Denmas Priyadi Blog | Minggu, 21 April 2013 | 14:26 WIB
Raden Ajeng Kartini (1879 - 1959) |
R.M. Adipati Ario Sosroningrat |
SIAPA yang tak kenal dengan sosok Kartini? Seorang tokoh pejuang pergerakan wanita yang begitu gigih dalam memperjuangkan
hak kaum perempuan untuk memiliki hak yang sama dengan kaum lelaki. Ya, Kartini
tercatat dalam sejarah sebagai pejuang emansipasi wanita, pelopor kebangkitan kaum
perempuan dari Jawa. Lahir di Kota Jepara pada tanggal 21 April 1879 dari seorang
ibu bernama M.A Ngasirah anak dari Nyai Hajah Siti Aminah dan Kyai Haji
Madirono, seorang guru agama di Telukawur. Ayahnya seorang bangsawan Jawa,
bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara putera dari
Pangeran Ario Tjondronegoro IV yang diangkat menjadi Bupati dalam usia 25
tahun.
Dari sebelas
bersaudara kandung dan tiri, Kartini merupakan anak ke-5 dan tertua dari saudara
perempuan sekandungnya yang lain bernama, Kardinah dan Roekmini. Kakak laki-lakinya
bernama Sosrokartono adalah seorang yang pintar dan menguasai berbagai macam bahasa
terutama bahasa Belanda. Ia banyak belajar bahasa Belanda dari kakaknya itu,
dan mendapat izin untuk memperdalam bahasa Belanda di “ELS” (EuropeseLagere School) hingga usia 12
tahun sampai akhirnya dipingit karena akan dikawinkan olehK.R.M. Adipati Ario Singgih
Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang.
Kartini, Kardinan dan Rokmini |
Penguasaan dan kepandaian Kartini dalam berbahasa Belanda, digunakannya
untuk menulis surat kepada salah satu teman akrabnya, Rosa Abendanon yang
berasal dari Negeri Belanda.
yang banyak mengindor atau mendukung pemikiran, ide dan gagasan-gagasannya.
Kegemarannya membaca, baik dari koran, majalah dan buku-buku Eropa, menambah
wawasan pemikiran Kartini yang semakin luas. Inilah yang menambah semangat dan
membangkitkan motivasi Kartini mewujudkan cita-citanya memajukan derajat kaum perempuan
pribumi yang masih rendah status sosialnya dengan membangun sekolah pendidikan
keputrian.
Gagasan Kartini itu mendapat dukungan dari residen Semarang,
Mr. Stijthof setelah membaca keritikan dari Conrad van De Venter lewat tulisan-tulisannya
di majalah De Gid yang menjelaskan bahwa, “orang
Belanda sangat berhutang budi pada rakyat Hindia Belanda yang telah memberikan
devisa Negara yang begitu besar kepada Belanda. Dan, pemerintah colonial harus
mengembalikan hutang sebesar 187 juta Gulden melalui proyek-proyek kemanusiaan,
salah satunya adalah pendidikan”. ”.)*Sri Hartatik, A.Ma.Pd. “Kumpulan Kisah Pahlawan
Indonesia”hal. 66
Dalam masa pingitannya Kartini terus memikirkan, bagaimana caranya
agar Ia bisa melanjutkan pendidikannya ke
Batavia atau ke Eropa. Cita-cita Kartini yang paling luhur adalah berkeinginan besar
untuk menjadi guru sebagaimana ucapannya,
“Saya ingin dididik menjadi
guru. Ingin mencapai dua ijazah, yaitu ijazah guru sekolah rendah dan ijazah
guru kepala. Mengikuti kursus pelatihan kesehatan, ilmu balut-membalut, pemeliharaan
dan perawatan orang sakit, memperdalam seni kerajinan danketerampilan serta ilmu
pengetahuan yang lain”.)*ibid hal. 65
Dalam pandangan dan pemikiran Kartini, apabila kaum perempuan telah
memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luas, jika kaum perempuan telah memiliki
sejumlah keterampilan sebagaimana yang dimiliki oleh kebanyakan kaum lelaki,
maka akan datang masanya kaum perempuan tak lagi terikat melulu bergantung kepada
kaum lelaki. Kartini menyatakan,
“Dari kaum perempuanlah seorang
manusia pertama-tama menerima pendidikan dan pembelajaran, mulai belaja rmerasa,
berpikir dan belajar berkata-kata”. Kartini menegaskan
pula dalam satu surat yang ditulisnya, “Bagaimana
ibu-ibu Bumiputera dapat mendidik anak-anaknya jika mereka sendiri tidak berpendidikan?
Dapatkah mereka, kaum ibu, dipersalahkan yang karena ketidaktahuannya, karena kelemahan
dan karena kebodohannya yang tidak disadarinya itu hingga merusak masa depan anak-anaknya”.)* ibid. hal. 65
R.A. Kartini dan suaminya K.R.M. A.A. Djojoadiningrat |
Belenggu tradisi adat yang telah mengikat dan berakar
kuat bagi kebebasan seorang wanita di masa itu membuat keinginan Kartini untuk mendirikan
sekolah keputrian dan melanjutkan pendidikannya ke Eropa gagal. Akan tetapi Kartini
terus mencari akal untuk bisa melanjutkan sekolahnya itu. Ayahnya tak bisa berbuat
banyak untuk menentang tradisi. Meskipun Ia sangat mendukung cita-cita Kartini putrinya itu untuk mendirikan sekolah keputrian bagi kaum perempuan
Bumi putera. Agar apa yang menjadi harapan Kartini dapat terkabul, ayahnya yang
pada waktu itu menjabat sebagai bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosrodiningrat
memilih dan meyakinkan Kartini bahwa calon suami yang cocok dan tepat untuk Kartini
sesuai dengan harapan dan cita-citanya mendirikan sekolah keputrian bagi perempuan
Bumiputera dan melanjutkan pendidikannya di Eropa, adalah Raden Mas Adipati Ario
Djojoadiningrat, Bupati Rembang. Karena berdasar kesepakatan dengannya, Bupati Rembang itu akan selalu mendukung dengan apa yang menjadi cita-cita
Kartini. Dan, Kartini meskipun hati nuraninya menolak, akan tetapi demi
kepentingan yang lebih besar, demi kemajuan kaum wanita, pada akhirnya menyetujui
juga dengan jodoh pilihan orang tuanya dikawinkan dengan Bupati Rembang, K.R.M.
Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat yang sudah pernah memiliki istri tiga
orang itu. Ya, Kartini merelakan jiwa dan raganya untuk menikah dengan orang
yang sudah beristri demi cita-citanya memajukan derajat kaum perempuan seperti
dirinya.
Jelang perkawinannya, Kartini sangat merasakan dengan suatu hal
yang tak bisa dirubah. Sahabat karibnya, Stella Zeehandelaar tidak bisa
memahami keputusan Kartini untuk menerima lamaran Bupati Rembang yang sudah
beristri lebih dari satu itu. Akan tetapi Kartini sudah mengadakan
kesepakatan-kesepakatan dengan calon suaminya itu. Ia tidak akan menggunakan
bahasa kromo inggil pada suaminya seperti pada kebiasaan tradisi yang dilakukan
seorang istri pada suaminya di zaman itu. Kartini tidak akan membasuh kaki sang
suami pada saat upacara perkawinannya kelak. Diizinkan untuk membangun sekolah
keputrian untuk kemajuan bangsanya, kaum wanita.
Pelaksanaan upacara pernikahan Kartini dengan K.R.M Adipati
Ario Singgih Djojoadiningrat pada tanggal 12
November 1903. Suaminya ternyata sangat mengerti dengan keinginan Kartini.
Bahkan Kartini diberi kebebasan dan mendapat dukungan sepenuhnya untuk
mendirikan bangunan sekolah keputrian yang berlokasi di sebelah timur pintu
gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Sekarang bangunan tersebut digunakan
sebagai Gedung Pramuka.
Sekolah Kartini 1918 |
Di sekolah yang didirikannya ini
Kartini mengekspresikan segala ide dan gagasan-gagasannya dengan leluasa karena
sangat didukung oleh suaminya yang memiliki kedudukan cukup tinggi sebagai
Bupati di Rembang. Di sekolah keputrian ini Kartini mengajarkan berbagai seni
kerajinan dan keterampilan, kesehatan dan perawatan di samping ilmu pengetahuan
yang lain.
Satu ukiran yang terinspirasi motif Kartini |
Ternyata Kartini selain dikenal dalam sejarah sebagai
pejuang emansipasi wanita, Ia dikenal juga sebagai seorang seniwati. Pelopor dalam
bidang disain modern, perancang seni ukir dan batik. Salah satu upaya Kartini untuk
mengembangkan, merealisasikan ide dan gagasannya di sekolah kepandaian putri yang
didirikannya itu dengan mengajarkan sendiri kepada murid-muridnya berbagai pengetahuan
dan keterampilan terutama kerajinan ukiran dan ragam hias batik. Kemahiran dan kecakapan
Kartini dalam seni ukir, seni batik dan menggambar inilah yang memotivasi Kartini
untuk selalu kreatif. Mencari inovasi-inovasi baru dalam bidang seni rupa dan disain.
Dalam karya-karyanya Kartini selalu berupaya memasukkan konsep-konsep keindahan
dan nilai-nilai tradisi Jawa, meskipun sudah mengalami pembaharuan-pembaharuan sehingga
bentuknya menjadi lebih modern. Pembaharuan ini bisa dilihat dari beberapa karya-karya
Kartini seperti yang terdapat pada kotak perhiasan, pigura, kursi rotan, dan batik.
Ada salah satu batik motip bunga karya R.A. Kartini yang sampai sekarang masih sangat
digemari masyarakat, bahkan menjadi motif standar dijadikan acuan dasar
pembuatan seni ukir kayu Jepara yaitu motip
"LunglunganBunga". Bahkan hingga kini motip lunglungan bunga menjadi ciri
khas motip "Jepara Asli".
Dari perkawinannya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih
Djojoadiningrat, Kartini dikaruniai seorang putera, Anaknya yang pertama dan sekaligus juga yang terakhir yang
diberi nama, Soesalit Djojoadhiningrat yang dilahirkan pada tanggal 13
September 1904. Beberapa hari kemudian, pada tanggal 17
September 1904, Kartini menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia relative
muda 25 tahun. Jenazah R.A. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan
Bulu, Rembang.
Berkat kegigihan Kartini memperjuangkan derajat kaum wanita
agar memiliki persamaan hak dalam
pendidikan, Yayasan Kartini
yang didirikan oleh keluarga “Van Deventer” seorang aktifis politik etis(balas
budi) di Semarang
pada 1912, mendirikan sekolah Kartini di Surabaya, Yogyakarta,
Malang, Madiun,
Cirebon dan daerah lainnya dengan nama "Sekolah Kartini".
Begitu pula seorang komponis, pahlawan nasional W.R.
Soepratman pencipta lagu Indonesia Raya, menciptakan sebuah lagu khusus untuk
mengenang jasa R.A. Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita yang tak
kenal lelah bahkan merelakan jiwa raganya untuk kemajuan kaum perempuan melalui
pendikan, diberi judul “R.A. Ajeng Kartini”.
Referensi:
*Sri Hartatik, A.Ma,Pd “Kumpulan
Kisah Pahlawan Indonesia”. Bintang Indonesia
*Slamet Priyadi, Drs. “R.A.
Kartini Juga Seorang Seni Wati” Forum Guru Seni Budaya
*Agus Sachari, “Seni
Rupa dan Disain” Erlangga
*Wikipedia Bahasa Indonesia, “R.A. Kartini”. google.com
Penulis:
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan - Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar