Sabtu, 31 Desember 2011

BUKU "BUDAYA INDONESIA" Prof. Dr. Edi Sedyawati


TINJAUAN BUKU
Judul buku: Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah
Author       : Prof. Dr. Edi Sedyawati
Penerbit    : Rajawali Pers – Citra niaga buku perguruan tinggi - Jakarta








BUKU BUDAYA INDONESIA: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah
PROF. DR. EDI SEDYAWATI
MINGGU, 1 JANUARI 2012 – DENMAS PRIYADI BLOG :  Buku “Budaya Indonesia” yang ditulis Prof. Dr. Edi Sedyawati terbitan Rajawali Pers ini menyajikan berbagai pokok kajian dan renungan dalam ilmu-ilmu budaya yang meliputi bidang-bidang studi Arkeologi, Filologi, Seni Pertunjukan, dan Sejarah diulas  secara menarik di dalam buku ini.  Sejumlah 45 pokok bahasan dikemukakan dengan menampilkan data baru atau melihat sejumlah data yang sudah tersedia dalam sorotan permasalahan baru, atau dalam keterkaitan baru, dengan melihat relevansinya pada masa kini.  Salah satunya adalah tentang pengembangan Arkeologi Maratim.


Pokok-pokok kajian yang disajikan dalam buku ini boleh dikatakan lahir sebagai akibat dari rangsangan ataupun kebutuhan untuk mendukung perkuliahan di Fakultas Sasttra/Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, khususnya terkait dengan judul-judul mata kuliah seperti Sejarah Kebudayaan Indonesia, Kesenian dan Masyarakat Indonesia, Pengantar Arkeologi, Pengantar Filologi, Kesustraan Jawa Kuno, Kaidah Kesenian Hindu, Seni Pertunjukan Kuno Indonesia, Sejarah Kesenian, Ikanografi Budha, Managemen Sumber Daya Budaya, dan lain-lain.

Harapan yang menyertai penerbitan buku ini adalah diperolehnya sambutan yang ‘ramai’, baik dari sesame penggiat ilmu pengetahuan maupun dari khalayak di luar itu yang tentunya juga senantiasa memerlukan penambahan pengetahuan umumnya, lebih-lebih mengenai kebudayaan bangsanya sendiri.

Putu Wijaya
Putu Wijaya, seniman teater, sastrawan dan budayawan:
“Dari tangan seorang professor doctor arkeolog yang juga penari, penyair, pengamat seni, dan mantan Dirjen Kebudayaan, sebuah buku kajian tak menjadi kering dan satu dimensi.  Kita pun menjadi lebih waspada ternyata berbagai disiplin saling bertindih dalam satu titik bila saja ada mata yang jeli membelahnya”. 

Taufik Abdullah
Taufik Abdullah, sejarawan dan budayawan:
“Mungkinkah manusia membebaskan dirinya dari dunia simbol? Gerak, bentuk, bunyi, dan teks tak berhenti pada dirinya, tetapi mengatakan lagi tentang sesuatu yang jauh melebihi dirinya.  Kumpulan tulisan Dr. Edi Sedyawati, guru besar Arkeologi yang penari klasik, dengan manis dan canggih membawa kita memahami dan mendalami dunia yang sesungguhnya mengitari diri kita masing-masing”.

Prof. Dr. Edi Sedyawati yang lahir di Malang, 28 Oktober 1938 adalah alumnus Arkeologi Universitas Indonesia 1963.  Penulis menyelesaikan program doctor di Fakultas Sastra Universitas Indonesia untuk jurusan Arkeologi pada tahun 1985.  Pada tahun 1992, penulis dikukuhkan sebagai Guru Besar Arkeologi di universitas yang sama.
Penulis pernah menjabat sebagai Direktur Jendral Kebudayaan, Depdikbud RI pada periode 1999-2001.  Jabatan lain yang pernah diembannya antara lain Pembantu Rektor I Institut Kesenian Jakarta (1986-1989);  Pembantu Dekan I  Fakultas Kesenian, IKJ (1978-1980);  Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, UI (1989-1993); dan Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (1971-1976).  Selain itu, penulis juga pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan pada berbagai jurusan, di antaranya Jurusan Akademi Tari, LPKJ (1971-1977); Jurusan Arkeologi,UI (1971-1974); dan Sastra Daerah, FSUI (1987-1993).

Jabatan dalam organisasi profesi yang pernah diemban penulis antara ain Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (1995-1999; 1999-2002);  Ketua HISKI (Himpunan Sarjana Kesustraan Indonesia) komisariat Universitas Indonesia (1992-1993); Ketua I Masyarakat Sejarawan Indonesia (1990-1993);  Keua Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Jakarta (1986-1990); dan sejak tahun 1990 menjabat sebagai Penasehat Masyarakat Musikologi Indonesia, yang kemudian berganti nama menjadi Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Karya-kaya tulisnya yang meliputi bidang-bidang arkeologi, sejarah, kesenian, ikonografi, filologi, dan tari telah diterbitkan dimuat  diberbagai media massa.  Sementara itu, disertasinya yang berjudul “Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian” (lulus dengan yudisium mogna cumlaude) telah diterbitkan oleh EFEO, LIPI, dan Rijksuniversiteit Leiden pada tahun 1994.  Terjemahan dalam bahasa inggris diterbitkan dalam sebagai verhandelingen, koninklijk Institut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, nomor 160, Leiden 1994, dengan judul Ganesa Statuary of the Kadiri and Singhasari Periods, A Study of Arts History.

Atas prestasinya sebagai budayawan, penulis telah dianugerahi berbagai penghargaan, di antaranya Penghargaan UI untuk penulisan ilmiah internasional 1999 (2000); Bintang Mahaputra Utama (1998);  Bintang “Chevalier des arts et letters” dari Republik Prancis (1997); Satyalancana Karya Satya 30 Tahun (1997); Bintang Jasa Utama Republik Indonesia (1995); dan Hasil Penelitian Terbaik UI bidang Humaniora (1986).RAJAWALI PERS – Citra Niaga Buku Perguruan Tinggi – Jakarta                         

Rabu, 28 Desember 2011

" PUPPET IN THE DAYS OF ISLAM " by Drs. H. Effendi Zarkasi


PUPPET IN THE DAYS OF ISLAM by Drs.H.Effendi zarkasi

MANIKMAYA OR BETARA GURU
THUSDAY, DECEMBER 29, 2011 - DENMAS PRIYADI BLOG :  Is why in the days Demak changes so great and wonderful? For this let us see what Dr.. G.A.J. Hazeu which has been translated by R.M. Mangkudimejo.

At first puppets made of buffalo leather R. Fractures during the reigns in 1437 saka. At that time the puppet is still intangible such as painting the human form as what is contained in the temple reliefs Upgrading. Therefore it has something to do with Islamic religious law, which is contrary to the Personality ', while the king and the people loved the puppets, the puppet of the mayor to change the shape of the painting "metok" (face to face) to be skewed. While parts of the body especially the hands of a length. At first, before taking a picture carved in the eyes, ears, etc., just simply drawn, then painted with a sculpture by the Mayor. That's where if people want to know that how smart the Wali.

That the mayor has a very important role, Dr.PH Piqued argues, that:

Research by experts Kejawen, puppet shows Purwa mean it is closely related to the pattern of early Muslims in Java. Allegations that the player shows as separate puppets had been there since ancient times and then filled with mystical Islam is not true. People know that the news about the Guardians Java propagator of Islam, that is what gives them an important role in the puppet show on the purpose of realization of this right now ... (Dr.PH Piqued, Javaanse Voksvertoningen, page 56).

Purwa R.M. Sajid says that:

By Sunan Giri then fitted again with ornaments, such as chelating shoulder (garnish base of the arm), bracelet, "keroncong" (ankle bracelets), earrings ear, "Badong" (decoration on the back), "diadem" (headdress), and others. Being a puppet and a story that was Queen Single suluknya in Giri, when represented in the Palace Demak Saka year 1478.

Commencement of puppets carved striped gambier (fine lines in the hair for example) that in the year 1477 Saka behest R. Trenggana who holds Kanjeng Emperor Akbar Sah Ngalam III in Demak.

Later in the reign of Sultan Hadiwijaya who in his youth known as Joko Tingkir Pajang king, puppets carved Gayaman (regardless), but the hands still connected primarily to the body. That is not separated from the body which are connected with a rope like what we see in puppet form now.

As for the magnified by his puppet monkey (Vanara) is Sunan Giri. While that adds Ricikan (horses, elephants, soldiers Rampak, etc.) is Sunan Bonang.

Raden Patah create Kayon (mountains) that is attached in the middle of the arena screen when the show early, middle, and end the show. (Sri Mulyono, Wayang: the origins, philosophy and future, p. 84-89)

Puppets carved in a more subtle again is in the reign of Senopati Ing Ngalogo Sayidin Panotogomo Mataram in 1541. Starting separation of body hand puppet (which was then tied to the body in order to facilitate the movement of the hand) is also in the days of Mataram.

Began holding a giant Cakil in 1552 Saka and this is indicated by Candra sengkala Memet (images that can show the meaning of the year) that "The Hand Attorney Tinata creature" in 1552 Saka.

 The creation of "Guru" according to Dr.. Piqued that, Guru Puppet by holding the "Cis," have the meanings made in rebuttal Memet in 1485 Saka (Cegamaning kinarseng dragon god) or 1563 AD.

Festival Widyaka own name as the first puppeteer who played Shadow Puppet. Sunan Kalijaga also the same, in the year 1443 Saka, Gemi dadi Gucining guard = 1521 AD. (Dr. TH Piqued, Javaanse Volksvertoningen, page 56.)

Regarding the transition to a form of shadow play puppet Beber in the days of empire Demak in the book "Religion and Culture linkages" are described as follows:

According to the book “Kaweruh asalipun ringgit" by RM Mangkudimejo Yogyakarta palace courtiers, puppet Beber was everything technique improved by Demak Sangkala was in the year 1437. The principle of technical drawings or flock lined up on the sheet rolling, which will be displayed if, then "dibeber" (stretched), the replacement of the principle techniques tafsili images, one by one, meant to be more "alive" when displayed. (Ki Musa Al-Machfoed, link ages Religion and Culture, page 21).  
The principle of the technique the picture "an sich" has been improved as well. Shape = kitchen (Java) face (en phase) replaced with a sloping shape (en-profit) in accordance with Personality 'religion of Islam which forbids drawing an intangible human.

Although the anatomical shape of the image aesthetis puppet was wrong and ugly, but few people actually do not want to brave such Gatutkaca, handsome like Arjuna, like Wara Sumbadra beautiful, and agile as Heroine of the puppet characters Purwa it. Though shape and form parts of the puppet characters are not good at all in fact, the quotes can be said to be beautiful and not proportional.

Furthermore, the puppetry Purwa given the stories written by, which means to "aanschouwelijkmaken" truths of Islamic teachings. Such stories include the story of God Ruci, Petruk become Queen, Semar magic items, Pandu Bergola, mustaka Weni and so on. In fact what is called Amulet Kalimasada with all its efficacy and its miracle, who became principal mustaka Weni story that was obviously the creation of Islam. Amulet Kalimasada name was firmly and clearly reminds us of the teachings of Islam Pillars of Islam of the first, say two sentences Creed.

Related to that, a scholar poem about wayang as follows:

I see the puppet as an important lesson for people who like to increase in the science of nature.
Entertaining the heart, refresh yourself. You see it all disappear and ki puppeteer who will stay fixed.

Top of Form
If the beginning of this paper has been elaborated on the origin of the development of shape or form of puppets, from puppet to puppet beber, even since before the finished puppet beber, then the following will diraikan the origins and development of the story puppet. The origins of the wayang stories were true, is not directly taken from two books of Hindu literature is already very well known, namely "Ramayana and Mahabharata".

Book of the Ramayana written by Valmiki (Hindu). The book is older than the Mahabharata. Hindus in the country, including the book of Ramayana among those who embraced Vishnu. Being a religious book Mahabharata Shiva. In Java, Old Javanese Ramayana books and poetical. Dutch scholars who studied there we are, like Dr.WF Stutterhein (Die Rama Legenden) and others.

The Book of Old Javanese Ramayana is roughly at the time of king Diyah bertahtanya Balitung. A famous king who controlled Central Java and East Java, that reigned in Mataram circa 820-832 Saka. The book tells Old Javanese Ramayana speaks of King Rama, as the book's creation Sanskrit Valmiki Ramayana. However no difference. In Sanskrit Ramayana "Sita" Rama's wife, after the country returned to Ayodhya and parted with Rama. Being in the book of Old Javanese Ramayana, Sita Rama back together again soon. (Prof. RM Poerbotjaraka, Jawi Library, page 9).

Besides Old Javanese Ramayana when compared with Valmiki Ramayana, including the very short and concise, not protracted. It is known that the parent Old Javanese Ramayana it is not in Valmiki Ramayana. (Prof. RM Poerbotjaraka, Jawi Library, page 9).

Which tells the story of the love between Rama and Sinta has been demonstrated in a massive stage at Prambanan and is an annual event received considerable attention from the public and tourists.

The book of Mahabharata, originally existed in India bouquet of sage Wiyasa (Abiyasa), essentially tells the journey of life the Pandavas and the Kauravas; who is now in the land of Java would really be a story Purwa, but has undergone many changes.

Book Mabarata classified Siwaisme book consisting of 18 Parwa (part), of the eighteen new parwa 9 are found in Indonesia. Eighteen parwa that the order is thus:

1. Adi parwa *)
2. Sabha parwa *)
3. Wana (+ adults) parwa
4. Virata parwa *)
5. Ud-yoga parwa *)
6. Bhisma parwa *)
7. Drones parwa
8. Karna parrwa
9. Salya parwa 10. Ghada parwa
11. Ashwatthama parwa
12. Palapa Stri parwa
13. Santika parwa
14. Asvamedha parwa
15. Asramavasana parwa *)
16. Mausala parrwa *)
17. Prasihanika parwa *)
18. Swargarohana parwa *)

The 9 parwa in Indonesia is parwa-parwa number *) 1, 2, 4, 5, 6, 15, 16, 17, 18. While a lot of the source stories perwayangan in Indonesia is the first parwa, namely Adi parrwa. About Adi parwa creation of Indonesia, Prof. Poerbotjaraka described as follows:

"This book is the same arrangement with Uttarakanda book, also named True Dharmawangsa King (King in Java). In the book of the Mahabharata is the first part. While the details of the order of the story a lot. Clearly, a story of adolescence puppet play, stories about the birth story, and others. The story plays Goddess Lara Amis, Bale sigala-gala, the death of Arimba, Jiwata Bird and others, were excerpts from the book Adi parwa. Story "Ngebur Segoro Peresan", which causes the release of "water of life", also the beginning of a solar eclipse or eclipse of the moon-shaped head eaten by a giant, also present in this book. This book was printed in Latin letters. Compared with the Sanskrit Mahabharata by Prof.Dr. H. Kern accompanied by several passages. Garuda stories translated into Dutch by Dr. Joynboll ". (Prof. Dr. RM Ng. Poerbotjaraka, Jawi Library, page 9).

R. Harjawiraga describes the origins of puppets and puppet what exactly the purpose it was created to write the story thus:

Purwa is a symbol of human life in this world. In the principal means, that so early as the father of all puppets that mother is "Hyang Manik Maya" (Betara Teacher) and "Ismaya Hyang" (Semar) countryman Gods. Manikmaya and Ismaya son "Single Hyang" (not diujudkan as a puppet). Both men were initially in the form of light and at the same occurrence. Manikmaya shining, while the luminous Ismaya blackish. Both the light where the older snatch. Then "Single Hyang" said, that the light-dark-hitamanlah older. But the soul can not be predicted as a god and was named "Ismaya", is of a man and decreed that the world remained in a bloody god parenting derivative Pandavas. So diturunkanlah to the world he named "Semar" which seems to be a bad man.

The light that shines is named "Manikmaya", remained in "Suralaya" (royal god). Manikmaya feel proud, because it has no defects and very powerful. But such thoughts Manikmaya the cause for her disability also got on him later.

Both of these events is a symbol or a symbol. Ismaya human body as a symbol of this rough and Manikmaya as a symbol of human spiritual refinement. Jiw rough (Semar) always keep the five Pandavas who ujudnya form of "five senses" or fifth feelings of the human body.  Actually, anyone who thinks the intent of this story, always keeping the safety of our five senses:

The five Pandavas as a symbol of five human senses

1.     Nose taste sense
2.     Ear auditory sense
3.     Eyesight sense
4.     Mouth taste sense
5.     Tactile bodies sense
Yudistira ( Samiaji )
Werkudara ( Bima )
Arjuna ( Janaka )
Nakula
Sadewa
   
The five Pandavas or the human senses is not to take the wrong path such as nasal do not just love and fun in the all-time smell the fragrant and fragrant, the ears do not just listen to the melodious voice-melodious course, the eyes do not just look at the sheer beauty of the sometimes misleading, and so on. Clearly, any goods on the fifth sense, it should not be pointless undifferentiated good and evil, because everything that happens because the origin of the deeds themselves. Therefore, wherever possible the way it is returned to the consideration of calmness and clarity of heart.

This is the task of Semar to ensure the welfare and safety of the Pandavas that they may avoid hostilities with the Kauravas, is the passion of anger. But Betara Guru (inner sense) is always tempting and easy to disturb the sense of soul that leads to the error, the Pandavas and the Kauravas will not cease fighting continued until the last war, is war Baratayuda, and the glorious and got Pandawalah the victory.

Analyses of the Guru has been misunderstood. People assumed that the most powerful Guru of everything. (R. Harjawiguna, Purwa Puppet History, page 4, Hall Book, PN. Balai Pustaka Jakarta 1952).

Remember, Guru is weak, with evidence of any disability they have. If he is a very powerful surely no flaw in him. Guru indeed infinite in power, but with wisdom and supernatural powers Semar, Guru can be addressed and controlled by Semar. (Ibid, History of Wayang Purwa)
( SOURCE: DRS. EFFENDI  ZARKASIH,  ISLAMIC ELEMENTS IN  THE PUPPET -ALFA POWER JAKARTA ).
TERJEMAHAN
WAYANG DI ZAMAN ISLAM  by Drs.H.Effendi Zarkasi
HYANG ISMAYA OR SEMAR
KAMIS, 29 DESEMBER 2011 - DENMAS PRIYADI BLOG :  Apakah sebabnya pada zaman Demak terjadi perubahan yang begitu hebat dan luar biasa? Untuk ini marilah lihat pendapat  Dr. G.A.J. Hazeu yang telah diterjemahkan oleh R.M. Mangkudimejo.

Pada awalnya wayang dibuat dari kulit kerbau pada masa R.Patah yang bertahta tahun 1437 saka.  Pada waktu itu wayang masih berujud lukisan seperti bentuk manusia seperti apa yang terdapat pada relief candi Penataran.  Oleh karena hal itu ada kaitannya dengan hukum agama Islam, yaitu bertentangan dengan Syara’, sedangkan raja dan rakyat sangat menyukai wayang, maka para Wali merubah bentuk wayang dari lukisan “metok” (menghadap ke muka) menjadi miring. Sedangkan bagian badan terutama tangan menjadi panjang. Pada awalnya, sebelum memakai gambaran pahatan di dalam mata, telinga, dan lain-lain, hanya digambar saja, kemudian oleh Wali dilukis dengan pahatan.  Di situlah kalau orang mau tahu bahwa betapa pandainya para Wali.

Bahwa para Wali mempunyai peran yang sangat penting, Dr.P.H. Piqued berpendapat, bahwa:
Penelitian oleh ahli-ahli Kejawen, maksud pertunjukan wayang Purwa itu sangat erat hubungannya dengan pola Islam terdahulu di Jawa. Dugaan bahwa pertunjukan sebagai pemain boneka-boneka terpisah itu sudah ada sejak dahulu kala kemudian diisi dengan mistik Islam adalah tidak benar. Orang tahu bahwa berita-berita Jawa mengenai para Wali penyebar Islam, mereka itulah yang memberikan peranan penting pada tujuan pertunjukan wayang dalam perwujudannya yang sekarang ini… (Dr.P.H. Piqued, Javaanse Voksvertoningen, hal 56).

Purwa R.M. Sajid mengatakan bahwa:
Oleh Sunan Giri kemudian dilengkapi lagi dengan hiasan-hiasan, seperti kelat bahu (hiasan pangkal lengan), gelang, “keroncong” (gelang kaki), anting telinga, “badong” (hiasan pada punggung), “jamang” (hiasan kepala), dan lain-lain. Sedang yang mengarang cerita wayang dan suluknya itu adalah Ratu Tunggal di Giri, tatkala mewakili di Istana Demak tahun 1478 Saka.

Dimulainya wayang dipahat bergaris-garis gambir (garis-garis halus pada rambut misalnya) itu pada tahun 1477 Saka atas perintah R. Trenggana yang bergelar Kanjeng Sultan Sah Ngalam Akbar III di Demak.
Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya yang pada masa mudanya dikenal dengan nama Joko Tingkir raja Pajang, wayang dipahat gayaman (terlepas), tetapi tangan masih tersambung denan badan.  Artinya belum dipisahkan dari badan yang disambung dengan tali seperti apa yang kita lihat pada bentuk wayang sekarang.
Adapun yang menambah dengan wayang kera (wanara) adalah Sunan Giri.  Sedangkan yang menambah ricikan (kuda, gajah, prajurit rampak, dan lain-lain) adalah Sunan Bonang.
Raden Patah menciptakan kayon (gunungan) yang ditancapkan di tengah gelanggang kelir disaat awal pertunjukan, tengah, dan akhir pertunjukan. (Sri Mulyono, Wayang: asal-usul, filsafat dan masa depannya, hal 84 – 89)

Wayang ditatah secara lebih halus lagi adalah pada masa pemerintahan Senopati Ing Ngalogo Sayidin Panotogomo Mataram tahun 1541. Mulai dipisahkannya tangan dari tubuh wayang (yang kemudian diikat dengan tubuh agar memudahkan gerak tangan) juga pada zaman Mataram.

Mulai diadakannya raksasa Cakil tahun 1552 Saka dan ini ditunjukkan oleh Candra Sengkala Memet (gambar yang dapat menunjukkan arti tahun) yaitu “Tangan Jaksa Tinata Jalma” tahun 1552 Saka.
Adapun diciptakannya “Batara Guru”  menurut Dr. Piqued bahwa, Wayang Batara Guru dengan memegang “Cis”, mempunyai arti dibuat pada sangkalan memet tahun 1485 Saka (Cegamaning naga kinarseng Dewa) atau 1563 Masehi.

Sunan Kudus sendiri dengan nama Widyaka sebagai dalang pertama yang memainkan Wayang Kulit.  Sunan Kalijaga juga demikian, yaitu tahun 1443 Saka, Gemi dadi Gucining jaga = 1521 Masehi. (Dr. T.H. Piqued, Javaanse Volksvertoningen, halaman 56.)
 
Mengenai peralihan bentuk wayang Beber ke wayang kulit pada zaman kerajaan Demak dalam buku “Pertalian Agama dan Kebudayaan”  diuraikan sebagai berikut:

“Menurut buku Kaweruh asalipun ringgit” karangan R.M. Mangkudimejo abdi dalem kraton Yogya, wayang Beber itu diperbaiki teknik segala-galanya oleh Demak ialah dalam tahun 1437 sangkala.  Prinsip tehnik gambar berbondong atau berjejer di atas lembaran bergulung, yang bila akan dipertunjukkan, lalu “dibeber” (dibentangkan), digantinya dengan prinsip tehnik gambar tafsili, satu demi satu, maksudnya agar lebih “hidup” bila dipertontonkan. (Ki Musa Al-Machfoed, Pertalian Agama dan Kebudayaan, halaman 21).   
Prinsip tehnik gambarannya “an sich” pun diperbaiki pula.  Ujud = dapur(Jawa) menghadap (en fase) digantinya dengan ujud miring (en profit) sesuai dengan Syara’ agama Islam yang melarang menggambar yang berujud manusia.  

Walaupun anatomis aesthetis ujud orang dalam gambar wayang itu salah dan jelek, namun orang malah tak sedikit yang ingin gagah seperti Gatutkaca, tampan seperti Arjuna, cantik seperti Wara Sumbadra, dan lincah seperti Srikandi dari tokoh-tokoh wayang Purwa itu.  Padahal ujud dan bentuk bagian-bagian dari tokoh-tokoh wayang tersebut sama sekali tidak bagus malahan, dalam tanda kutip bisa dikatakan tidak indah dan tidak proporsional.
Selanjutnya, kepada pedalangan wayang Purwa diberikan cerita-cerita karangan, yang maksudnya untuk aanschouwelijkmaken” kebenaran-kebenaran ajaran Islam.  Cerita-cerita demikian itu antara lain kisah Dewa Ruci, Petruk jadi Ratu, Semar barang jantur, Pandu Bergola, Mustaka Weni dan sebagainya.  Malah apa yang dinamakan Jimat Kalimasada dengan segala keampuhan dan kesaktiannya, yang jadi pokok cerita Mustaka Weni itu pun jelas sekali adalah ciptaan Islam.  Nama Jimat Kalimasada sudah tegas dan jelas mengingatkan kita pada ajaran Islam Rukun Islam yang pertama, mengucap dua Kalimat Syahadat.
Berkait dengan itu, syair seorang ulama tentang wayang seperti berikut :

Aku lihat wayang sebagai pelajaran yang penting sekali adalah bagi orang yang gemar meningkat dalam ilmu hakekat.
Menghibur kalbu, menyegarkan diri. Kau lihat semuanya lenyap dan ki Dalang saja yang akan tinggal tetap.  

Jika diawal tulisan ini telah diuraikan tentang asal-usul perkembangan bentuk atau wujud wayang, dari wayang beber ke wayang kulit, bahkan sejak sebelum jadi wayang beber, maka berikut ini akan diraikan asal-usul serta perkembangan isi cerita wayang.  Asal-usul cerita wayang itu yang benar, secara tidak langsung diambil dari dua kitab sastra Hindu yang sudah sangat terkenal, yakni “RAMAYANA dan MAHABARATA”.  

Kitab Ramayana dikarang oleh Walmiki (Hindu). Kitab ini lebih tua dari pada Mahabarata. di negeri Hindu, Ramayana termasuk kitab golongan orang yang memeluk agama Wisnu.  Sedang Mahabarata kitab orang yang beragama Siwa.  Di Jawa kitab Ramayana berbahasa Jawa Kuna dan berbentuk syair.  Para sarjana Belanda ada yang mendalami kita ini, seperti Dr.W.F. Stutterhein (Die Rama Legenden) dan lain-lain.
    
Kitab Ramayana berbahasa Jawa Kuna ini kira-kira pada masa bertahtanya raja Diyah Balitung. Seorang raja terkenal yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang bertahta di Mataram kira-kira tahun 820-832 Saka.  Adapun kitab Ramayana berbahasa Jawa Kuna menceritakan Prabu Rama, seperti kitab Ramayana berbahasa Sansekerta ciptaan Walmiki.  Meskipun demikian ada bedanya.  Pada Ramayana Sansekerta  “Sita” istri Rama, sesudah pulang ke negeri Ayodya lalu berpisah dengan Rama.  Sedang dalam kitab Ramayana Jawa Kuna, Sita segera berkumpul lagi dengan Rama.  (Prof.Dr. R.M. Poerbotjaraka, Kepustakaan Jawi, halaman 9).    

Selain itu Ramayana Jawa Kuna jika dibandingkan dengan Ramayana Walmiki, termasuk sangat pendek dan ringkas, tidak berlarut-larut. Telah diketahui bahwa induk Ramayana Jawa Kuna itu memang bukan Ramayana Walmiki. (Prof.Dr. R.M. Poerbotjaraka, Kepustakaan Jawi, halaman 9).

Cerita besar yang mengisahkan cinta-kasih antara Rama dan Sinta ini telah dipertunjukkan dalam panggung secara besar-besaran di Prambanan dan merupakan acara tahunan yang cukup besar mendapat perhatian dari masyarakat dan para turis.

Adapun kitab Mahabarata, aslinya ada di India karangan dari Resi Wiyasa (Abiyasa), intinya mengisahkan perjalanan hidup keluarga Pandawa dan Korawa; yang kini di tanah Jawa jadi lakon cerita wayang Purwa, akan tetapi sudah banyak mengalami perubahan.

Kitab Mabarata tergolong kitab Siwaisme yang terdiri dari 18 Parwa (bagian), dari delapan belas parwa baru 9 saja yang diketemukan di Indonesia.  Delapan belas parwa itu urutannya adalah demikian :

  1. Adi parwa *)
  2. Sabha parwa *)
  3. Wana (+wasa) parwa
  4. Wirata parwa *)
  5. Ud-yoga parwa *)
  6. Bhisma parwa *)
  7. Drone parwa
  8. Karna parrwa
  9. Salya parwa
  1.  Ghada parwa
  2.  Aswatama parwa
  3.  Stri Palapa parwa
  4.  Santika parwa
  5.  Asvamedha parwa
  6.  Asramavasana parwa *)
  7. Mausala parrwa *)
  8. Prasihanika parwa *)
  9. Swargarohana parwa *)

Adapun 9 parwa yang ada di Indonesia ialah parwa-parwa nomor *) 1, 2, 4, 5, 6, 15, 16, 17, 18.  Sedangkan yang banyak menjadi sumber cerita perwayangan di Indonesia adalah parwa yang pertama, yaitu Adi parrwa.  Tentang Adi parwa ciptaan Indonesia ini, Prof.Dr. Poerbotjaraka menguraikan sebagai berikut :   
“Buku ini susunannya sama dengan buku Uttarakanda, juga menyebut nama Prabu Dharmawangsa Teguh (Raja di Jawa).  Dalam kitab Mahabarata merupakan bagian pertama.  Sedangkan detail urutan ceritanya banyak sekali.  Jelasnya, jadi cerita lakon wayang masa remaja, cerita-cerita lakon tentang kelahiran, dan lain-lain.  Cerita lakon Dewi Lara Amis, Bale sigala-gala, gugurnya Arimba, Burung Jiwata dan lain-lain, itu petikan dari buku Adi parwa.  Cerita “Ngebur Segoro Peresan”, yang menyebabkan keluarnya “air kehidupan”, juga awal adanya gerhana matahari atau gerhana bulan dimakan raksasa berbentuk kepala saja, juga ada dalam kitab ini.  Buku ini sudah dicetak dengan huruf latin. Dibandingkan dengan Mahabarata Sanskerta oleh Prof.Dr. H. Kern disertai beberapa petikan.  Cerita  Garuda diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh Dr. Joynboll”. (Prof.Dr. R.M. Ng. Poerbotjaraka, Kepustakaan Jawi, halaman 9).
R. Harjawiraga menguraikan asal-usul wayang dan apa sebenarnya maksud cerita wayang itu diciptakan menulis demikian :

Wayang Purwa adalah sebagai symbol kehidupan manusia di dunia ini. Dalam pokok artinya, yang jadi awal sebagai ibu bapak sekalian wayang itu ialah “Hyang Manik Maya” (Betara Guru) dan “Hyang Ismaya” (Semar) sebangsa Dewa.  Manikmaya dan Ismaya putra “Hyang Tunggal”(tak diujudkan sebagai wayang).  Kedua putra itu pada awalnya berupa cahaya dan terjadinya pada saat yang bersamaan. Manikmaya bersinar-sinar, sedangkan Ismaya bercahaya kehitam-hitaman.  Kedua cahaya itu berebut mana yang lebih tua.  Lalu “Hyang Tunggal” bersabda, bahwa cahaya kehitam-hitamanlah yang lebih tua.  Akan tetapi diramalkan tak dapat berjiwa sebagai Dewa dan diberi nama “Ismaya”, bersifat sebagai manusia dan dititahkan supaya tetap tinggal di dunia mengasuh turunan Dewa yang berdarah Pandawa. Maka diturunkanlah ia ke dunia bernama “Semar” yang berupa manusia buruk rupanya.
Cahaya yang bersinar diberi nama “Manikmaya”, tetap tinggal di “Suralaya” (kerajaan Dewa).  Manikmaya merasa bangga, karena tak punya cacat dan sangat berkuasa.  Tetapi pikiran Manikmaya yang demikian itu menjadi sebab baginya mendapat cacat juga pada dirinya kemudian.
Kedua kejadian ini merupakan lambing atau symbol. Ismaya sebagai lambang badan manusia yang kasar ini dan Manikmaya sebagai lambing kehalusan batin manusia. Jiw yang kasar (Semar) senantiasa menjaga kelima Pandawa yang ujudnya berupa “panca indra” atau kelima perasaan tubuh manusia.
Sebenarnya, siapa yang berpikir pada maksud kisah ini, senantiasa menjaga pada keselamatan panca indra :

Pandawa Lima  sebagai lambang 5 indra manusia
  1. Indra perasa hidung
  2. Indra pendengaran telinga
  3. Indra penglihatan mata
  4. Indra perasa mulut
  5. Indra peraba badan
Yudistira ( Samiaji )
Werkudara ( Bima )
Arjuna ( Janaka )
Nakula
Sadewa
Kelima Pandawa atau indra manusia itu jangan sampai menempuh jalan yang salah seperti : hidung jangan hanya suka dan senang pada waktu mencium aroma yang serba harum dan wangi, telinga jangan hanya mendengarkan pada suara yang merdu-merdu saja, mata jangan hanya melihat pada keindahan semata yang terkadang menyesatkan, dan sebagainya.  Jelasnya, barang apapun yang mengenai kelima perasaan itu, jangan sampai dibeda-bedakan akan gunanya kebaikan dan keburukan, karena semuanya itu terjadi karena asalnya dari perbuatan diri sendiri.  Oleh karena itu sedapat mungkin kedua jalan itu dikembalikan pada pertimbangan ketenangan dan kejernihan hati
.
Inilah tugas Semar untuk menjaga kesejahteraan dan keselamatan Pandawa supaya mereka menjauhi permusuhan dengan Korawa, ialah nafsu amarah.  Akan tetapi Betara Guru (rasa batin) yang senantiasa menggoda dan mudah mengusik rasa jiwa yang mengarahkan pada kesalahan, maka Pandawa dan Korawa tidak henti-hentinya terus-menerus berperang hingga sampai pada perang yang terakhir, ialah perang Baratayuda, dan Pandawalah yang jaya dan mendapat kemenangan.

Analisa mengenai Batara Guru ini sudah menimbulkan salah paham.  Orang beranggapan bahwa Batara Guru yang paling berkuasa segalanya. ( R. Harjawiguna, Sejarah Wayang Purwa, halaman 4, PN. Balai Pustaka Jakarta 1952 ).        

Ingat, Batara Guru bersifat lemah, dengan bukti dari segala cacat yang dimilikinya. Jika ia yang sangat berkuasa tentulah tak ada cacat pada dirinya.  Memang Batara Guru berkuasa tak terhingga, tetapi dengan kebijaksanaan dan kesaktian Semar, Batara Guru dapat diatasi dan dikendalikan oleh Semar. ( ibid, Sejarah Wayang Purwa ) 

( SUMBER: DRS. H.EFFENDI ZARKASI, UNSUR ISLAM DALAM PEWAYANGAN-ALFA DAYA JAKARTA )

Banser NU Amankan Natal Wujud Persaudaraan Sejati

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA  - Putri Gus Dur, Alissa Wahid mengungkapkan, peran Banser NU dalam menjaga, mengamankan perayaan Natal, adalah cerminan sifat NU yang berlandaskan ahlussunnah wal jamaah. Pengamanan utama yang dilakukan, kata Alissa adalah oleh  aparat dalam perayaan Natal sebagai bentuk kewajiban negara.
"Nagara wajib menjamin pelaksanaan ibadah warga negaranya," ujarnya singkat dalam rilisnya, Jumat (23/12/2011).


Romo Benny Soesetyo kemudian menambahkan, bantuan keamanan oleh Banser NU  merupakan wujud persaudaraan sejati yang digelorakan Gus Dur sejak 1996. Romo Benny kemudian teringat Yanto, personel Banser, yang mengeluarkan bom pada malam Natal tahun 2000 dari sebuah gereja di Mojokerto. Atas peristiwa itu, Yanto  akhirnya tewas.
"Yanto adalah pahlawan kemanusiaan. Bantuan Banser pada perayaan Natal merupakan tradisi mulia yang menerobos kebekuan umat beragama selama ini. Hal yang sama juga dilakukan umat Kristiani di Indonesia Timur pada salat Idul Fitri.

Ini tradisi mulia, kerja sama yang dilakukan secara nyata ," ujar Romo Beni. (tribunnews/yat)


Senin, 26 Desember 2011

THEATER TRADITIONS FOR WHOM ? by Prof. Dr. Edi Sedyawati


Theater traditions for whom?
Prof. Dr. Edi Sedyawati
TUESDAY, DECEMBER 27, 2011 - DENMAS PRIYADI BLOG :  If a form is presented theatrical traditions of cultures outside of their home environment, then the audience will tend to appreciate it as something exotic: not a mediocre. Meanwhile, in his own environment he was accepted as something that is not weird. From here it appears there are two demands the development of theatrical tradition. The fans from outside the neighborhood wanted the maintenance of a distinctive style; are the fans from within their own environment, besides who wants to remain safe in the caresses of the style that has been very intimately known, there is also always wanted a development in terms of changes or additions in accordance with the "development age ".

One element that seems widely regarded as "necessary adjustments with the times" is the way nature and role Bahaa. Acting teateral declamation and Indonesian-style right into a kind of new requirements coming into the theater tradition. Such a case is found for example in samanda performances (theatrical mamanda) of East Kalimantan Festival brought to Jakarta. The language used by pelakonnya was almost completely "cleansed" of the elements of regional dialects and speech styles that should actually coloring the theatrical tradition of the area. Tendency of "adjustment" as it is also seen in Makyong of Riau and West Kalimantan Mendu from. Need to be identified further, if something like that caused by "coaching" by the orientation of the art theater "modern" or by the influence of the film.

Theatrical forms of Malay tradition is potentially threatened by the danger of standardization, it is precisely because it has roots in common with the national language of Indonesia today. A standardized national language had to be asserted its existence, whether it's pronunciation, vocabulary and rules. He must be held in a large environment, such as official circles of environmental governance, the education community and among scientists. But the market and theater traditions need to be given autonomy to enjoy his own language, with all krkhasan vocabulary, pronunciation and rules. Without the distinctiveness that the traditional theater forms like royalty, makyong, supportive, mamanda, demuluk and so it can lose the most important part of the elements of his style.

The people are so far the audience's desire to maintain and develop the tradition of theatrical style. However, should be prevented Klau culprit itself requires "updating" with the outside world, which is national or international? As for who will be their choice, or choice of society, or the choice of the Trustees of the capital, will become part of history. But all must be done to keep it animated by interest and desires, and fulfill the need for expression and reflection.

Internal changes
Theatre has different properties when compared with the dance and music. Dance and music an entirely non-verbal in the context of tradition usually serves as a decoration of the ceremony or part of the ceremony itself. The style and intensity is the weight it bears. As for the theater that has elements of verbal and non verbal, in addition to containing the style and intensity of expression, it also contains the function as a medium of reflection. Of course life is not all responses delivered as a sermon, but he implied in a groove, sanggit (fictitious play) and the depiction of character.

Theatre has some technical elements such as plot, literature, dialogue, style of conduct, and order form. In the theatrical tradition of these elements have certain patterns. In addition, theatrical traditions also often have certain conventions about section (pembabakan) place, time and situation. Changes or developments in the form of theatrical tradition is the change in the elements, which do not need the same fast pace. For example samanda East Kalimantan: dialogue and style of behavior change, but the convention section retained, for example, started the play with song introductions such as the so-called theater mamanda baladon in South Kalimantan and berladun the theater supportive of Riau.

The content of a form of theatrical literary tradition is still determined by whether or not internalized by the local literary community. The wealth of ornamental language arts (such as imagery, like, proverbs, wangsalan, parikan, word games that have different meanings) when controlled by the perpetrators or mastermind (if any) is of great significance in terms of adding tasty spectacle. Mastery of language or dialect of this region can be more and more reduced, caused by the use of Indonesian pressure which is increasingly widespread. Similarly, verbal language arts skills can be waning, as opposed to the current progress of visual communication.

A more decisive element in the theatrical tradition is a style of behavior, namely how the roles performed. Realist theater that so deeply impact on the world of film that has been so widespread, demand accounted for on the basis of every role possible in reality. Thus, each role should be viewed as something unique that has a unique background. Unlike the case with the characterization in the theatrical tradition in general, where each role is a manifestation of a certain stereotype temperaments. And every character stereotype that demands clarity of expression through a specific behavior patterns of style: how movement, manner and tone, and the way her makeup. But the tightness of this pattern of behavior styles in various forms of theater is not the same tradition. In the theatrical forms that are less stringent, costumes and songs can be easily influenced by such films. Being in the forms of theater that is more stringent, the overall style of behavior, it can also change slowly due to changes in the interpretation of a role. Changes in interpretation of these roles more so will be realized through sanggit.

Storyline in the theater tradition pembabakan usually controlled by a specific pattern: there are scenes of the opening and closing, there is a sequence of rounds that have been determined, there are parts penyeling scene. Pembabakan pattern can be changed internally for example due to the changing demands of the desired length of a spectacle. Thus the rounds there may be shortened or eliminated. Changes to this pembabakan pattern can also occur due to saturation of the parties singers. So they do the execution. This is often done by Ki Narto Sabdo example, a Javanese puppet puppeteer, who deliberately and fairly "announcement" featuring puppet characters skin on rounds that are not "in place"; He also frequently change the atmosphere of that particular round so not "as usual". The changes in the pattern of this pembabakan had also experienced by ludruk of East Java. And in a great neighborhood also experienced during the development of other forms of theatrical tradition serahim, the merry-go-nobles supported it, dermuluk, and mamanda. Because the idea of spectacle is spread to various areas, then in each new place he had to adjust
to the demands of local tastes. (Reference: GROWTH ART SHOW / Edi Sedyawati / Rays hope th. 2000)
TERJEMAHAN
Teater tradisi untuk siapa?
SELASA, 27 DESEMBER 2011 - DENMAS PRIYADI BLOG :  Salah satu unsure yang rupanya banyak dianggap sebagai “perlu penyesuaian dengan perkembangan zaman” adalah cara pembawaan peran dan bahaa.  Acting teateral bergaya deklamasi dan bahasa Indonesia yang benar menjadi semacam persyaratan baru yang masuk ke teater tradisi.  Kasus seperti ini  dijumpai misalnya pada pergelaran  samanda (sandiwara mamanda) dari Kalimantan Timur yang dibawa ke Festival Jakarta.  Bahasa yang digunakan para pelakonnya terasa hamper sepenuhnya “dibersihkan” dari unsure dialek dan gaya ucapan kedaerahan yang semestinya justru mewarnai teater tradisi daerah tersebut.  Kecenderungan “penyesuaian” seperti ini juga terlihat pada Makyong dari Riau dan Mendu dari Kalimantan Barat.  Perlu dikenali selanjutnya, apakah hal seperti itu disebabkan oleh “pembinaan” oleh orientasi ke seni teater “modern” atau oleh pengaruh film.

Bentuk-bentuk teater tradisi dari rumpun Melayu secara potensial terancam oleh bahaya standarisasi itu, justru karena memiliki persamaan akar dengan bahasa nasional Indonesia sekarang ini.  Bahasa nasional yang baku memang harus ditegaskan eksistensinya, baik itu memang lafal, kaidah maupun kosakata.  Ia harus dipegang dalam lingkungan-lingkugan besar seperti kalangan resmi pemerintahan, kalangan pendidikan dan kalangan ilmuwan.  Tetapi pasar dan teater tradisi perlu diberi otonomi untuk menikmati bahasanya sendiri, dengan segala krkhasan kosakata, lafal maupun kaidahnya.  Tanpa kekhasan itu maka bentuk-bentuk teater tradisi seperti bangsawan, makyong, mendu, mamanda, demuluk dan sebagainya itu dapat kehilangan bagian terpenting dari unsure gayanya.

Orang-orang jauh yang jadi penontonnya memang menghendaki teater tradisi menjaga dan memperkembangkan gayanya.  Tetapi, perlukah dicegah klau pelakunya sendiri menghendaki “updating” dengan dunia luar yang nasional maupun internasional?  Adapun yang akan jadi pilihan mereka, atau pilihan masyarakatnya, ataupun pilihan para Pembina  dari ibukota, akan menjadi bagian dari sejarahnya.  Namun semua harus menjaga agar yang dilakukan itu dijiwai oleh minat dan hasrat, serta memenuhi kebutuhan akan ekspresi dan  refleksi. 

Perubahan internal
Teater mempunyai perbedaan sifat jika dibandingkan dengan tari dan musik.  Tari dan music yang sama sekali non verbal itu dalam konteks tradisi biasanya berfungsi sebagai hiasan dari upacara atau bagian dari upacara itu sendiri.  Gaya dan intensitas adalah bobot yang disandangnya.  Adapun teater yang mempunyai unsur verbal maupun non verbal itu, di samping mengandung nilai gaya dan intensitas ekspresi, juga mengandung fungsi sebagai media refleksi.  Sudah tentu segala tanggapan hidup itu tidak disampaikan seperti khotbah, melainkan ia tersirat dalam alur, sanggit (rekaan lakon) dan penggambaran watak.

Teater mempunyai beberapa unsur teknik seperti:  alur cerita, sastra, dialog, gaya laku, dan tata rupa.  Pada teater tradisi unsur-unsur ini mempunyai pola-pola tertentu.  Di samping itu teater tradisi juga sering mempunyai konvensi-konvensi tertentu mengenai pembabakan tempat, waktu dan situasi.  Perubahan atau perkembangan bentuk dalam teater tradisi merupakan perubahan pada unsur-unsur tersebut, yang tidak perlu sama cepat lajunya.  Misalnya samanda Kalimantan Timur: dialog dan gaya laku berubah, tetapi konvensi pembabakan tetap dipegang, misalnya mengawali lakon dengan nyanyian perkenalan seperti yang disebut baladon pada teater mamanda Kalimantan Selatan dan berladun pada teater mendu dari Riau.
  
Kandungan sastra dari suatu bentuk teater tradisi ditentukan oleh masih dihayati atau tidaknya sastra daerah oleh masyarakat.  Kekayaan seni hias bahasa (seperti tamsil, ibarat, peribahasa, wangsalan, parikan, permainan kata yang mempunyai berbagai arti) apabila dikuasai oleh para pelaku ataupun dalangnya (kalau ada) sangatlah besar artinya dalam menambah sedapnya tontonan.  Penguasaan bahasa atau logat daerah ini bisa semakin lama  semakin berkurang, disebabkan oleh desakan penggunaan bahasa Indonesia yang kian meluas.  Demikian pula kemampuan seni berbahasa lisan bisa semakin menyusut, sebagai arus lawan dari majunya komunikasi visual.

Suatu unsur yang lebih menentukan dalam teater tradisi adalah gaya laku, yaitu bagaimana cara peran-peran dibawakan.  Teater realis yang begitu dalam pengaruhnya pada dunia film yang telah demikian tersebar luas, menuntut setiap peran dipertanggungjawabkan atas dasar kemungkinan dalam realitas.  Dengan demikian setiap peran harus dipandang sebagai sesuatu yang unik yang mempunyai latar belakang khas.  Beda halnya dengan pemeranan dalam teater tradisi pada umumnya, di mana setiap peran adalah perwujudan dari watak-watak stereotip tertentu.  Dan setiap watak stereotip itu menuntut kejelasan ungkapan melalui pola gaya laku tertentu: cara bergeraknya, cara dan nada bicaranya, dan cara dandanannya.  Namun keketatan pola gaya laku ini pada berbagai bentuk teater tradisi tidaklah sama.  Pada bentuk-bentuk teater yang kurang ketat, kostum dan nyanyian bisa mudah sekali mendapat pengaruh dari film misalnya.  Sedang pada bentuk-bentuk teater yang lebih ketat, keseluruhan gaya laku itu dapat pula berubah pelan-pelan karena perubahan interpretasi atas suatu peran.  Perubahan interpretasi atas peran-peran ini lebih-lebih lagi akan terwujud melalui sanggit.

Alur cerita dalam teater tradisi biasanya dikuasai oleh pola pembabakan tertentu: ada adegan-adegan pembukaan dan penutupan, ada urutan babak yang telah ditentukan, ada bagian-bagian penyeling adegan.  Pola pembabakan ini dapat berubah secara internal misalnya disebabkan oleh perubahan tuntutan mengenai lamanya suatu tontonan dikehendaki.  Dengan demikian babak-babak mungkin ada yang dipersingkat atau dihilangkan.  Perubahan atas pola pembabakan ini bisa juga terjadi karena kejenuhan dari para pihak penyanyi.  Maka mereka pun melakukan eksekusi.  Hal ini sering dilakukan oleh misalnya Ki Narto Sabdo, seorang dalang wayang kulit Jawa, yang dengan sengaja dan cukup “pengumuman” menampilkan tokoh-tokoh wayang kulitnya pada babak-babak yang tidak “pada tempatnya”; Ia pun sering mengubah suasana babak tertentu sehingga jadi tidak “seperti biasanya”.  Perubahan-perubahan dalam pola pembabakan ini pernah pula dialami oleh ludruk dari Jawa Timur.  Dan dalam lingkungan besar dialami pula sepanjang perkembangan bentuk-bentuk teater tradisi yang serahim, yaitu komidi bangsawan mendu, dermuluk, dan mamanda.  Karena ide tontonan ini tersebar ke berbagai daerah, maka  di tiap tempat baru itu ia menyesuaikan diri dengan tuntutan selera setempat. (Referensi: PERTUMBUHAN SENI PERTUNJUKAN/Edi Sedyawati/Sinar Harapan th. 2000)