Sabtu, 19 Januari 2013

Pesona Anak-Anak dalam Sastra Oleh Maria Magdalena Bhoernomo | Sabtu, 19 Januari 2013


Karya-karya sastra yang sangat populer dan bahkan fenomenal ternyata mengangkat tokoh anak-anak. Misalnya, dongeng-dongeng karya HC Andersen, novel serial Harry Potter karya JK Rowling dan kumpulan cerpen Palestine's Children karya Ghassan Kanafani menjadi karya best seller tingkat internasional karena mengangkat tokoh anak-anak. Begitu juga novel Laskar Pelangi dan novel-novel lain karya Andrea Hirata, yang menjadi best seller, karena mengangkat tokoh anak-anak.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa sastra dengan tokoh anak tidak bisa diremehkan. Dengan kata lain, sastra dengan tokoh anak ternyata memang penuh pesona, karena hadirnya tokoh anak-anak dengan keistimewaan-keistimewaan yang sudah pasti sangat menarik. Pembaca terpuaskan karena seolah-olah berjumpa dengan narasi dan deskripsi tentang dunia anak-anak yang maha indah. Keterpesonaan pada narasi dan deskripsi tokoh anak-anak dalam sastra, bagi kalangan pembaca dewasa khususnya, juga bisa saja menjadi suatu pengalaman imajinatif yang paling indah dalam kehidupannya. Ini berdasarkan banyak fakta bahwa masa kanak-kanak adalah sorga yang hilang bagi banyak orang yang sudah dewasa. Pengalaman menemukan sorga yang hilang, betul-betul menyenangkan bagi pembaca sastra yang mengangkat tokoh anak-anak. Hal ini sudah tentu telah dimengerti oleh penulisnya. Dan oleh karenanya, penulis sastra dengan tokoh anak umumnya sengaja memilih bahasa yang simpel tapi unik dan puitis agar mudah dicerna tapi sulit dilupakan oleh kalangan pembacanya di segala usia. Misalnya, frasa-frasa dalam novel Laskar pelangi banyak yang puitis tapi simpel sehingga mudah dicerna oleh kalangan pembaca segala usia. Dan adanya kosakata-kosakata baru juga disertai dengan penjelasan artinya sehingga pembaca tak perlu salah paham atau kesulitan memahaminya.

Sastra dengan tokoh anak memang penuh pesona dan tidak bisa diremehkan, karena ditulis dengan mematuhi norma-norma sastra konvensional. Misalnya, alur cerita jelas, deskripsi penokohannya tegas dan seting atau latarnya bernas. Dengan demikian sastra dengan tokoh anak bukan termasuk fiksi yang gelap atau remang-remang yang syarat multitafsir.

Bagi kalangan kritikus sastra, boleh saja menilai sastra demikian cenderung lemah secara leterer. Maksudnya tentu lemah dalam hal eksporasi ide dan imajinasi liar yang memberi peluang seluas-luasnya bagi pembaca untuk mencoba menafsirkannya. Tapi kelemahan leterer tidak serta merta layak dijadikan vonis untuk merendahkannya. Selama ini, kalangan kritikus sastra memiliki kecenderungan sikap seperti pria hidung belang yang gemar mengunjungi lokalisasi pelacuran. Mereka selalu datang dengan satu harapan: semoga ada yang baru. Harapan demikian telah menghapus sikap apresiatif terhadap semua yang telah menjadi bagian masa lalu atau menjadi barang lama. Sikap seperti pria hidung belang tentu bukan milik pembaca awam. Dengan kata lain, bagi pembaca awam, setiap membaca sastra bertokoh anak adalah kesempatan berwisata ke "sorga yang hilang" dengan cerita dan tokoh lain tapi bukan baru. Dan lazimnya, sastra yang disukai pembaca dewasa adalah yang bisa mengajak berfantasi menikmati masa kanak-kanak yang indah. Dengan norma sastra yang serba konstan, sastra dengan tokoh anak tidak perlu ditimbang-timbang berat ringannya dengan rumus-rumus leterer yang terlalu rumit. Bahkan, sastra demikan tidak selayaknya dibandingkan dengan sastra remaja atau dewasa yang sengaja ditulis dengan semangat propaganda terhadap nilai-nilai atau ideologi sosial politik tertentu. Meski demikian, sastra dengan tokoh anak bukan berarti pepesan kosong yang tak berisi propaganda atau misi. Bahkan sastra demikian umumnya ditulis dengan semangat menawarkan misi kemanusiaan yang abadi (humanisme universal) sehingga akan tetap relevan menjadi bacaan untuk semua generasi.

Sastra dengan tokoh anak memang mempesona dan tidak bisa diremehkan, tapi faktanya sering diabaikan oleh kalangan kritikus sastra. Dan sejauh ini, banyak karya sastra demikian belum mendapat respon proporsional dari kalangan kritikus sastra yang kredibel. Kesannya kemudian selalu klise: bahwa kalangan kritikus sastra bagaikan hidup di menara gading yang tak mudah tergiur riuhnya dunia di sekelilingnya. Dengan kata lain, kalangan kritikus sastra cenderung antipati terhadap apresiasi yang telah ditunjukkan oleh khalayak. Bahkan seolah-olah selera khalayak yang terpesona kepada sastra bertokoh anak dianggap tidak penting dan tidak mampu mendorong kritikus untuk menulis kritik yang proporsional untuk sastra anak.

Layak dicurigai, betapa kecenderungan antipati terhadap sastra bertokoh anak bisa jadi sengaja dipilih oleh kalangan kritikus sastra untuk tetap mempertahankan hegemoni nilai-nilai tertentu meski nyata-nyata berseberangan dengan selera khalayak. Dalam hal ini, selera khalayak akan cenderung dianggap rendah dan tidak layak dicatat dan diapresiasi. Efeknya, sudah pasti akan merugikan dunia sastra secara keseluruhan. Misalnya, sastra yang baik menurut kritikus sastra bisa jadi tidak menarik bagi khalayak, sehingga jarang ada karya sastra yang berkualitas menjadi best seller. Dengan demikian, antipati terhadap sastra bertokoh anak-anak tidak selayaknya dipertahankan oleh kalangan kritikus sastra. Sudah saatnya sastra demikian juga dikritik secara proporsional sehingga dunia sastra menjadi cerah di masa-masa mendatang.

*) Maria Magdalena Bhoernomo, Penikmat sastra, tinggal di Kudus, Jateng.



Kamis, 17 Januari 2013

Strategi Menarik Tingkatkan Minat Baca

Ummi Hadyah Saleh
Kamis, 01 November 2012 13:21 wib


JAKARTA - OKE ZONE -Membaca adalah aktivitas yang sangat bermanfaat. Selain menambah wawasan, dengan membaca kita juga bisa melatih kemampuan berpikir. Meski begitu bermanfaat, sebagian orang justru banyak menyepelekan kegiatan ini karena dianggap membuang-buang waktu. Padahal, jika menggunakan strategi yang tepat, kita bisa meningkatkan minat baca.

Menurut Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat se-Jawa Timur Dwi Astutik, strategi menumbuhkan minat baca dimulai dari diri sendiri. Dwi mencontohkan, sebagai seorang ibu, dia harus menjadi contoh bagi anak-anaknya agar terbiasa membaca buku sejak dini.

Selain memulai kebiasaan membaca dari lingkungan keluarga, Dwi juga menumbuhkan minat baca di lingkungan sekolah. Misalnya, dia menyiasati agar para siswa gemar membaca dengan meletakkan buku-buku di beberapa sudut sekolah. Menurutnya, membaca juga bisa dilakukan di mana pun dan kapan pun.

"Membaca buku itu ibarat senikmat minum susu," ujar Dwi saat ditemui Okezone pada Festival Taman Bacaan Masyarakat di Kemendikbud, Kamis (1/11/2012).

Dwi menjelaskan, buku harus diperkenalkan sejak usia dini kepada anak-anak dengan cara yang menarik. Orangtua bisa memperkenalkan buku melalui tulisan-tulisan bergambar atau dengan bernyanyi. "Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menarik minat baca anak," imbuhnya.

Wanita berjilbab ini juga berharap, seluruh kota di Indonesia dapat terinspirasi untuk membuat Taman Bacaan Masyarakat. Sebab, Taman Bacaan Masyarakat merupakan salah satu upaya mempercepat kecerdasan bangsa, khususnya dalam program pemberantasan buta aksara.

"Saya yakin jika semuanya serius, bangsa ini bisa menjadi cerdas karena dibantu semua elemennya, termasuk Taman Bacaan Masyarakat yang ada di seluruh wilayah Indonesia," pungkas Dwi.(rfa)


Rabu, 16 Januari 2013

WAYANG KULIT KOLABORASI DIPATENKAN


SuaraMerdeka.com | 10 Juni 2012 | 16:27 wib
KOLABORASI: Mengawali pentas wayang kulit kolaborasi, putri Pak Harto Titik Hediati (kiri) berkenan menyerahkan tokoh wayang Semar kepada Begug Poernomosidi (kanan). (suaramerdeka.com/ Bambang Purnomo)
 
WONOGIRI, suaramerdeka.com - Wayang kulit kolaborasi, yang dipadukan dengan wayang orang, tari-tarian, lawak, kesenian reog dan musik campursari serta dangdut, dipatenkan sebagai karya seni Kanjeng Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Candra Kusuma Sura Agul-agul Begug Poernomosidi.

''Itu sudah saya patenkan, dan menjadi sajian seni untuk masyarakat dalam dan luar negeri,'' tegas Begug.
Penegasannya ini, disampaikan Jumat (8/6) malam, ketika menyampaikan sambutan pada upacara haul Pak Harto, yang dimeriahkan dengan pagelaran wayang kolaborasi. Acara wayang kolaborasi semalam suntuk ini, dipentaskan di Monumen Ibu Tien Soeharto, Jaten Kabupaten Karanganyar, kilometer 12 Solo-Karanganyar.

Malam itu, digelar lakon Mbangun Candi Sapto Argo yang dimainkan lima dalang. Yakni, Ki Widodo Wilis, Ki Eko Sunarsono, Mbah Bagong, Ki Sigit Endrat dan Ki Bodronoyo Begug Poernomosidi. Pagelaran wayang kolaborasi ini, dipadukan dengan sajian tari tradisional Jawa ''Bedaya Parang Kencana,'' fragmen wayang orang, kesenian reog Ponorogo, lawak dan musik campursari. Dalam pagelaran tersebut, tampil sebanyak 25 waranggana, termasuk pesindhen pria Prasetya.

Rumah pendapa Monumen Ibu Tien Soeharto di Jaten Karanganyar, terasa sempit untuk pagelaran wayang kolaborasi yang terkesan sebagai karya seni yang megah tersebut. Mengawali pentas, keluarga Cendana yang diwakili Titik Hediati Soeharto, berkenan menyerahkan tokoh wayang Semar Bodronoyo kepada KGPAA Candra Kusuma Sura Agul-Agul Begug Poernomosidi.

Semar, dikenal sebagai tokoh panakawan jelmaan dewa, yang juga memiliki sebutan Ki Sampurnajati, yang legendaris dan kaya mitos. Usai tokoh wayang diserahkan, para pengrawit langsung menyajikan nyanyian dari Sabang Sampai Merauke dengan iringan instrumen gamelan. Syair lagu perjuangan karya R Sunaryo ini, yang dibawakan bareng oleh paduan suara para waranggana. Baru kemudian disusul dengan nyanyian agamis Slawatan, sebelum masuk ke sajian inti pagelaran wayang kulit semalam suntuk.

Begug yang mantan Bupati Wonogiri dua periode ini, mengatakan, kiat menciptakan wayang kolaborasi menjadi tontonan dan sekaligus tuntunan serta tantangan, adalah merupakan upaya agar wayang kulit yang telah diakui dunia, sebagai budaya adiluhung bangsa Indonesia (setelah keris dan batik) ini, keberadaannya tetap lestari. ''Dengan memadukan kesenianan lain dalam sajian kolaborasi itu, tujuannya agar masyarakat penontonnya tidak jenuh atau bosan. Sekaligus ini sebagai sentuhan inovasi dalam penggarapan kesenian wayang,'' kata Begug.

(Bambang Purnomo/CN27)



Kamis, 10 Januari 2013

Didesak, Penetapan Cagar Budaya Dayak Uud Dhanum


Sebuah tari suku Dayak (sumber: JG Photo)


Agar menetapkan kawasan cagar budaya di wilayah Kabupaten Sintang yang selama ini dijadikan lokasi sakral bagi Suku Dayak Uud Dhanum.

Selasa, 18 Desember 2012 | 23:06 – BERITA SATU – Masyarakat adat dari etnis Dayak Uud Dhanum mendesak Pemprov Kalbar untuk menetapkan satu lokasi cagar budaya bagi mereka di wilayah Kabupaten Sintang. Alasannya, selama ini lokasi itu menjadi tempat yang sakral bagi masyarakat suku Dayak Uud Dhanum.

Permintaan dan desakan ini merupakan salah satu hasil dan rekomendasi dari seminar "Mengungkap Peradaban Suku Dayak Uud Danum Melalui Situs dan Budaya", yang digelar Senin (17/12).

Prof Syamsuni Arman bersama Dimas Aju, anggota tim perumus pada seminar tersebut, mengatakan, dari hasil seminar yang dilaksanakan itu, telah dirumuskan beberapa rekomendasi yang disampaikan kepada Pemprov Kalbar.

"Diharapkan rekomendasi itu dapat dijadikan masukan untuk mengambil satu kebijakan terhadap keberadaan situs budaya (masyarakat setempat)," kata Syamsuni, kepada wartawan, Selasa (18/12).

Syamsuni mengatakan, rekomendasi yang disampaikan yaitu mendesak Pemprov Kalbar dan Pemkab Sintang, agar menetapkan kawasan cagar budaya di wilayah Kabupaten Sintang yang selama ini dijadikan lokasi sakral bagi Suku Dayak Uud Dhanum.

Intinya, kata dia,  mereka menginginkan ada jaminan lokasi itu tidak akan tergusur oleh berbagai kegiatan pembangunan ekonomi, termasuk investasi berskala besar.

"Kebijakan pembangunan ekonomi di wilayah yang akan dijadikan cagar budaya, harus memperhatikan dan mempertimbangkan aspek keragaman budaya masyarakat setempat, termasuk suku Dayak Uud Dhanum, di samping juga pelestarian keragaman hayati yang ada," papar Syamsuni.

Hasil seminar juga mendesak pemerintah untuk mengakui dan mengakomodasi kearifan lokal dan kecerdasan masyarakat Uud Dhanum dalam mengelola sumber daya hutan. Pasalnya, klaim dia, mereka sudah terbukti bisa menyeimbangkan antara upaya pemanfaatan dengan pelestarian alam misalnya di hutan adat (hurung haras himba).

"Penetapan kawasan cagar budaya dimaksud hendaknya diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) atau ketentuan lebih tinggi,' tegas Syamsuni.

Sementara itu, Dimas Aju mengatakan kawasan yang dianggap sakral oleh suku Dayak Uud Dhanum, yang mutlak ditetapkan menjadi cagar budaya, antara lain adalah di pehuluan Sungai Sakai dan Nohkan Lonanyan di pehuluan Sungai Jengonoi.

"Sebab selama ini (tempat itu) dikenal sebagai situs permukiman dan situs pemujaan bagi masyarakat suku Dayak Uud Dhanum yang sudah beratus tahun lamanya," tandas Dimas.

Adapun rekomendasi lainnya adalah terkait harapan agar Pemprov Kalbar dan Pemkab Sintang dapat memfasilitasi penyusunan hukum adat Uud Dhanum.

Kemudian juga desakan untuk menetapkan rumah panjang tempat kelahiran Mayor Muhammmad Alianjang di Desa Menantak menjadi cagar budaya.

Penelitian terhadap situs peninggalan suku Dayak Uud Dhanum di puncak Puruk Mokorajak di Desa Romukhoi, Kecamatan Serabai, juga diminta difasilitasi.
Penulis: SP/ Sahat Oloan Saragih/ Wisnu Cipto

Biak Memiliki Beragam Obyek Wisata


KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES - Tarian Komoro dari Mimika ditampilkan dalam acara pembukan Pekan Wisata Munara Wampasi 2012 di Hanggar Cendrawasih Manuhua, Kelurahan Biak Kota, Kabupaten Biak Numfor, Papua, Selasa (3/7/2012). Pekan wisata ini akan berlangsung hingga 10 Juli. Wisatawan akan disuguhi berbagai kegiatan wisata seperti menangkap ikan (snap mor), diving hingga snorkeling.

Kamis, 10 Januari 2013 | 20:05 - WIB BIAK, KOMPAS.com - Berbagai potensi obyek wisata alam berupa keindahan taman laut Kepulauan Padaido serta keragaman seni budaya khas Kabupaten Biak Numfor, Papua diharapkan dapat meningkatkan arus kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara ke Biak.

Kepala Bidang Destinasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Biak, Mecky Kapitarrauw di Biak, Selasa (8/1/2013), mengatakan Biak sebagai daerah kepulauan dikenal memiliki potensi beragam obyek wisata bahari, di mana kesenian budaya khas dan obyek sejarah sisa peninggalan Perang Dunia II, yang hingga kini masih menarik minat wisatawan.

"Lokasi tujuan wisatawan nusantara dan mancanegara di Biak di antaranya goa Binsari Jepang, monumen Perang Dunia II di Paray/Anggraidi, kepulauan laut Padaido, Pantai Wari, Pantai Bosnik serta beberapa tempat bersejarah Biak lainnya," ungkapnya.

Menyinggung data rinci kunjungan wisatawan ke Biak, menurut Mecky, hingga awal 2012 masih dalam proses penyusunan laporan tahunan. Ia mengatakan, ada sejumlah pengelola hotel hingga penghujung akhir 2012 belum menyerahkan daftar hunian tamu ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Biak setiap waktu mendata berbagai obyek wisata di Biak untuk dimasukkan dalam data destinasi wisata Kabupaten Biak Numfor. Dengan keindahan alam Biak diharapkan bisa mendorong arus kunjungan wisatawan mancanegara dan nusantara ke Biak. 

Sumber :
Antara
Editor :
I Made Asdhiana

Pendidikan Memang Harus Mahal, UN Bikin Kejujuran Pudar


Aloysius Hardoko  Kamis, 10 Januari 2013 – 10:08:31


|



TERUS BELAJAR: Prof Dr Aloysius Hardoko MPd berkunjung ke Australia awal tahun 2013 ini. (IST/REPRO KP)

Adanya tuntutan sebagian masyarakat akan biaya pendidikan gratis membuat Aloysius Hardoko khawatir. Menurutnya, itu bukan solusi pemecahan masalah dari ketidakmampuan pemerintah mewujudkan Wajib Belajar 9 Tahun kepada anak tak mampu.

SUTRISNO, Samarinda

KEBIJAKAN pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan dipandang sering tidak tepat oleh Aloysius. Profesor Universitas Mulawarman (Unmul) dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ini menegaskan, kajian pemerataan pendidikan di Kaltim harus dicermati dengan baik. Sebab, permasalahan di dalam beda dengan luar Kaltim. Hal itu tercermin dalam kebijakan pendidikan gratis yang pernah digembar-gemborkan.

Pada dasarnya, kata Aloysius, pendidikan itu memang harus mahal. Ini disesuaikan dengan kualitas yang diterima. Tanggung jawab orang tua terhadap anak pun bisa hilang dengan terlaksananya pendidikan gratis itu.

Menurut Aloysius, jika hal itu terjadi, maka tidak sepadan kalau dipadukan dengan peningkatan kualitas dalam pendidikan. Karena, pemenuhan kebutuhan dalam menunjang pendidikan  berkualitas memerlukan dana tak sedikit.

Misal, dalam hal sarana, pemenuhan peralatan untuk praktik, ruangan yang nyaman --jika perlu menggunakan AC--, plus menyejahterakan tenaga pendidik. Hal ini nantinya akan membuat siswa belajar dengan nyaman dan menunjang dalam peningkatan kemampuan mereka. Ditambah dengan teknologi yang memadai.

Selain itu, tenaga pengajar juga perlu ditingkatkan. Jangan sampai, katanya, ada pengajar yang tidak paham cara mengajar yang tepat.  “Banyak saat ini pengajar yang tidak mumpuni dalam membina siswa, tidak memenuhi syarat-syarat pengajar yang benar. Akibatnya, siswa terkena imbas,” ucap pria yang baru dua hari lalu pulang dari Australia untuk melihat kemajuan pendidikan di Negeri Kanguru tersebut.

Setiap siswa memiliki karakteristik berbeda-beda, sehingga setiap karakter tersebut harus dipahami agar mereka mendapat manfaat dari pendidikan.

Aloysius berpendapat, pendidikan mahal memang akan menimbulkan masalah baru. Namun,  dalam mengatasi anak-anak yang tak memiliki biaya, patutnya pemerintah memberikan subsidi atau beasiswa yang menunjang pendidikannya.  Sehingga, tak terjadi pelajar putus sekolah.

Namun pengawasan memang harus ketat. Sering terjadi anak yang tidak mampu secara ekonomi, namun memiliki kepintaran, tidak menerima beasiswa. Sementara mereka yang mampu, dan kurang pintar, justru diberikan beasiswa. Akhirnya, beasiswa tidak tepat sasaran.

Selain itu, Aloysius juga mengkritik sistem penilaian Ujian Nasional (UN) yang dijalankan saat ini. Menurutnya, dengan sistem penilaian tersebut, dapat memicu banyak hal negatif.

Contohnya, mengajarkan seseorang bertindak  curang. Tak bisa dimungkiri, selama 12 tahun mengenyam bangku sekolah, predikat kelulusan seorang pelajar mesti ditentukan dalam waktu singkat. Sehingga, secara tidak langsung hal ini memengaruhi pola pikir seseorang. Bahwa selain mengandalkan kemampuan sendiri, menyontek dapat “menambah” persentasi kelulusan. Sehingga pudarlah sikap jujur yang diinginkan dari generasi penerus.

Bahkan banyak siswa stress. Muaranya, siswa-siswa berprestasi harus gugur karena UN.  “Ya, gugurnya mereka mungkin karena bahan pelajaran yang dipelajari, tidak masuk seluruhnya dalam UN,” ucap pria yang memiliki tiga anak ini. Akibatnya, mereka mesti mengulang lagi tahun depan.

“Beda dengan negara luar. Kalau siswanya tidak lulus, maka akan dibimbing terus sampai dia lulus,” sambungnya. Selain itu, penilaian seperti ini berorientasi hasil, bukan proses. Padahal, pendidikan yang didapatkan selama bertahun-tahun tidak layak diukur dalam waktu singkat --dengan angka pula.

CIRI HETEROGEN

Aloysius menetap di Kaltim, khususnya Samarinda, sudah sejak tahun 1980-an silam. Ia mengaku betah di Benua Etam ini. Selain karena tuntutan pekerjaan, ciri masyarakat heterogen membuat dia semakin nyaman.

Keanekaragaman masyarakat di Kaltim membuat situasi interaksi berlangsung aman dan nyaman. Itu karena ciri masyarakat heterogen mudah melakukan adaptasi dan komunikasi yang terjalin sangat baik. “Misalnya saat berkumpul dengan kerabat, maka bisa dipastikan bahasa yang digunakan untuk berbincang bahasa Indonesia,” ujar Aloysius.

Selain itu, sifat kekeluargaan berlangsung baik. Pengotak-kotakan di masyarakat juga tidak ada. Hanya bentuk organisasi dan paguyuban yang timbul di masyarakat, tetapi seluruhnya tidak menunjukkan keeksklusifan organisasinya.

Nah, pemerintah seharusnya dapat memosisikan organisasi dan perkumpulan masyarakat ini sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi. Contohnya, etnis Jawa yang dikenal ahli bertani, maka pemerintah dapat memberikan lahan untuk dikembangkan oleh mereka. Sedangkan etnis Bugis yang biasa tinggal di dataran rendah yang subur dan pesisir serta bermata pencaharian sebagai nelayan, dapat menggenjot budidaya perikanan jika diberikan ruang untuk mengembangkan kemampuannya.

Selain itu, pemerintah juga seharusnya memperhatikan pemerataan pembangunan di Kaltim. Dari peningkatan infrastruktur hingga membuka pasar bagi masyarakat pedalaman. Konon, masyarakat pedalaman terbilang acuh, ditambah rasa nasionalisme masih sangat rentan lantaran kesejahteraan di sana belum maksimal.

Pria yang bergabung dalam tim peneliti Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk bidang resolusi konflik di masyarakat ini menuturkan, masalah pertambangan di Kaltim juga menimbulkan dampak sistemik. Seperti, masalah tambang batu bara, dan konflik yang terjadi akibat pembebasan lahan.

Aloysius menilai, banyak perusahaan yang berlabel izin usaha pertambangan (IUP) yang  penyaluran corporate social responsibility (CSR)-nya tidak sesuai aturan. “Harusnya pemberian bantuan kepada masyarakat didiskusikan bersama terlebih dahulu, tapi saat ini yang terjadi secara sepihak oleh perusahaan. Hal inilah yang perlu diperbaiki,” harap dia. (*/zal/k1)