipun dalam perang Bharatayuda tersebut para Kurawa yang berjumlah seratus orang di bawah pimpinan Duryudana mempunyai pasukan yang luar biasa besarnya yang dibantu pula oleh para raja-raja dari negeri-negeri sahabat, akan tetapi ternyata tidak dapat menaklukkan persatuan dan kesatuan para Pandawa. Dalam kata lain, kekuatan dharma yang pada akhirnya dapat memenangkan perang Bharatayuda, bukan kekuatan fisik yang tercermin dalam diri para Kurawa.

—KSP 42—
Rabu, 15 Januari 2020 – 08.17 WIB
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan, Lido – Bogor

P u s t a k a :
Sri Guritno – Purnomo Soimun Hp.      
“Karakter Tokoh Pewayangan Mahabarata”
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
Jakarta 2002

Minggu, 22 Desember 2019

Prof.Dr.Sutjipto Wirjo Suparto: KAKAWIN BHARATAYUDA Pupuh LII (9-13)

Blog Ki Slamet 42: Kita Semua Wayang
Senin, 23 Desember 2019 - 05.07 WIB
 
Wayang Orang (Keluarga Pandawa)

“KAKAWIN BHARATAYUDA PUPUH LII (9–13)”
Prof.Dr.R.M.Sutjipto Wirjo Suparto
TRANSKRIPSI
TERJEMAHAN BEBAS
9
Hinganya n taya langghane haji
Jayabhayangddiri Daha.
Lilâ râmya manahnirâgêlêm acangkrama lalu mahas ing pasir wukir.
Rûmning gita ya ta pwa lâgi dinamêlni-nira rum awangi râganing mangö.
Tan len kirttinire prajâ rasa manohara kinidung ing apsarâpsari.
9
Batara Haji Jayabaya  penguasa Daha, raja yang bersifat periang, suka bergem- ra, bermain-main, dan berpergian jauh menjelajah lautan, masuk ke dalam hutan belantara, mendaki gunung.  Ia juga suka menulis syair dan lagu. Syair-syair dan lagu-lagunya mampu menyentuh hati bagi orang yang sedang dilanda asmara. Di mata rakyatnya nama Batara Haji Jayabaya begitu amat harum. Bahkan Karya-karyannya acap
dinyanyikan oleh para apsara dan apsari.   

10
Mangke pwa n kadi bancananângidan-idan karika siran anambay ing hulun.
Kêdwânon wruha marnnanâ carita ngûni kacaritanira n jayeng ranna.
N dug çri Krêshnna sirân prekâçitra rumâka ri laganira Pancapânannddwa.
Kyâting Bhâratayuddha Çalyawadha teki yaçanira gantinya ring dangu.

10
Sekarang nampaklah raja Jayabaya ingin mempermainkan saya dengan menim-bulkan kebingungan. Seolah-olah ingin melihat bahwa saya dapat melukiskan cerita zaman dahulu saat sang raja men-dapat kemenangan dalam medan per-tempuran di antara keluarga Bharata, dan terbunuhnya raja Salya, ketika Raja Kresna menjadi pelindung orang-orang Pandawa lima. Itulah jasa Raja Jayabaya pada waktu lampau.
 
11
Ngwang pwâtyanta wimûdda ring kapa- na tâmêngana ri pakonire ng hulun.
Yeki lwirnya linakshyakên wirasa denya yadi guyu-guyun mapolaha.
Âpan sâkshat anugraha pwa sakatὅnani-ra n amaribhânndda tanggapên.
Panggil kâmpira mâtra sihnira riking Panuluh awêlaseng nirarthaka.
11
Saya teramat bodoh, dapatkah saya menyelesaikan perintah sang raja? Sekarang semuanya saya kerjakan, sekalipun saya merasa tidak mengena. Jika saya ditertawakan, apalah daya! Saya mengharap raja akan menaruh belas kasihan kepada mpu Panuluh yang tidak berarti ini.

12
Âpan ngwang tuhu hina dina lêngêng atpada lali têkap ing kanirgginnan.
Kagyat-gyat  matikin wênang wulan jöngnira ya karannaning girahyasên.
Tan sangkeng rajatâdi wastra ng usirên sihanira ring apan samangkana.

12
Saya orang hina yang berusaha bekerja keras, namun dilupakan. Bahwa saya dianggap tidak mampu, saya terkejut. saat saya berkesempatan melihat kaki raja, saya merasa senang. Karena bukan perak dan pakaian yang saya cari, melainkan rasa belas kasihan sang raja. Setelah saya disapa sang raja, sirnalah dosa saya. Dan, ini merupakan jalan jasmaiah bagi saya untuk mencapai kasunyatan.

13
Nântên tan prihawak nghulun rumacana ng carita hana wuruk nareçwara.
Kyâting rât mpu Sêddah wwang uttama sirângikêti harêp aninditeng langö.
N duk senâpati nâtha Çalya ya tikâ suruhan akikuk olug ing rasa.
Angheman ri manisni kirtti kawirâjya sinahajanikâpupuk pahit.

13
Bukan saya sendiri yang menyusun buku ini, melainkan bersama pujangga dari sang raja yang termasyhur di dunia ini bernama mpu Seddah. Beliaulah yang menyusun bagian depan dari cerita ini yang begitu indah tiada bandingannya. Ketika raja Salya menjadi panglima, mpu Seddah menyuruh saya untuk menyelesaikan cerita ini. oleh karena saya merasa seuka dan tertarik dengan cerita ciptaan sang raja yang sangat indah saya pun memberanikan diri untuk melanjutkan akhir dari cerita ini yang amat mengerikan.



SELESAI

Pustaka :
Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto
Kakawin Bharata-Yuddha, Bhratara – Jakarta 1968

Minggu, 22 Desember 2019 - 10:31 WIB
Drs. Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan, Bogor