Selasa, 15 Mei 2018

PENDING EMAS 2 J. Herlina

Ki Slamet Blog - Kita Semua Wayang
Rabu, 16 Mei 2018 - 06:17 WIB
 
Sukarno Presiden RI Ke 1

PROPINSI IRIAN BARAT BENTUK LAMA

Sebelum Irian Barat kembali ke ke wilayah kekuasaan Indonesia, Propinsi Irian Barat telah dibentuk semenjak tahun 1956 dengan ibu kota soasiu di pulau Tidore, di sebelah Utara kepulauan Maluku. Pembentuka propinsi ini terkenal dengan sebutan propinsi perjuangan dengan bapak Zaini Abidinsyah sebagai gunernur. Sebelum aku menginjakkan kaki di propinsi perjuangan ini, bayanganku luar biasa, bagaimana hebatnya kira-kira propinsi tersebut.

Begitu luar biasa sampai segenap penjuru tanah air memikirkan Irian Barat dengan segala kegiatan-kegiatannya. Lebih-lebih kota itu adalah tempat segala penentuan nasib Irian Barat.

Aku pikir tentu Soasiu lebih luar biasa lagi dibandingkan dengan daerah lainnya karena Soasiu landasan utama sebagai propinsi  perjuangan.

Setelah aku pertama kali menginjakkan kaki di sana pada bulan pebuari 1961 yakni tatkala aku berkeliling Indonesia, maka semua bayangan itu menjadi lenyap dan aku bertanya pada diriku sendiri, inikah yang dinamakan Propinsi Perjuangan ? bayanganku meleset. Penghuni Soasiu tidak lagi ingin memikirkan Irian Barat, tetapi memikirkan bagaimana mendapat keuntungan diri sendiri dalam kesempatan sekarang.

Memang, Pemerintah sama sekali tidak menduga bahwa penyalahgunaan juga berlaku dalam suasana perjuangan seperti di Soasiu. Perjuangan sekarang jauh berbeda dengan perjuangan 1945. Sebagian besar orang-orangnya sudah tahu nikmatnya mobil Bel Air, sejuknya kota Puncak dengan wanita-wanita cantiknya, dan rumah mewahnya.

Sebenarnya Soasiu bukan di Tidore tetapi di Jakarta, sebab kebanyakan pejabat-pejabatnya dinas di Jakarta, berbulan-bulan tidak kembali ke tempat dengan alasan hubungan sukar. Memang banyak juga alasan, untuk tidak kembali ke Soasiu. Tidak banyak yang dikerjakan di Soasiu, pekerjaan rutin pun sangat sunyi.

Kegiatan setempat mengenai Irian Barat tidak ada, kecuali membangun Soasiu, setengan-setengah.

Propinsi ini sebenarnya hanya bersifat darurat, pembangunan di Soasiu taraf Propinsi hanya sekedar mengenai hal-hal yang dianggap perlu saja, bukan seluruh rancangan pembangunan yang dilaksanakan di daerah ini, sekalipun daerah ini mempunyai hubungan sejarah yang erat dengan Irian Barat. Soasiu tidak semestinya mencari kesempatan untuk diri sendiri, meskipun tuntutannya dijadikan Propinsi Perjuangan diterima oleh Pemerintah. Apakahkita ini akan terus mempertahankan penyakit pemborosan dan penyelwengan.

Pada waktu Soasiu masih baru, dengan kemauan keras dan semangat menyala, pasti berhasil membangun untuk mengimbangi penjajah Belanda. Tetapi tidak demikian halnya. Uang telah berjuta-juta keluar, pembangunan tetap setengah-setengah. Yang tampak hanya beberapa perumahan pegawai dan kantor-kantor ynag sebagian besar setengah selesai. Sedangkan jalan yang direncanakan untuk diaspal, hanya tinggal aspalnya saja ditumpuk di depan kantor D.P.U.

Menurut penjelasan kepala D.P.U., jalan di Soasiu sukar dibuat, tidak seperti jalan raja di Jawa, karena tenaga buruh sangat kurang, membutuhkan waktu lama, entah kemana perginya.

Bukan hanya jalan, juga misalnya gedung percetakan, uangnya sudah berjuta-juta keluar tapi hanya dasarnya yang selesai dan akhirnya menjadi puing-puing yang tidak berarti.

Aku tidak ingin lebih dalam mempersoalkan semua kepincangan-kepincangan ini, hanya aku sebagai anggota generasi baru ingin supaya penyakit-penyakit itu demikian ini tidak lagi lagi tercontoh.

Siapa yang tidak ingin mewah-mewah. Namun hendaknya caranya mendapatkan kemewahan jangan dengan menyalahgunakan kepercayaan rakyat yang dipikulkan. Hasil yang seharusnya dapat dinikmati oleh rakyat, janganlah untuk diri sendiri.

Apa yang kugambarkan di atas bukan merupakan kritik tapi sekedar bantahan terhadap gambaranku sendiri sebelum aku mengenal Soasiu dari dekat. Sebagai anggota angkatan baru barang tentu aku tidak senang melihat keadaan demikian. Tapi apa yang dapat kusumbangkan pada daerah ini ?sebagai pegawai, aku seolah-olah mati. Tidak dapat luas mengembangkan inisiatif, melainkan hanya menunggu perintah dan duduk memenuhi syarat sebagai pegawai dari jam 2.00 siang, walaupun tak ada pekerjaan.

Mengapa justru kusebut jam pagi, tidak jam 7.00 ? Sekarang sudah menja tidak adadi kebiasaan pula di daerah ini datang ke kantor seenaknya, boleh jam 8.00 atau jam 9.00.

Tentu aku tidak ingin menyumbangkan tenaga sia-sia, walaupun sumbangaan tenagaku tidak berarti apa-apa.

Di Soasiu pemancar radio juga ada, tetapi hanya dapat ditangkap lokal, dan orang pun malas mendengarnya, karena isinya hanya membentak-bentak tidak ada artinya. Lebih baik mencari gelombang lain. Orang malah lebih gemar mencari gelombang Biak, karena hiburannya banyak. Seluruh siaran Biak, hampir semua berupa lagu-lagu, baik lagu Barat maupun lagu-lagu Indonesia populer.  R.R.I Propinsi Irian Barat didirikan untuk menyaingi radio penjajah, tapi hasilnya terbalik, radio penjajah mengisi telinga pendengar-pendengar kita.

         RRI Ternate. Tugasnya menghibur rakyat di garis depan,
       meladeni setiap tuduhan Radio Omroep Nieuw Guinea

Radio adalah alat penerangan, sedangkan rakyat di Maluku Utara terutama daerah Propinsi Irian Barat, dapat dihitung siapa-siapa yang memiliki radio. Penerangan dari radio tidak ada. Surat kabar atau bacaan-bacaan juga tidak ada, sehingga rakyat sekitar daerah ini buta sama sekali mengenai Irian Barat dan perkembangan-perkembangan lain.

Karenanya aku tertarik sekali oleh segi ini. Mungkin lebih baik kalau aku menceburkan diri dalam dunia penerangan rakyat, walaupun aku bukan pegawai penerangan. Ada baiknya ini untuk bekerja kalau di Soasiu diterbitkan surat kabar, walaupun bukan harian, cukup mingguan.

Percetakan ada, sedangkan pekerjaan hampir tidak ada. Kalau surat kabar dicetak di daerah ini, maka berarti percetakan di Soasiu berjuang sesuai dengan tujuan Pemerintah yang memberi percetakan pada daerah perjuangan ini untu bekerja, bukan untuk menganggur sambil menerima gaji bulanan.

Di Soasiu memang pernah diterbitkan surat kabar tapi tidak dapat hidup lama. Alasannya dapat diterima juga. Para langganan tidak mau membayar, pembacanya sangat kurang sekali. Hubungan antar kota melalui lautan, hal ini membutuhkan waktu dan pengeluaran uang, sedang pemasukan uang tidak seimbang. Disamping alasan ini, juga orang-orangnya pun membutuhkan uang. Pemakaian uang sebagai honorarium tidak tepat lagi, makin hari uang makin tipis, akhirnya gulung tikar. Uang subsidi pun lenyap.

Tinggallah Soasiu dengan penghuni-penghuninya yang pasif dan statis, dikelilingi oleh lautan dan lambaian pohon kelapa dengan pemandangan alang-alang yang hidup subur. Keluhan sunyi meratap sepanjang hari, menantikan saat dipindahkan ke daerah lain.

Tentu keadaan ini akan kurasakan pula nanti kalau aku benar-benar berada di daerah ini.

    SP —
 


S u m b e r  :
J. Herlina – Pending Emas
PT Gunung Agung – MCLXIV 
Cetakan ke 2 – 1965

Tidak ada komentar:

Posting Komentar