Selasa, 10 September 2019

Ki Slamet 42 "BUKU GERAKAN 30 SEPTEMBER PKI"

Denmas Priyadi Blog: Kita Semua Wayang
Rabu, 11 September 2019 - 13:27 WIB

Image "Buku Gerakan 30 Setember PKI (Foto:SP)
Buku Gerakan 30 September PKI
PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA
( GERAKAN 30 SEPTEMBER PKI )

Dalam minggu pertama bulan Oktober 1965 rakyat Indonesia dikejutkan oleh serangkaian berita Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta tentang terjadinya pergolakan pada tingkat tertinggi pemerintahan di Ibukota Jakarta.
Pada hari Jumat tanggal 1 Oktober 1965 secara berturut-turut RRI Jakarta menyiarkan empat berita penting.
Siaran pertama, sekitar pukul 07.00 pagi, memuat berita bahwa pada hari Kamis tanggal 30 September 1965di Ibukota Republik Indonesia, Jakarta, telah terjadi “gerakan militer dalam Angkatan Darat” yang dinamakan “Gerakan 30 September”, dikepalai oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Soekarno. Sejumlah besar Jendral telah ditangkap, alat-alat komunikasi yang penting-penting serta objek-objek vital lainnya sudah dikuasai Gerakan tersebut dan “Presiden Soekarno selamat dalam lindungan Gerakan 30 September”. Gerkan tersebut “ditujukan kepada Jendral-Jendral anggota apa yang menamakan dirinya Dewan Jendral”. “Komandan Gerakan 30 September” itu menerangkan bahwa akan dibentuk “Dewan Revolusi Indonesia” di tingkat Pusat yang diikuti oleh “Dewan Revolusi Propinsi”, “Dewan Revolusi Kbupaten”, “Dewan Revolusi Kecamatan” dan “Dewan Revolusi Desa”.
Siaran kedua, sekitar pukul 13.00 hari itu juga memberitakan “Dekrit No. 1” tentang “Susunan Dewan Revolusi Indonesia”. Baru dalam siaran kedua ini diumumkan susunan “Komando Gerakan 30 September”, yaitu Letnan Kolonel Untung sebagai “Komandan”, Brigjen Supardjo, Letnan Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut Sunardi, dan Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas sebagai “Wakil Komandan”.
Siaran kedua ini memuat dua keanehan. Dari sudut organisasi militer, adalah aneh bahwa seorang Brigadir Jendral menjadi Wakil dari seorang Letnan Kolonel. Selain itu, “Gerakan 30 September” ini ternyata juga bukanlah sekedar gerakan militer dalam Angkatan Darat”, oleh karena dalam “Dekrit No.1” tersebut diumumkan bahwa: “Untuk sementara waktu, menjelang pemilihan umum Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai dengan Undang-Undang Dasar 45, Dewan Revolusi Indonesia” menjadi sumber daripada segala kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia.
Siaran ketiga, pada pukul 19.00 hari itu juga, Radio Republik Indonesia Jakarta menyiarkan pidato radio Panglima Komando cadangan Strategis  Angkatan Darat (Kostrad) , Mayor Jendral Soeharto, yang menyampaikan bahwa “Gerakan 30 September” tersebut adalah golongan kontra revolusioner, yang telah menculik beberapa perwira tinggi Angkatan Darat, dan telah mengambil alih kekuasaan negara, atau coup, dari PYM Presiden/ Panglima Tertinggi Abri/Pemimpin Besar Revolusi dan melempar Kabinet Dwikora  kekedudukan demisiones. Perwira-perwira tinggi Angkatan Darat yang telah diculik adalah: Letnan Jendral A. Yani, Mayor Jendral Soeprapto, Mayor Jendral S. Parman, Mayor Jendral Haryono M.T., Brigadir Jendral D.I. Pandjaitan, dan Brigadir Soetoyo Siswomihardjo. Sesuai dengan prosedur tetap Angkatan Darat, Mayor Jendral Soeharto mengumumkan bahwa untuk sementara pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh beliau.
Kemudian pada tengah malam tanggal 1 Oktober 1965 itu juga, menjelang tanggal 2 Oktober, RRI menyiarkan Pengumuman Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Soekarno bahwa beliau dalam keadaan sehat walafiat dan tetap memegang pimpinan negara dan revolusia.
Selanjutnya pada tanggal 3 Oktober 1965, pukul 01.30, RRI Jakarta menyiarkan pidato Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, yang selain menegaskan kembali bahwa beliau berada dalam keadaan sehat walafiat dan tetap memegang tampuk pimpinan Negara serta tammpuk pimpinan Pemerintahan dan Revolusi Indonesia. Beliau mengumumkan bahwa tanggal 2 Oktober beliau telah memanggil semua Panglima Angkatan Bersenjata bersama Wakil Perdana Menteri Kedua, Dr. Leimena, dan pejabat penting lainnya. Pimpinan Angkatan Darat langsung berada dalam tangan beliau, dan tugas sehari-hari dijalankan oleh Mayor Jendral Pranoto Reksosamodra, Asisten III Men/PANGAD, Panglima Kostrad, ditunjuk untuk melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban.
Sesuai dengan pidato Presiden tersebut di atas, pada tanggal 3 Oktober 1965 itu juga Panglima Kostrad Mayor Jendral Soeharto mengumumkan bahwa mulai saat itu Pimpinan Angkatan Darat dipeganglangsung oleh PYM Presiden/Panglima Tertinggi ABRI. Beliau sendiri masih diberi tugas untuk mengembalikan keamanan sebagai sediakala.
Pada tanggal 4 Oktober 1965 pukul 20.00 RRI Jakarta menyiarkan rekaman pidato Mayor Jendral Soeharto setelah menyaksikan pembongkaran tujuh jenazah jendral dan satu jenazah perwira pertama yang diculik “Gerakan 30 September” pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Jenazah tersebut diketemukan dalam keadaan rusak di dalam sebuah sumur tua di desa Lobang Buaya, dekat Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma Jakarta. Daerah itu digunakan sebagai lokasi latihan Sukarelawan dan Sukarelawati yang berasal dari Pemuda Rakyat(PR) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) oleh oknum-oknum Angkatan Udara. Kedua organisasi ini, PR dan Gerwani, adalah “organisasi mantel” Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuh perwira yang ditangkap oleh oknum-oknum Cakrabirawa di kediamannya masing-masing, dibawa ke lokasi latiha PR Dan Gerwani tersebut untuk disiksa dan dibunuh. Gerakan 30 September ternyata ke luar merupakan aksi Cakrabirawa, ke dalam merupakan aksi PR dan Gerwani.
Pada tanggal 4 Oktober 1965 itulah diketahui untuk pertama kalinya kejelasan mengenai “Geraka 30 September” tersebut. gerakan itu ternyata terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang sejak tahun 1951 membangun kembali kekuatannya setelah terlibat dalam pemberontakan terhadap Republik Indonesia dalam bulan September 1948 di kota Madiun, Jawa Timur.
Rangkaian Sidah Makamah Militer Kuar Biasa (Mahmilub) untuk mengadili mereka yang terlibat dalam kudeta tersebut telah mengungkapkan lebih dalam lagi keterlibatan PKI. Partai ini terbukti merupakan dalang dan pelaku dari aksi subversi sejak tahun 1954, yang berpuncak pada kudeta berdarah pada awal bulan Oktober 1965 tersebut. oleh karena itu “Gerakan 30 September” tersebut disebut secara lengkap sebagai “Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia”, atau disingkat “G30S/PKI”.
Pengungkapan perana PKI dalam sidang mahkamah tersebut telah menimbulkan reaksi hebat dalam masyarakat Indonesia, yang berujung dengan ditetapkannya Ketetapan Majeis Permuyawaratan Rakyat Sementara No. TAP-XXV/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Pelaksanaan Ketetapan Permusyawaratan Rakyat Sementara tersebut mengandung implikasi adanya kewajiban idiologis untuk memurnikan Pancasila, yang sejak tahun 1959 telah disalahtafsirkan sebagai gabungan dari paham Nasionlisme, Agama dan Komunis (“Nasakom”). Tugas pemurnian ini baru seesai dalam tahun 1978, dengan ditetapkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. TAP-II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (“Eka Prasetia Pancakarsa”). Dalam tahun ini pula dimulailah rangkaian penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila tersebut, bermula dari Pegawai Negeri disusul oleh pimpinan organisasi sosial politik dan organisasi  masyarakat, diikuti oleh pelajar dan mahasiswa.
Dengan pertimbangan bahwa ajaran yang bersumber dari paham Komunisme/Marxisme-Leninisme adalah merupakan ancaman laten terhada Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dan bahwa oleh karena kegiatan mempelajari ancaman paham Komunisme/Marxisme-Leninisme secara ilmiah dalam rangka mengamankan Pancasila harus dilakukan secara terpimpin di bawah kendali Pemerintah, maka dengan Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1982 telah diinstruksikan kepada Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk menyelenggarakan Penataran Kewaspadaan Nasional untuk Eselon I pada departemen-departemen dan instansi-instansi pemerintahan lainnya. Penataraan Kewaspadaan Nasional ini kemudian diluaskan kepada lapisan lainnya dalam masyarakat, baik secara khusus maupun sebagai bagian dari penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Buku Putih ini memuat fakta dan analisis secara komprehansif dan integral mengenai latar belakang aksi dan penumpasan G30S/PKI, baik untuk digunakan dalam masyarakat sebagai referensi dalam penataran kewaspadaan nasional, maupun sebagai publikasi resmi Pemerintah Republik Indonesia Indonesia untuk masyarakat umum mengenai gerakan tersebut.
Latar belakang G30S/PKI perlu ditelusuri sejak masuknya paham Komunisme/Marxisme-Leninisme ke Indonesia awal abad ke-20, penyusupannya ke dalam organisasi lain, serta kaitannya dengan gerakan komunisme internasional. Dalam hal-hal yang mendasar dari politik PKI di Indonnesia terbukti merupakan pelaksanaan perintah dari pimpinan gerakan komunisme internasional itu.
Ditinjau dari keseluruhan latar belakang ini, aksi G30S/PKI dapat dibagi dalam tiga babak, yaitu babak pertama aksi subversi untuk menyusup ke dalam kalangan lain dan untuk merusak kesetiaan rakyat terhadap Pemerintah yang berlangsung dari tahun 1954 sampai dengan tahun 1965, babak kedua upaya percobaan kudeta, perebutan kekuasaan pemerintah, dari bulan Juli – Oktober 1965, dan babak ketiga pemberontakan bersenjata melawan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dari tahun 1966 sampai tahun 1968.
Penumpasan G30S/PKI mencakup penumpasannya secara fisik dengan menghancurkan pimpinan, organisasi, dan gerakan bersenjatanya; penumpasannya secara konstitusional dengan melarang paham Marxisme/Leninisme-Komunisme; dan penumpasan secara ideologis dengan mengadakan penataran Kewaspadaan Nasional.

S u m b e r :
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta 1994
Gerakan 30 September PKI – Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya

Kamis, 05 September 2019

Dr. Sa'id bin Ali: "IBADAH SUNNAH YANG PALING DISUKAI ALLAH"

Blog Ki Slamet 42: Kita Semua Wayang
Kamis, 05 September 2019 - 16:33 WIB

Image "Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani" (Foto: SP)
Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani
Amal perbuatan yang paling disukai oleh Allah adalah yang secara rutin dijalankan pelakunya, meskipun jumlahnya sedikit, berdasarkan hadist Aisyah bahwa ia bercerita yang artinya sebagai berikut:
 “(Suatu kali) Nabi masuk masjid, tiba-tiba beliau melihat ada tali yang dibentangkan di antara dua tiang. Beliau bertanya, ‘Tal apa ini?’ rang-orang di situ menjawab, ‘Itu milik Zainab, digunakan untuk shalat. Bila ia merasa malas atau hilang semangat, ia berpegangan pada tali tersebut.’ maka beliau bersabda, ‘Jangan begitu. Lepaskan tali itu. Hendaknya seseorang di antara kalian shalat sebatas semangatnya, lalu bila hilang semangat, hendaknya ia berhenti’.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab at-Tahajjud, Kitab at-Tahajjud, Bab Ma Yukrah min at-Tasydid fi al-Ibadah, no.1150. diriwayatkan oleh Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin, Bab Fadhilah al-Amal-Da’im min Qiyam al-Lail wa Ghairihi wa al-Amru fi al-Iqtishad fi al-Ibadah, no.784)
Masruq berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah, ‘amalan apa yang paling disukai oleh Rasulullah?’ Aisyah menjawab, ‘Yang rutin.’ Aku bertanya lagi, ‘Kapan beliau mulai bangun shalat malam?’ Aisyah menjawab, ‘Beliau bangun bila mendengar tukang teriak’. (diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab at-Tahajjud, Bab Man Nama Inda as-Sahar, no. 1132, juga dalam kitab ar-Riqaq, Bab al-Qashd wa al-Mudawamah ala al-Amal, no. 2461, 2462. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab al-Musafirin, Bab Shalat al-Lail wa Adadu Raka’at an-Nabi, no. 741. Yang dimaksud dengan “tukang teriak” yang didengar nabi adalah ayam berkokok.
Juga berdasarkan hadits Aisyah secara marfu’, dalam hadits itu tercantum yang artinya sebagai berikut:
“Lakukanlah dari amal-amal itu sesuai dengan kemampuan kalian; karena sesungguhnya Allah tidak akan bosan sampai kalian sendiri bosan.”
Demikian juga shalat yang paling disukai oleh Nabi adalah yang paling rutin dilakukan, meskipun jumlahnya sedikit. Beliau bila melakukan shalat, menjalankannya dengan rutin. (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab ash Shaum, Bab ShaumSha’ban, no 1970, juga dalam Kitab ar-Riqaq wa ash-Shiyam, Bab Shiyam an-Nabi no. 782.
Dalil lain adalah hadits Abu Hurairah, dari Nabi diriwayatkan bahwa beliau bersabda, yang artinya sebagai berikut:
 “Sesungguhnya agama ini mudah, dan tak seorangpun yang memaksakan diri (berlebihan) dalam agama, kecuali pasti ia akan dikalahkannya (dibuatnya tidak mampu). Maka bersikaplah lurus, berusahalah mendekati kesempurnaan, dan bergembiralah (tentang pahala), serta jadikanlah kesempatan pada setiap pagi dan petang serta waktu di tengah malam sebagai penolong (beribadah).” (HR. Al-Bukhari).
Dalam satu riwayat lain disebutkan, yang artinya sebagai berikut:
 “Amal seseorang tidak bisa memasukkannya ke dalam surga.” Para sahabat bertanya, “Beliau menjawab, “Tidak, tidak juga aku, hanya saja Allah meliputiku dengan karunia dan rahmatnya, maka bersikaplah lurus, berusahalah mendekati kesempurnaan, dan janganlah salah seorang kalian mengharapkan mati; karena bila ia orang baik, semoga dia bisa bertambah kebajikannya, dan bila ia seorang pendosa, semoga dia bisa memperbaiki diri (dan bertaubat).” (HR.Bukhari).

Sumber:
Dr. Sai’d Bin Ali, “Shalat Sunnah dan Keutamaannya”
Penerbit:
Darul Haq Jakarta 2018