Aloysius Hardoko Kamis, 10 Januari 2013 – 10:08:31
|
|
TERUS BELAJAR: Prof Dr Aloysius
Hardoko MPd berkunjung ke Australia awal tahun 2013 ini. (IST/REPRO KP)
Adanya tuntutan sebagian masyarakat akan biaya pendidikan
gratis membuat Aloysius Hardoko khawatir. Menurutnya, itu bukan solusi
pemecahan masalah dari ketidakmampuan pemerintah mewujudkan Wajib Belajar 9
Tahun kepada anak tak mampu.
SUTRISNO, Samarinda
KEBIJAKAN pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan dipandang
sering tidak tepat oleh Aloysius. Profesor Universitas Mulawarman (Unmul) dari
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ini menegaskan, kajian pemerataan
pendidikan di Kaltim harus dicermati dengan baik. Sebab, permasalahan di dalam
beda dengan luar Kaltim. Hal itu tercermin dalam kebijakan pendidikan gratis
yang pernah digembar-gemborkan.
Pada dasarnya, kata Aloysius, pendidikan itu memang harus mahal. Ini disesuaikan dengan kualitas yang diterima. Tanggung jawab orang tua terhadap anak pun bisa hilang dengan terlaksananya pendidikan gratis itu.
Menurut Aloysius, jika hal itu terjadi, maka tidak sepadan kalau dipadukan dengan peningkatan kualitas dalam pendidikan. Karena, pemenuhan kebutuhan dalam menunjang pendidikan berkualitas memerlukan dana tak sedikit.
Misal, dalam hal sarana, pemenuhan peralatan untuk praktik, ruangan yang nyaman --jika perlu menggunakan AC--, plus menyejahterakan tenaga pendidik. Hal ini nantinya akan membuat siswa belajar dengan nyaman dan menunjang dalam peningkatan kemampuan mereka. Ditambah dengan teknologi yang memadai.
Selain itu, tenaga pengajar juga perlu ditingkatkan. Jangan sampai, katanya, ada pengajar yang tidak paham cara mengajar yang tepat. “Banyak saat ini pengajar yang tidak mumpuni dalam membina siswa, tidak memenuhi syarat-syarat pengajar yang benar. Akibatnya, siswa terkena imbas,” ucap pria yang baru dua hari lalu pulang dari Australia untuk melihat kemajuan pendidikan di Negeri Kanguru tersebut.
Setiap siswa memiliki karakteristik berbeda-beda, sehingga setiap karakter tersebut harus dipahami agar mereka mendapat manfaat dari pendidikan.
Aloysius berpendapat, pendidikan mahal memang akan menimbulkan masalah baru. Namun, dalam mengatasi anak-anak yang tak memiliki biaya, patutnya pemerintah memberikan subsidi atau beasiswa yang menunjang pendidikannya. Sehingga, tak terjadi pelajar putus sekolah.
Namun pengawasan memang harus ketat. Sering terjadi anak yang tidak mampu secara ekonomi, namun memiliki kepintaran, tidak menerima beasiswa. Sementara mereka yang mampu, dan kurang pintar, justru diberikan beasiswa. Akhirnya, beasiswa tidak tepat sasaran.
Selain itu, Aloysius juga mengkritik sistem penilaian Ujian Nasional (UN) yang dijalankan saat ini. Menurutnya, dengan sistem penilaian tersebut, dapat memicu banyak hal negatif.
Contohnya, mengajarkan seseorang bertindak curang. Tak bisa dimungkiri, selama 12 tahun mengenyam bangku sekolah, predikat kelulusan seorang pelajar mesti ditentukan dalam waktu singkat. Sehingga, secara tidak langsung hal ini memengaruhi pola pikir seseorang. Bahwa selain mengandalkan kemampuan sendiri, menyontek dapat “menambah” persentasi kelulusan. Sehingga pudarlah sikap jujur yang diinginkan dari generasi penerus.
Bahkan banyak siswa stress. Muaranya, siswa-siswa berprestasi harus gugur karena UN. “Ya, gugurnya mereka mungkin karena bahan pelajaran yang dipelajari, tidak masuk seluruhnya dalam UN,” ucap pria yang memiliki tiga anak ini. Akibatnya, mereka mesti mengulang lagi tahun depan.
“Beda dengan negara luar. Kalau siswanya tidak lulus, maka akan dibimbing terus sampai dia lulus,” sambungnya. Selain itu, penilaian seperti ini berorientasi hasil, bukan proses. Padahal, pendidikan yang didapatkan selama bertahun-tahun tidak layak diukur dalam waktu singkat --dengan angka pula.
CIRI HETEROGEN
Aloysius menetap di Kaltim, khususnya Samarinda, sudah sejak tahun 1980-an silam. Ia mengaku betah di Benua Etam ini. Selain karena tuntutan pekerjaan, ciri masyarakat heterogen membuat dia semakin nyaman.
Keanekaragaman masyarakat di Kaltim membuat situasi interaksi berlangsung aman dan nyaman. Itu karena ciri masyarakat heterogen mudah melakukan adaptasi dan komunikasi yang terjalin sangat baik. “Misalnya saat berkumpul dengan kerabat, maka bisa dipastikan bahasa yang digunakan untuk berbincang bahasa Indonesia,” ujar Aloysius.
Selain itu, sifat kekeluargaan berlangsung baik. Pengotak-kotakan di masyarakat juga tidak ada. Hanya bentuk organisasi dan paguyuban yang timbul di masyarakat, tetapi seluruhnya tidak menunjukkan keeksklusifan organisasinya.
Nah, pemerintah seharusnya dapat memosisikan organisasi dan perkumpulan masyarakat ini sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi. Contohnya, etnis Jawa yang dikenal ahli bertani, maka pemerintah dapat memberikan lahan untuk dikembangkan oleh mereka. Sedangkan etnis Bugis yang biasa tinggal di dataran rendah yang subur dan pesisir serta bermata pencaharian sebagai nelayan, dapat menggenjot budidaya perikanan jika diberikan ruang untuk mengembangkan kemampuannya.
Selain itu, pemerintah juga seharusnya memperhatikan pemerataan pembangunan di Kaltim. Dari peningkatan infrastruktur hingga membuka pasar bagi masyarakat pedalaman. Konon, masyarakat pedalaman terbilang acuh, ditambah rasa nasionalisme masih sangat rentan lantaran kesejahteraan di sana belum maksimal.
Pria yang bergabung dalam tim peneliti Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk bidang resolusi konflik di masyarakat ini menuturkan, masalah pertambangan di Kaltim juga menimbulkan dampak sistemik. Seperti, masalah tambang batu bara, dan konflik yang terjadi akibat pembebasan lahan.
Aloysius menilai, banyak perusahaan yang berlabel izin usaha pertambangan (IUP) yang penyaluran corporate social responsibility (CSR)-nya tidak sesuai aturan. “Harusnya pemberian bantuan kepada masyarakat didiskusikan bersama terlebih dahulu, tapi saat ini yang terjadi secara sepihak oleh perusahaan. Hal inilah yang perlu diperbaiki,” harap dia. (*/zal/k1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar