Sabtu, 26 Mei 2018

BUKU PENDING EMAS 4 PENULIS J. HERLINA

Ki Slamet Blog - Kita Semua Wayang
Minggu, 27 Mei 2018 - 08:20 WIB

Image "Sang Saka Merah Putih" (Fato: Google)
Sang Saka Merah Putih

Aku biasa saja, sudah terlatih dan kebal. Panaspun, aku tidak. Waktupun berjalan terus, sampai jauh malam. Aku minta diri untuk segera pulang. Kuanggap tidak ada apa-apa, asal aku tidak mengganggu mereka dan semua kuhormati lebih dari diriku.
Kudengar bahwa Kepala Staf  akan mengadakan peninjauan ke daerah Maluku Utara. Tentu beliau pergi dengan rombongan besar dan memakai kapal sendiri. Daripada menunggu kapal lain terlalu lama, kalau beliau tidak keberatan lebih baik aku ikut dengan kapal ini.
Tanggal 12 Nopember 1961 dengan rombongan Kepala Staf aku naik kapal Tirtonadi, meninggalkan pelabuhan Ambon. Untung ada seorang keluarga yang ikut serta dalam kapal, sehingga aku bukan wanita satu-satunya.
Mayor Suryadi hanya kawan seperjalanan. Tapi karena baik sekali, lagi anggota serumah denganku, Lt Adelan serta Kapten Saroa, maka rasanya seolah-olah keluaarga sendiri. Perpisahan dengan beliau itu cukup mengharukan. Biasanya, waktu makan selalu ditutup dengan humor yang mentertawakan. Pada umumnya tentara memang banyak humornya.
Sekarang suasana berubah. Di kapal ramai sekali, jumlah penumpang bertambah banyak. Tidurnya berderet, yang dapat kamar hanya Kepala Staf dan Dokter, lainnya di dek. Aku tidur dengan Nyonya Kapten Sulaeman, berjajar dalam satu deretan.
Dalam perjalanan sudah menjadi kebiasaan untuk membuat segala sesuatu menjadi meriah. kalau tidak demikian tentu menjemukan sekali. Lebih-lebih perjalanan dengan kapal, perlu adanya tukang banyol. Karena aku dianggap laki-laki, Dokter berusaha membuatnya lelucon. “Sebaiknya Herlina ini diperiksa saja, betul-betul wanita atau laki-laki. Setuju? Mari kita pegang saja Lina supaya diperiksa”.
Ya, begitulah antara lain sesuatu yang dicari-cari untuk bahan tertawa, dan kebetulan aku yang dapat dijadikan obyek.
Kami tidur di dek dengan tenda bocor-bocor. Waktu hujan turun dengan lebatnya, maka hanya beberapa orang sajalah yang terhindar dari tetesan air; yang lain nongkrong tidak bisa tidur, menunggu redanya hujan.
Setelah dua hari berlayar, sampailah kami di Ternate. Kunjungan Kepala Staf akan dilanjutkan ke pulau-pulau lain, yakni Tobelo, Morotai dan Soasiu.
Aku sudah di tempat tujuan. Rasa-rasanya masyarakat  Ternate heran kenapa aku kembali lagi. Untuk kedua kalinya aku di daerah ini. Pertama, ketika aku singgah sebagai pengeliling Indonesia. Yang kedua adalah sekarang ini untuk waktu yang tidak tertentu, sehingga Irian Barat kembali ke dalam wilayam wilayah kekuasaan Indonesia.
Pejabat-pejabat Ternate sibuk menyambut kunjungan Kepala Staf. Acaranya termasuk timbang-terima penggantian jabatan Dan Dim Maluku Utara.
Di Ternate tiada kesulitan rumah, aku mempunyai ibu yang sangat baik sekali kepadaku. Keluarga ini termasuk keluarga terkenal di Ternate.
Lalu lintas laut jarak dekat dilakukan dengan kapal  kecil milik pak Iskak, walaupun kecil, memegang perananan penting.
Sampai saat Kepala Staf tiba di daerah, angkatan Darat masih mempunyai pinjaman pada pak Iskak. Pada kesempatan kunjungan inilah kumintakan supaya pak Iskak dapat perhatian mengenai pinjaman yang belum dibayar. Overste Fatah akan menyelesaikan dengan segera setelah beliau kembali ke Ambon.
Waktu beliau akan kembali melanjutkan perjalanannya ke Tobelo, aku diminta untuk ikut. Tawaran itu kusambut dengan senang hati.
Kunjungan beliau merupakan bahan berita dalam surat kabarku nanti. Perjalanan Ternate — Tobelo hanya berlangsung 8 jam.
Merupakan tradisi bahwa daerah-daerah yang kukunjungi mengadakan upacara adat sebagai penghormatan. Waktu kapal memasuki pelabuhan, perahu-perahu berhias dengan wanita-wanita di dalamnya menyanyikan lagu-lagu adat disertai bunyi-bunyian, menjemput kami.
Pejabat-pejabat setempat meminta para tamu pindah ke dalam perahu menuju ke pelabuhan. Ramai sekali rakyat Tobelo berderet di kiri dan di kanan jalan. Tari Cakalele merupakan acara tetap pada setiap penyambutan kunjungan tamu. Masyarakat Tobelo pun sudah mengenal aku, mereka juga memberi salam atas kedatanganku yang kedua kalinya di daerah ini. Murid-murid SR, SMP menyanyi koor yang diperdengarkan di sepanjang jalan yang dilalui rombongan tamu. Kami pun sebentar-sebentar harus berhenti mendengarkan lagu-lagu yang khusus disusun untuk kunjungan tersebut. isinya mengharukan. Syairnya bertema kenyataan-kenyataan penderitaan rakyat di daerah, yang minta diperhatikan. Mereka percaya bahwa pada pemimpinlah tempat permohonan perbaikan nasib .............................
Kenyataannya, kadang-kadang ada pemimpin yang sampai hati menelan hak rakyat untuk kepentingan diri sendiri. Rakyat hanya diberi janji yang tidak pernah dipenuhi. Toh rakyat tetap setia, sekalipun janji pemimpinnya tidak pernah dibuktikan. Mereka tetap menunjukkan kesetiaannya memberi sambutan yang hangat ada setiap kunjungan, walaupun mereka tidak mempunyai apa-apa kecuali tidak jemu-jemu mengingatkan pemimpinnya : “Ingatlah nasib kami”.
Kalau memang pemimpin rakyat, tidak usah lagi rakyat meminta-minta. Pemimpin cukup melihat kenyataan, ia pasti tidak sampai hati untuk mencari kekayaan dan keuntungan bagi diri sendiri. Ikut menderita dengan rakyatnya, aku pikir lebih baik, daripada mentereng di tengah-tengah kemiskinan.
Hasil pokok daerah adalah kopra. Kopra ini dibeli dengan uang belakangan. Bagaimana rakyat bisa hidup ? Karenanya rakyat menjadi malas, kelapanya ditinggal saja bertumpukan, mereka nanti toh tidak menerima uang.
Aku tidak tahudimana letak kepincangan ini
Pohon sagu di Ma luku tidak pernah habis dan tidak perlu ditanam seperti padi. Di daerah ini, misalnya Morotai, rakyatnya makan pisang bakar. Memang enak juga pisang bakar, tapi bagaimana jadinya kesehatan merka. Bagi mereka tidak apa-apa, karena itulah makan pokoknya , dan mereka tidak tahu bahwa ada beras yang mereka berhak menikmatinya.
Untunglah Indonesia mempunyai rakyat yang nrimo. Kalau ada, baiklah ! Kalau tidak ada, ya sudah. Mereka hanya tahu di dunia, lain tidak ! Apa yang mereka makan adalah kemurahan Tuhan. Padahal mereka mempunyai pemimpin-pemimpin yang dicintai. Tapi pemimpin bukan hanya untuk dicintai, ia harus memperhatikan rakyatnya.
Tidak hanya cukup dengan pidato yang berisikan menganjurkan kerja keras dan jujur. Rakyat tidak tahu bagaimana anjuran ini dilaksanakan.
Siapa yang sebenarnya tidak jujur ? rakyat yang mana ? mungkinkah rakyat yang jelata tidak jujur? Selamanya rakyat yang dibawah itu tidak tahu apa-apa. Kadang-kadang pemimpin berteriak untuk rakyat, padahal mereka sendirilah yang menelan hak rakyat ! ini merupakan penyakit, rupanya bukan di Ibukota saja, tapi juga di daerah-daerah.
Kapan penyakit ini akan berakhir, entahlah ?! dapatkah generasi baru ini merobah atau malahan menambah ? Apa yang kulihat merupakan pengalaman untukku dan menjadi pelita bagiku sebagai anggauta generasi baru, walaupun aku tidak mempunyai arti apa-apa. Namun aku sebagai putera Indonesia tidak rela melihat kemerdekaan Indonesia akan diperkosa oleh segolongan manusia-manusia Indonesia yang tidak bertanggung jawab, yang sampai hati memperkaya diri dialunan ratap rakyat...........
Dengan menari ronggeng, berdansa, tertawa gembira, rakyat yang berhati murni melupakan apa yang mereka derita. Barulah setelah tamu-tamu pergi, terasa apa yang sedang mereka hadapi : pisang bakar, anak telanjang, tak ada sekolah, sungguh menusuk hati. Memang aneh, ditempat lain memberantas buta huruff, tapi di pulau kecil lain membentuk buta huruf. Tidak ada sekolah, anak-anak harus naik perahu, mendayung sendiri, sedang orang tuanya mencari nafkah. Lain dengan di kota besar, anak-anak diantar dengan mobil atau sepeda, beca. Tapi dalam lalu-lintas antar laut hal ini tidak mungkin. Inilah oleh-olehku dalam perjalanan mengikuti rombongan yang cukup berkesan.
Mudah-mudahan saja hasil peninjauan ini menjadi perhatian. Tidak semua pemimpin sama. Rakyat masih beruntung mempunyai tempat untuk menaruhkan kepercayaannya.
Kunjungan terakhir adalah Soasiu, kota ini masih termasuk Kodam XV, walaupun Soasiu merupakan suatu propinsi tersendiri.
Setelah rombongan berangkat, Ternate berkurang ramainya, tinggallah lelahnya saja, tak ubahnya seperti mengadakan pesta. Kalau selesai, tinggallah lelahnya.
Mengapa aku sampai di sini, kadang-kadang aku berpikr. Seolah-olah khayalan ! Aku masih ingat pada kata-kataku, kepada polisi-polisi muda yang dipindahkan ke Soasiu. Waktu itu mereka sangat menyesal atas kepindahan ke Soasiu. Waktu itu mereka sangat menyesal atas kepindahan ke daerah yang sangat sunyi seperti Soasiu. Mereka merasa tertipu. Yang disebut Propinsi Irian Barat itu nyatanya seperti daerah mati belaka. Walaupun mereka laki-laki, namun banyak yang menangis. Maklum umur mereka juga masih diantara 17 – 22 tahun, begitu keluar dari pendidikan Sukabumi langsung dibawa ke Soasiu. Tentu saja kaget. Aku ngobrol dengan mereka, kuusahakan obrolan-obrolanku itu menanamkan pengertian, bahwa kepindahan mereka ke daerah ini merupakan tugas yang mulia.
Kapan lagi kita bersedia bertugas di daerah yang sunyi, kalau kita masih berpikir bahwa dipindahkan di tempat yang  sunyi, adalah buangan ! justeru kepindahan mereka di Soasiu banyak pengaruhnya pada masyarakat. Setidak-tidaknya penduduk Soasiu penduduk Soasiu ada pandangan baru.
Pemuda-pemuda tampan lagi gagah. Anjuran Presiden dapat segera terlaksana. Dengan adanya asimilasi antar daerah, Soasiu yang sunyi dapat menjadi lebih ramai. Jika biasanya hanya orang-orang yang sudah berkeluarga saja yang berdatangan, sekarang datang pula yang masih bujang-bujang. Memberi semangat, terutama kepada gadis-gadis di situ.
Pingitan nantinya akan berkurang. Kukatakan kepada mereka, bahwa kalau sudah selesai berkeliling Indonesia, aku akan bersedia di tempat yang sunyi. Inilah sekarang kubuktikan, bahwa apa yang kukatakan betul-betul kulaksanakan.
Apa yang mereka rasakan akan kurasakan juga. Memang benar tidak cukup hanya dengan kemauan saja. cita-cita harus dicapai dengan usaha, tapi modal utama adalah kemauan. Tanpa adanya kemauan, manusia tak akan berusaha. 
  
S u m b e r  :
J. Herlina – Pending Emas
PT Gunung Agung – MCLXIV 
Cetakan ke 2 – 1965
Mei 2018 - 08:17 WIB



 

Jumat, 18 Mei 2018

"PENDING EMAS 3" J. Herlina

Ki Slamet Blog - Kita Semua Wayang
Sabtu, 19 Mei 2018 - 02:00 WIB

Modal Utama :  “KEMAUAN”

Image "Bendera Pusaka" (Foto: Google)
BENDERA PUSAKA MERAH PUTIH

Modal Utama :  “KEMAUAN”
 
Entah beberapa kali aku keluar masuk kantor Departemen Penerangan Jakarta. Tak banyak yang kuminta. Hanya bantuan kertas untuk penerbitan di Soasiu.

Walaupun beliau-beliau di kantor itumungkin bosan, aku tetap tak jemu-jemu datang menghadap lagi ke kantor Departemen Penerangan, aku mengeja kata-kata bapak Djawoto yang pernah ditujukan padaku tatkala  aku menghadap beliau dengan tujuan yang sama, yakni dapatkah kiranya beliau membantu mempermudah permohonan kertas tersebut. apa kata beliau kepadaku ?

“Saya pernah muda dan mempunyai kemauan keras seperti Saudara, tetapi
Itu tidak cukup dengan kemauan saja”.

Kata-kata inilah merupakan cambuk bagiku  untuk tidak menyerah pada kesulitan. Ingin aku membuktikan bahwa apa yang kulakukan sekarang, bukan hanya angan-angan kosong yang mustahil dilaksanakan, tapi apa yang sedang kuperjuangkan adalah yang semestinya menjadi perhatian pemerintah.

Meskipun tidak percaya akankemampuan sendiri karena aku masih hijau, namun aku ingin supaya di daerah itu diadakan penerbitan, walaupun diselenggarakan oleh orang lain.

Coba, kita bayangkan bagaimana sedihnya di daerah yang dianggap daerah propinsi perjuangan, tapi nyatanya tidak ada apa-apanya. Menunggu surat kabar dari Jakarta tidak ada artinya sama sekali, karena 5 bulan baru sampai di Soasiu.

Radio, pada umumnya rakyat tidak punya, kecuali beberapa Orang tertentu. Inipun serba sulit. Di Soasiu tidak ada listrik. Radio listrik tak dapat dapat dipakai . andai kata ada yang punya radio accu atau baterai, tidak ada yang jual baterainya., sehingga akhirnya semua radio pada nganggur.

Kalau ditinjau dari segi keuangannya, penerbitan  di daerah ini tidak mungkin. Tapi kita harus sadar betapa daerah ini membutuhkan bacaan, walaupun isinya tidak dapat sehebat dengan yang terbit di Jakarta.

Setidak-tidaknya koran lokal dapat membantukebutuhan masyarakat di daerah akan bacaan, baik yang sudah mempunyai pikiran kritis, maupun bagi yang baru tamat P.B.H(Pemberantasan Buta Huruf). Tentu penerbit akan serampangan mengisi surat kabarnya, tapi harus diusahakan supayya sesuai dengan selera pembacanya.

Penerbitan tidak bertujuan mencari uang, karena keuntungan apakah yang bisa didapat dari penerbitan di daerah semacam ini ? aku sudah kenal keadaan di daerah ini, sehingga bodohlah andaikata aku mencari keuntungan.

Orang-orang ini cukup membaca surat kabar satu saja, berganti-gantian. Disamping kebiasaan ini, para langganan malah tiada minat membaca. Kesulitan inilah merupakan dorongan bagi penerbit untuk mengusahakan supaya mereka menjadi penggemar membaca dan merasa bertanggung jawab atas uang langganan.

Perhubungan Soasiu — Ternate dilakukan dengan motorboot, kapal bermotor; inipun tidak bisa setiap setiap hari; kalau motorboot tidak ada. Maka supaya tidak terlambat orang harus menggunakan perahu-perahu. Berapakah ongkos untuk orang-orang yang mendayung ? hubungan pos lebih-lebih lagi, selalu lebih lambat sampainya.

Kenyataan-kenyataan inilah yang tidak memungkinkan surat-surat kabar hidup, kalau hanya didasarkan pada keuntungan belaka. Makabukan itulah tujuanku.

Aku ingin menanamkan pengertian pada penduduk di perbatasan itu, supaya mengenal perkembangannya, terutama yang dihadapi pada masa itu, yakni kegiatan perjuangan Indonesia. Dan Soasiu merupakan daerah yang terpenting karena ditempati Propinsi Perjuangan Irian Barat. Soasiu sebenarnya lebih giat daripada daerah lain di Indonesia, bukan sebaliknya : tinggal melempem, sambil mendengarkan kegiatan-kegiatan daerah lainnya belaka. Kalau aku dapat menerbitkan surat kabar daerah di Soasiu, walaupun tidak mengisi 100 % kekurangan daerah ini, setidak-tidaknya dapat membikin penerangan-penerangan melalui penerbitan-penerbitan, yang dapat menggugah semangat setiap orang yang sedang “tidur” itu. Dan pikiranku tak dapat melupakan kebutuhan daerah itu.

Aku tidak hanya minta bantuan ke departemen Penerangan, melainkan kemana saja yang mungkin, asal dapat dipertanggungjawabkan.

Disamping mereka yang tidak perduli, ada juga yang memberi perhatian. Memang aku mengerti juga, Pemerintah takut kalau nantinya kepercayaan yang diberikan itu disalahgunakan. Karena itu, aku tidak minta subsidi, tapi hanya minta agar dapat dibeli kertas dengan harga pemerintah.

Mungkin juga Departemen Penerangan menganggap tidak mungkin, karena tenaga yang masih hijau begini, jangan dipatahkan semangatnya. Bapak-bapak seharusnya memberi dorongan kepada kesanggupan generasi baru, walaupun hasilnya tidak segemilang yang sudah berpengalaman. Aku lalu mencoba datang ke Front Nasional. Rupanya Kolonel Djoehartono sudah menjelaskan soalnya pada Overste Harsono dari Badan Pembina Potensi Karya.

Dari beliaulah aku mendapat perhatian, maka timbullah semangatku kembali. Ternyata tidak semua orang tidak setuju dengan rencana ini, beliau bersedia membantu apa saja yang mungkin dapat diberikan. Dari pembuatan akte sampai pada klise, disamping bantuan uang.

Kalaupun semua syarat-syarat yang diperlikan oleh Departemen Penerangan sudah dipenuhi tapi belum juga berhasil, beliau bersedia menghubungkan aku langsung dengan Menteri. Tapi sedapat mungkin aku tetap mengurus melalui saluran yang ditentukan, kecuali kalau hal ini gagal. Dan aku tak mau gagal. Kata-kata Pak D
Jawoto masih hangat dibenakku. Hamid Kotombunan, adalah pembantuku yang bersemangat untuk tetap tidak mundur menghadapi kesulitan-kesulitan ini.

Aku terus berusaha mencari jalan yang dapat segera menyelesaikan soal kertas. Terlalu lama aku menunggu keptusan dapat tidaknya. Hampir 1½ bulan aku berusaha. Percuma kalau aku hanya menunggusedangkan syarat-syarat yang kuberikan sukar untuk diterima oleh departemen penerangan, karena kurang memenuhi syarat .

Kebetulan Gubernur Propinsi Irian Barat, Kolonel Pamoedji, masih ada di Jakarta. Lebih baik aku mohon kesedeiaan beliau untuk menguruskan langsung soal kertas ini pada Menteri. Untung, Gubernur yang baru ini cara berpikirnya tidak bertele-tele. Orangnya pendiam, barangkali bukan aku saja yang kalau melihat wajah beliau , menjadi agak takut. Tampaknya seram. Tapi setelah berbicara, ternyata beliau orang yang sangat baik.

Bicaranya tidak banyak, beliau minta yang tegas, tidak berputar-putar, rencana yang tepat masuk diakal. Jawaban beliau hanya ada dua : ya atau tidak. Tidak banyak komentar-komentar lain. Itulah termasuk kesulitan yang kuhadapi. Beliau cukup tahu daerah Soasiu, betapa kebutuhan akan bacaan disamping kebutuhan-kebutuhan lain. Jadi tidak semestinya kalau permintaan ini harus memenuhi syarat yang mutlak seperti penerbitan di Ibukota. Tanpa banyak komentar, beliau langsung hari itu juga menuju ke Departemen Penerangan. Sayang, menteri tidak ada. Beliau diterima oleh Pembantu Utama Menteri. Tetapi segala urusan tetek bengek dapat diselesaikan, dan akhirnya permintaan untuk penerbitan dikabulkan; dan melalui Gubernur kami terima 200 riem kertas.

Aku mendapat bantuan uang juga dari Gubernur untuk persiapan kebutuhan-kebutuhan supaya dapat segera berangkat menuju Soasiu.

Legalah aku, apa yang telah kulakukan dengan jerih payah nyatanya tidak hanya mimpi belaka. Penerbitan ini akan kuberi nama seperti mingguan lama yang terbit di Ternate, “Karya”, yang dulu terbit stensilan, tidak menentu, hanya kalau kebetulan ada uang saja. bagaimana para langganan tidak jengkel ! kadang-kadang satu bulan hanya terbit satu kali, tetapi rekeningnya tetap mingguan. Tentu saja pelanggannya tidak mau membayar !!

Nama baru tidak perlu, tenaganya pun kuambil dari kalangan daerah. Tentu bisa bersemangat kalau surat kabarnya disempurnakan. Sekarang tidak lagi distensil tapi dicetak, sifatnya tentu lain. Kalau dulu main-main, sekarang harus giat bekerja, harus menanamkan kepercayaan pada langganan, terutama pada Pemerintah, bahwa kepercayaan yang diberikan, betul dibuktikan, sehingga beliau melihat, yang “hijau” tidak selamanya tidak cakap. Sihijau pun bisa bisa menjadi dewasa, dan sanggup bekerja.

Yayasanku bernama “Kartika Lina”. Aku mendapat bantuan terbesar dari BPPK yang kebanyakan berasal dari  Angkatan Darat. Lambang Kartika Eka Paksi kuambil Kartikanya, digabung dengan singkatan namaku Lina. Tujuan Yayasan ini memantau Pemerintah dalam mempertinggi kecerdasan rakyat. Bukan hanya surat kabar saja, tapi juga bacaan-bacaan dan usaha-usaha lain yang sejalan dengan tujuan tersebut.

Aku mendapat bantuan buku-buku dari perpustakaan rakyat di Jakarta, dan juga dari Departemen Penerangan.

Setelah semuanya siap, aku dan Hamid berangkat ke Surabaya, menunggu kapal untuk berangkat ke Soasiu. Maklumlah, kapal laut berangkatnya tidak menentu. Acapkali ditunda-tunda hingga satu minggu. Persediaan uang sudah tipis, pengeluaran di Surabaya selama menunggu kapal cukup banyak. Tapi aku tak perlu berkecil hati karena tiada uang, sebab di atas kapal tak perlu mengeluarkan uang lagi.

Tanggal 2 Oktober 1961 aku meninggalkan pelabuhan Surabaya dengan kapal “Waikelo”, bersama-sama dengan tiga orang perwirra Kodam XV. Di kapal suasana gembira, karena ada seorang dari kepolisian yang kegemarannya memainkan akordion.

Apa kerja di kapal selain makan dan tidur ? jika gelombang tidak tinggi, semua orang sehat-sehat, menikmati angin laut dan berjalan-jalan menghilangkan kebosanan di kapal. Perwira itu mengalah, memberikan kamarnya  kepadaku. Maklumlah kamar-kamar tidak cukup sehingga yang ada dek saja. tentu aku berterima kasih atas bantuan beliau, sedangkan Hamid ada kenalan juga di kapal sehingga ia tidak lagi tidur di dek.

Selama aku sibuk mempersiapkan penerbitan, tidak ada yang kurasa sedih. Tapi kini aku dalam keadaan tenang, cukup waktu untuk membangkitkan pikiran-pikiran yang sebenarnya tidak perlu. Semua itu membuat aku sunyi, seolah-olah aku hidup sendiri.

Aku ingat akan ibuku, kata-katanya terngiang di telinga, “Hati-hati kau nak, jauh dari orang tua”. Dulu tangis orang tuaku tak kuhiraukan. Sekarang terasa, betapa sunyi aku tanpa orang tua. Air mataku meleleh, membutuhkan kasih orang tua.

Dua tahun kutinggalkan Ibu, sekarang aku berangkat lagi, tidak tahu kapan aku pulang. Ayunan kapal membuat aku tertidur, tenang seolah-olah jiwaku terpisah dari badan. Aku dikejutkan ketokan pintu, tanda makan siang. Badanku lemas, mungkin disebabkan habis menangis, maka rasanya seperti kehilangan kekuatan.

Sejak berangkat aku jarang sekali keluar kamar, kecuali kalau makan. Tentu beliau-beliau memperhatikan mengapa aku berdiam diri ? Memang tidak semestinya aku berdiam diri itu. Apakah perlunya bersusah hati, padahal ibuku tetap jauh. Dan lagi, ibuku tak ingin aku bersedih hati. Dengan sedih tak mungkin aku bekerja, sedangkan pekerjaan membutuhkan pemusatan pikiran. Kalau keadaan seperti sekarang, semua akan menjadi terbengkalai. Akibat menganggur, segala segala sesuatu menjadi terpikir, juga yang bukan-bukan. Memang perpisahan itu kadang-kadang menyakitkan. Namun, perpisahan tak dapat dihindari.

Kucoba jalan-jalan ke luar. Air laut gemericik, sayu kedengaran. Kenapa, kau, bulan, ikut-ikut menggugah jiwaku mengenang yang kutinggalkan, ibuku, pacarku...... Maksudku ke luar cabin, ialah menghilangkan kesunyianku, tapi justeru lebih menyayat, begitu sakit rasanya. Tidak, perasaan ini harus hilang. Apa yang harus kurusuhkan ? coba, lihat, semua penumpang tertawa girang, ada yang bermain catur, akordion. Apa bedanya aku dan mereka ? merekapun mengalami perpisahan, justeru mereka lebih sakit berpisah dengan anak dan isterinya.

Ada tiga orang perwira datang mengajak bercakap-cakap. Jika selama itu aku tidak mau keluar dari cabin, maka sekarang aku ingin menghilangkan semua pikiran-pikiran  anak kecil.

Kami berempat menyanyi bersama-sama diirungi bunyi akordeon. Memang hilanglah semua kekesalanku. Aku harus berterima kasih pada Mayor Suryadi, yang bukan hanya memberi tempat, tapi juga setelah melihat aku sedang sedih, tak jemu-jemunya beliau dan teman-temannya mengajakku gembira.

Lama sekali kapal ini rasanya akan sampai. Masih harus singgah di Buleleng. Aku membeli mangga mentah banyak-banyak, akan kubikin rujak. Dari Buleleng hingga Makassar, perjaanku setiap hari hanya membikin rujak. Sampai di Makassar, aku turun mencari orang yang mungkin bisa menjadi agen surat kabarku. Aku minta bantuan juga Kodam Hasanuddin, supaya mau berlangganan tetap dengan jumlah yang agak besar.

Untunglah, semua itu berhasil, walaupun surat kabar itu datang akan terlambat sekali. Tujuannya membantu semata-mata supaya surat kabar itu nanti dapat hidup terus, distribusi akan berjalan lancar, walaupun jaraknya jauh. Kesediaan berlangganan sudah ada, walaupun belum ada nomor perkenalan.

Kapal berlayar lagi, dan akhirnya sampai di kota Ambon dengan selamat. Di Ambon aku harus mengambil kertas, padahal uang tidak ada. Mayor Suryadi menolongku lagi, karena aku tidak ada penginapan di Ambon. Aku dan Hamid bersama-sama diajak ke tempat beliau. Serumah smuanya pria, hanya aku yang wanita. Apa boleh buat, karena dalam keadaan terpaksa. Memang pandanggan orang tidak enak, tapi aku harus bermalam dimana, kalau tak mau bersama mereka ?

Biarlah, untuk sementara Hamid pun bersama-sama denganku. Kalau aku terus berpikir tentang pandangan orang, pekerjaanku tak akan berhasil. Berjalan terus : Tuhan Maha Tahu tentang apa yang dilakukan makhluknya, biarkan orang mengatakan segala-galanya, yang aku tidak melakukan yang mereka perkirakan.

Aku akan meminjam uang dari Kodam XV. Waktu itu Panglima sedang pergi, diwakili Kepala Stafnya. Overste Fatah, yang sudah kukenal ketika keliling Indonesia . beliau tidak keberatan, karena pinjaman itu adalah untuk usaha yang peru dibantu. Harga kertas Rp. 21.081,— ditambah ongkos pengangkutan dan lain-lain, maka aku pinjam Rp. 25.000,—. Aku kemudian menunggu hubungan ke Maluku Utara.      

Selama aku menunggu, aku membuat keaktifan-keaktifan di daerah. Persuratkabaran bukan saja di Maluku Utara yang mati, tapi juga di Ambon. Wartawan-wartawannya sudah kehilangan semangat, penerbitan sudah tidak terpelihara lagi. Akan diam-diam saja ? PWI cabang Ambon kuminta mengadakan pertemuan antara wartawan-wartawan dan mengundang pejabat-pejabat untuk memberikan kritiknya pada aku supaya aku bangun, mengetahui suara pembacara secara langsung tentang kekurangan kita, bagaimana kita mendapatkan pembaca yang sebesar-besarnya memberi isi koran yang tidak mengecewakan. Semuanya berjalan dengan baik dan para wartawan kembali pada kegiatannya. Aku diharapkan berada di Ambon, tapi tak mungkin, di Soasiu aku lebih dibutuhkan.

Aku mendapat undangan resepsi ulang tahunnya Gubernur Maluku, bapak Padang. Aku hadir bersama-sama Overste Fatah dan Jaksa Tinggi Ambon. Karena keluarga beliau belum berada di Ambon, maka timbullah asosiasi-asosiasi yang tidak-tidak. Di antara yang hadir, tidak ada yang semuda seperti aku, sehingga aku berusaha mendekati ibu-ibu sebagaimana mestinya. Acara berjalan dengan meriah. Yang menjadi bintang malam itu adalah bapak K. P. Kom. Margono. Beliaulah yang membuat acara malam itu menjadi hidup.

Beliau itu lucu, setiap geriknya menimbulkan tawa. Menunjuk orang menjadi tidak asing lagi bagi kami, tidak pandang pangkat maupun usia. Justeru makin tua usianya, makin lucu kalau menyanyi. Akhirnya aku dapat giliran juga. Disinilah pandangan menjadi lain. Lebih-lebih Margono yang menganggap aku masih anak-anak dan membuatku sedemikian lucu untuk bahan tertawaan memeriahkan malam itu. Karena aku menghormati beliau, maka kulaksanakan apa yang beliau perintahkan, semuanya sekedar untuk ramai-ramai saja. aku tidak mendugga bahwa di antara beberapa ibu-ibu ada mendongkol dengan apa yang bapak Margono lakukan. Bersambung...



S u m b e r  :

J. Herlina – Pending Emas
PT Gunung Agung – MCLXIV 
Cetakan ke 2 – 1965