Ki Slamet Blog - Kita Semua Wayang
Rabu, 16 Mei 2018 - 06:17 WIB
Rabu, 16 Mei 2018 - 06:17 WIB
PROPINSI IRIAN
BARAT BENTUK LAMA
Sebelum Irian Barat kembali ke ke
wilayah kekuasaan Indonesia, Propinsi Irian Barat telah dibentuk semenjak tahun
1956 dengan ibu kota soasiu di pulau Tidore, di sebelah Utara kepulauan Maluku.
Pembentuka propinsi ini terkenal dengan sebutan propinsi perjuangan dengan
bapak Zaini Abidinsyah sebagai gunernur. Sebelum aku menginjakkan kaki di
propinsi perjuangan ini, bayanganku luar biasa, bagaimana hebatnya kira-kira
propinsi tersebut.
Begitu luar biasa sampai segenap penjuru
tanah air memikirkan Irian Barat dengan segala kegiatan-kegiatannya.
Lebih-lebih kota itu adalah tempat segala penentuan nasib Irian Barat.
Aku pikir tentu Soasiu lebih luar biasa
lagi dibandingkan dengan daerah lainnya karena Soasiu landasan utama sebagai
propinsi perjuangan.
Setelah aku pertama kali menginjakkan
kaki di sana pada bulan pebuari 1961 yakni tatkala aku berkeliling Indonesia,
maka semua bayangan itu menjadi lenyap dan aku bertanya pada diriku sendiri,
inikah yang dinamakan Propinsi Perjuangan ? bayanganku meleset. Penghuni Soasiu
tidak lagi ingin memikirkan Irian Barat, tetapi memikirkan bagaimana mendapat
keuntungan diri sendiri dalam kesempatan sekarang.
Memang, Pemerintah sama sekali tidak
menduga bahwa penyalahgunaan juga berlaku dalam suasana perjuangan seperti di Soasiu.
Perjuangan sekarang jauh berbeda dengan perjuangan 1945. Sebagian besar
orang-orangnya sudah tahu nikmatnya mobil Bel Air, sejuknya kota Puncak dengan
wanita-wanita cantiknya, dan rumah mewahnya.
Sebenarnya Soasiu bukan di Tidore tetapi
di Jakarta, sebab kebanyakan pejabat-pejabatnya dinas di Jakarta,
berbulan-bulan tidak kembali ke tempat dengan alasan hubungan sukar. Memang
banyak juga alasan, untuk tidak kembali ke Soasiu. Tidak banyak yang dikerjakan
di Soasiu, pekerjaan rutin pun sangat sunyi.
Kegiatan setempat mengenai Irian Barat
tidak ada, kecuali membangun Soasiu, setengan-setengah.
Propinsi ini sebenarnya hanya bersifat
darurat, pembangunan di Soasiu taraf Propinsi hanya sekedar mengenai hal-hal
yang dianggap perlu saja, bukan seluruh rancangan pembangunan yang dilaksanakan
di daerah ini, sekalipun daerah ini mempunyai hubungan sejarah yang erat dengan
Irian Barat. Soasiu tidak semestinya mencari kesempatan untuk diri sendiri,
meskipun tuntutannya dijadikan Propinsi Perjuangan diterima oleh Pemerintah.
Apakahkita ini akan terus mempertahankan penyakit pemborosan dan penyelwengan.
Pada waktu Soasiu masih baru, dengan
kemauan keras dan semangat menyala, pasti berhasil membangun untuk mengimbangi
penjajah Belanda. Tetapi tidak demikian halnya. Uang telah berjuta-juta keluar,
pembangunan tetap setengah-setengah. Yang tampak hanya beberapa perumahan
pegawai dan kantor-kantor ynag sebagian besar setengah selesai. Sedangkan jalan
yang direncanakan untuk diaspal, hanya tinggal aspalnya saja ditumpuk di depan
kantor D.P.U.
Menurut penjelasan kepala D.P.U., jalan
di Soasiu sukar dibuat, tidak seperti jalan raja di Jawa, karena tenaga buruh
sangat kurang, membutuhkan waktu lama, entah kemana perginya.
Bukan hanya jalan, juga misalnya gedung
percetakan, uangnya sudah berjuta-juta keluar tapi hanya dasarnya yang selesai
dan akhirnya menjadi puing-puing yang tidak berarti.
Aku tidak ingin lebih dalam
mempersoalkan semua kepincangan-kepincangan ini, hanya aku sebagai anggota
generasi baru ingin supaya penyakit-penyakit itu demikian ini tidak lagi lagi
tercontoh.
Siapa yang tidak ingin mewah-mewah.
Namun hendaknya caranya mendapatkan kemewahan jangan dengan menyalahgunakan
kepercayaan rakyat yang dipikulkan. Hasil yang seharusnya dapat dinikmati oleh
rakyat, janganlah untuk diri sendiri.
Apa yang kugambarkan di atas bukan
merupakan kritik tapi sekedar bantahan terhadap gambaranku sendiri sebelum aku
mengenal Soasiu dari dekat. Sebagai anggota angkatan baru barang tentu aku
tidak senang melihat keadaan demikian. Tapi apa yang dapat kusumbangkan pada
daerah ini ?sebagai pegawai, aku seolah-olah mati. Tidak dapat luas
mengembangkan inisiatif, melainkan hanya menunggu perintah dan duduk memenuhi
syarat sebagai pegawai dari jam 2.00 siang, walaupun tak ada pekerjaan.
Mengapa justru kusebut jam pagi, tidak
jam 7.00 ? Sekarang sudah menja tidak adadi kebiasaan pula di daerah ini datang
ke kantor seenaknya, boleh jam 8.00 atau jam 9.00.
Tentu aku tidak ingin menyumbangkan
tenaga sia-sia, walaupun sumbangaan tenagaku tidak berarti apa-apa.
Di Soasiu pemancar radio juga ada,
tetapi hanya dapat ditangkap lokal, dan orang pun malas mendengarnya, karena
isinya hanya membentak-bentak tidak ada artinya. Lebih baik mencari gelombang
lain. Orang malah lebih gemar mencari gelombang Biak, karena hiburannya banyak.
Seluruh siaran Biak, hampir semua berupa lagu-lagu, baik lagu Barat maupun
lagu-lagu Indonesia populer. R.R.I
Propinsi Irian Barat didirikan untuk menyaingi radio penjajah, tapi hasilnya
terbalik, radio penjajah mengisi telinga pendengar-pendengar kita.
RRI Ternate. Tugasnya menghibur rakyat di
garis depan,
meladeni
setiap tuduhan Radio Omroep Nieuw Guinea
Radio adalah alat penerangan, sedangkan
rakyat di Maluku Utara terutama daerah Propinsi Irian Barat, dapat dihitung
siapa-siapa yang memiliki radio. Penerangan dari radio tidak ada. Surat kabar
atau bacaan-bacaan juga tidak ada, sehingga rakyat sekitar daerah ini buta sama
sekali mengenai Irian Barat dan perkembangan-perkembangan lain.
Karenanya aku tertarik sekali oleh segi
ini. Mungkin lebih baik kalau aku menceburkan diri dalam dunia penerangan
rakyat, walaupun aku bukan pegawai penerangan. Ada baiknya ini untuk bekerja
kalau di Soasiu diterbitkan surat kabar, walaupun bukan harian, cukup mingguan.
Percetakan ada, sedangkan pekerjaan
hampir tidak ada. Kalau surat kabar dicetak di daerah ini, maka berarti
percetakan di Soasiu berjuang sesuai dengan tujuan Pemerintah yang memberi
percetakan pada daerah perjuangan ini untu bekerja, bukan untuk menganggur
sambil menerima gaji bulanan.
Di Soasiu memang pernah diterbitkan
surat kabar tapi tidak dapat hidup lama. Alasannya dapat diterima juga. Para
langganan tidak mau membayar, pembacanya sangat kurang sekali. Hubungan antar
kota melalui lautan, hal ini membutuhkan waktu dan pengeluaran uang, sedang
pemasukan uang tidak seimbang. Disamping alasan ini, juga orang-orangnya pun
membutuhkan uang. Pemakaian uang sebagai honorarium tidak tepat lagi, makin
hari uang makin tipis, akhirnya gulung tikar. Uang subsidi pun lenyap.
Tinggallah Soasiu dengan
penghuni-penghuninya yang pasif dan statis, dikelilingi oleh lautan dan
lambaian pohon kelapa dengan pemandangan alang-alang yang hidup subur. Keluhan
sunyi meratap sepanjang hari, menantikan saat dipindahkan ke daerah lain.
Tentu keadaan ini akan kurasakan pula nanti
kalau aku benar-benar berada di daerah ini.
—
SP —
S u m b e r :
J. Herlina – Pending Emas
PT Gunung Agung – MCLXIV
Cetakan ke 2 – 1965
Tidak ada komentar:
Posting Komentar