Ki Slamet Blog - Kita Semua Wayang
Sabtu, 19 Mei 2018 - 02:00 WIB
Modal Utama : “KEMAUAN”
Entah beberapa kali aku keluar masuk kantor Departemen Penerangan Jakarta. Tak banyak yang kuminta. Hanya bantuan kertas untuk penerbitan di Soasiu.
Sabtu, 19 Mei 2018 - 02:00 WIB
Modal Utama : “KEMAUAN”
Modal Utama : “KEMAUAN”
Entah beberapa kali aku keluar masuk kantor Departemen Penerangan Jakarta. Tak banyak yang kuminta. Hanya bantuan kertas untuk penerbitan di Soasiu.
Walaupun beliau-beliau di kantor itumungkin
bosan, aku tetap tak jemu-jemu datang menghadap lagi ke kantor Departemen
Penerangan, aku mengeja kata-kata bapak Djawoto yang pernah ditujukan padaku
tatkala aku menghadap beliau dengan
tujuan yang sama, yakni dapatkah kiranya beliau membantu mempermudah permohonan
kertas tersebut. apa kata beliau kepadaku ?
“Saya pernah muda dan mempunyai kemauan keras
seperti Saudara, tetapi
Itu tidak cukup dengan kemauan saja”.
Kata-kata inilah merupakan cambuk
bagiku untuk tidak menyerah pada
kesulitan. Ingin aku membuktikan bahwa apa yang kulakukan sekarang, bukan hanya
angan-angan kosong yang mustahil dilaksanakan, tapi apa yang sedang
kuperjuangkan adalah yang semestinya menjadi perhatian pemerintah.
Meskipun tidak percaya akankemampuan
sendiri karena aku masih hijau, namun aku ingin supaya di daerah itu diadakan
penerbitan, walaupun diselenggarakan oleh orang lain.
Coba, kita bayangkan bagaimana sedihnya
di daerah yang dianggap daerah propinsi perjuangan, tapi nyatanya tidak ada
apa-apanya. Menunggu surat kabar dari Jakarta tidak ada artinya sama sekali,
karena 5 bulan baru sampai di Soasiu.
Radio, pada umumnya rakyat tidak punya,
kecuali beberapa Orang tertentu. Inipun serba sulit. Di Soasiu tidak ada
listrik. Radio listrik tak dapat dapat dipakai . andai kata ada yang punya
radio accu atau baterai, tidak ada yang jual baterainya., sehingga akhirnya
semua radio pada nganggur.
Kalau ditinjau dari segi keuangannya, penerbitan di daerah ini tidak mungkin. Tapi kita harus
sadar betapa daerah ini membutuhkan bacaan, walaupun isinya tidak dapat sehebat
dengan yang terbit di Jakarta.
Setidak-tidaknya koran lokal dapat
membantukebutuhan masyarakat di daerah akan bacaan, baik yang sudah mempunyai
pikiran kritis, maupun bagi yang baru tamat P.B.H(Pemberantasan Buta Huruf).
Tentu penerbit akan serampangan mengisi surat kabarnya, tapi harus diusahakan
supayya sesuai dengan selera pembacanya.
Penerbitan tidak bertujuan mencari uang,
karena keuntungan apakah yang bisa didapat dari penerbitan di daerah semacam
ini ? aku sudah kenal keadaan di daerah ini, sehingga bodohlah andaikata aku
mencari keuntungan.
Orang-orang ini cukup membaca surat
kabar satu saja, berganti-gantian. Disamping kebiasaan ini, para langganan
malah tiada minat membaca. Kesulitan inilah merupakan dorongan bagi penerbit
untuk mengusahakan supaya mereka menjadi penggemar membaca dan merasa
bertanggung jawab atas uang langganan.
Perhubungan Soasiu — Ternate dilakukan
dengan motorboot, kapal bermotor; inipun tidak bisa setiap setiap hari; kalau
motorboot tidak ada. Maka supaya tidak terlambat orang harus menggunakan
perahu-perahu. Berapakah ongkos untuk orang-orang yang mendayung ? hubungan pos
lebih-lebih lagi, selalu lebih lambat sampainya.
Kenyataan-kenyataan inilah yang tidak
memungkinkan surat-surat kabar hidup, kalau hanya didasarkan pada keuntungan
belaka. Makabukan itulah tujuanku.
Aku ingin menanamkan pengertian pada
penduduk di perbatasan itu, supaya mengenal perkembangannya, terutama yang
dihadapi pada masa itu, yakni kegiatan perjuangan Indonesia. Dan Soasiu
merupakan daerah yang terpenting karena ditempati Propinsi Perjuangan Irian
Barat. Soasiu sebenarnya lebih giat daripada daerah lain di Indonesia, bukan
sebaliknya : tinggal melempem, sambil mendengarkan kegiatan-kegiatan daerah
lainnya belaka. Kalau aku dapat menerbitkan surat kabar daerah di Soasiu,
walaupun tidak mengisi 100 % kekurangan daerah ini, setidak-tidaknya dapat
membikin penerangan-penerangan melalui penerbitan-penerbitan, yang dapat
menggugah semangat setiap orang yang sedang “tidur” itu. Dan pikiranku tak
dapat melupakan kebutuhan daerah itu.
Aku tidak hanya minta bantuan ke
departemen Penerangan, melainkan kemana saja yang mungkin, asal dapat
dipertanggungjawabkan.
Disamping mereka yang tidak perduli, ada
juga yang memberi perhatian. Memang aku mengerti juga, Pemerintah takut kalau
nantinya kepercayaan yang diberikan itu disalahgunakan. Karena itu, aku tidak
minta subsidi, tapi hanya minta agar dapat dibeli kertas dengan harga
pemerintah.
Mungkin juga Departemen Penerangan menganggap
tidak mungkin, karena tenaga yang masih hijau begini, jangan dipatahkan
semangatnya. Bapak-bapak seharusnya memberi dorongan kepada kesanggupan
generasi baru, walaupun hasilnya tidak segemilang yang sudah berpengalaman. Aku
lalu mencoba datang ke Front Nasional. Rupanya Kolonel Djoehartono sudah
menjelaskan soalnya pada Overste Harsono dari Badan Pembina Potensi Karya.
Dari beliaulah aku mendapat perhatian,
maka timbullah semangatku kembali. Ternyata tidak semua orang tidak setuju
dengan rencana ini, beliau bersedia membantu apa saja yang mungkin dapat
diberikan. Dari pembuatan akte sampai pada klise, disamping bantuan uang.
Kalaupun semua syarat-syarat yang
diperlikan oleh Departemen Penerangan sudah dipenuhi tapi belum juga berhasil,
beliau bersedia menghubungkan aku langsung dengan Menteri. Tapi sedapat mungkin
aku tetap mengurus melalui saluran yang ditentukan, kecuali kalau hal ini
gagal. Dan aku tak mau gagal. Kata-kata Pak D
Jawoto masih hangat dibenakku. Hamid
Kotombunan, adalah pembantuku yang bersemangat untuk tetap tidak mundur
menghadapi kesulitan-kesulitan ini.
Aku terus berusaha mencari jalan yang
dapat segera menyelesaikan soal kertas. Terlalu lama aku menunggu keptusan
dapat tidaknya. Hampir 1½ bulan aku berusaha. Percuma kalau aku hanya
menunggusedangkan syarat-syarat yang kuberikan sukar untuk diterima oleh
departemen penerangan, karena kurang memenuhi syarat .
Kebetulan Gubernur Propinsi Irian Barat,
Kolonel Pamoedji, masih ada di Jakarta. Lebih baik aku mohon kesedeiaan beliau
untuk menguruskan langsung soal kertas ini pada Menteri. Untung, Gubernur yang
baru ini cara berpikirnya tidak bertele-tele. Orangnya pendiam, barangkali
bukan aku saja yang kalau melihat wajah beliau , menjadi agak takut. Tampaknya
seram. Tapi setelah berbicara, ternyata beliau orang yang sangat baik.
Bicaranya tidak banyak, beliau minta
yang tegas, tidak berputar-putar, rencana yang tepat masuk diakal. Jawaban
beliau hanya ada dua : ya atau tidak. Tidak banyak komentar-komentar
lain. Itulah termasuk kesulitan yang kuhadapi. Beliau cukup tahu daerah Soasiu,
betapa kebutuhan akan bacaan disamping kebutuhan-kebutuhan lain. Jadi tidak
semestinya kalau permintaan ini harus memenuhi syarat yang mutlak seperti
penerbitan di Ibukota. Tanpa banyak komentar, beliau langsung hari itu juga
menuju ke Departemen Penerangan. Sayang, menteri tidak ada. Beliau diterima
oleh Pembantu Utama Menteri. Tetapi segala urusan tetek bengek dapat
diselesaikan, dan akhirnya permintaan untuk penerbitan dikabulkan; dan melalui
Gubernur kami terima 200 riem kertas.
Aku mendapat bantuan uang juga dari
Gubernur untuk persiapan kebutuhan-kebutuhan supaya dapat segera berangkat
menuju Soasiu.
Legalah aku, apa yang telah kulakukan
dengan jerih payah nyatanya tidak hanya mimpi belaka. Penerbitan ini akan
kuberi nama seperti mingguan lama yang terbit di Ternate, “Karya”, yang dulu
terbit stensilan, tidak menentu, hanya kalau kebetulan ada uang saja. bagaimana
para langganan tidak jengkel ! kadang-kadang satu bulan hanya terbit satu kali,
tetapi rekeningnya tetap mingguan. Tentu saja pelanggannya tidak mau membayar
!!
Nama baru tidak perlu, tenaganya pun
kuambil dari kalangan daerah. Tentu bisa bersemangat kalau surat kabarnya
disempurnakan. Sekarang tidak lagi distensil tapi dicetak, sifatnya tentu lain.
Kalau dulu main-main, sekarang harus giat bekerja, harus menanamkan kepercayaan
pada langganan, terutama pada Pemerintah, bahwa kepercayaan yang diberikan,
betul dibuktikan, sehingga beliau melihat, yang “hijau” tidak selamanya tidak
cakap. Sihijau pun bisa bisa menjadi dewasa, dan sanggup bekerja.
Yayasanku bernama “Kartika Lina”. Aku
mendapat bantuan terbesar dari BPPK yang kebanyakan berasal dari Angkatan Darat. Lambang Kartika Eka Paksi
kuambil Kartikanya, digabung dengan singkatan namaku Lina. Tujuan Yayasan ini
memantau Pemerintah dalam mempertinggi kecerdasan rakyat. Bukan hanya surat kabar
saja, tapi juga bacaan-bacaan dan usaha-usaha lain yang sejalan dengan tujuan
tersebut.
Aku mendapat bantuan buku-buku dari
perpustakaan rakyat di Jakarta, dan juga dari Departemen Penerangan.
Setelah semuanya siap, aku dan Hamid
berangkat ke Surabaya, menunggu kapal untuk berangkat ke Soasiu. Maklumlah,
kapal laut berangkatnya tidak menentu. Acapkali ditunda-tunda hingga satu
minggu. Persediaan uang sudah tipis, pengeluaran di Surabaya selama menunggu
kapal cukup banyak. Tapi aku tak perlu berkecil hati karena tiada uang, sebab
di atas kapal tak perlu mengeluarkan uang lagi.
Tanggal 2 Oktober 1961 aku meninggalkan
pelabuhan Surabaya dengan kapal “Waikelo”, bersama-sama dengan tiga orang
perwirra Kodam XV. Di kapal suasana gembira, karena ada seorang dari kepolisian
yang kegemarannya memainkan akordion.
Apa kerja di kapal selain makan dan
tidur ? jika gelombang tidak tinggi, semua orang sehat-sehat, menikmati angin
laut dan berjalan-jalan menghilangkan kebosanan di kapal. Perwira itu mengalah,
memberikan kamarnya kepadaku. Maklumlah
kamar-kamar tidak cukup sehingga yang ada dek saja. tentu aku berterima kasih
atas bantuan beliau, sedangkan Hamid ada kenalan juga di kapal sehingga ia
tidak lagi tidur di dek.
Selama aku sibuk mempersiapkan
penerbitan, tidak ada yang kurasa sedih. Tapi kini aku dalam keadaan tenang,
cukup waktu untuk membangkitkan pikiran-pikiran yang sebenarnya tidak perlu.
Semua itu membuat aku sunyi, seolah-olah aku hidup sendiri.
Aku ingat akan ibuku, kata-katanya
terngiang di telinga, “Hati-hati kau nak, jauh dari orang tua”. Dulu tangis
orang tuaku tak kuhiraukan. Sekarang terasa, betapa sunyi aku tanpa orang tua.
Air mataku meleleh, membutuhkan kasih orang tua.
Dua tahun kutinggalkan Ibu, sekarang aku
berangkat lagi, tidak tahu kapan aku pulang. Ayunan kapal membuat aku tertidur,
tenang seolah-olah jiwaku terpisah dari badan. Aku dikejutkan ketokan pintu,
tanda makan siang. Badanku lemas, mungkin disebabkan habis menangis, maka
rasanya seperti kehilangan kekuatan.
Sejak berangkat aku jarang sekali keluar
kamar, kecuali kalau makan. Tentu beliau-beliau memperhatikan mengapa aku
berdiam diri ? Memang tidak semestinya aku berdiam diri itu. Apakah perlunya
bersusah hati, padahal ibuku tetap jauh. Dan lagi, ibuku tak ingin aku bersedih
hati. Dengan sedih tak mungkin aku bekerja, sedangkan pekerjaan membutuhkan
pemusatan pikiran. Kalau keadaan seperti sekarang, semua akan menjadi
terbengkalai. Akibat menganggur, segala segala sesuatu menjadi terpikir, juga
yang bukan-bukan. Memang perpisahan itu kadang-kadang menyakitkan. Namun,
perpisahan tak dapat dihindari.
Kucoba jalan-jalan ke luar. Air laut
gemericik, sayu kedengaran. Kenapa, kau, bulan, ikut-ikut menggugah jiwaku
mengenang yang kutinggalkan, ibuku, pacarku...... Maksudku ke luar cabin, ialah
menghilangkan kesunyianku, tapi justeru lebih menyayat, begitu sakit rasanya.
Tidak, perasaan ini harus hilang. Apa yang harus kurusuhkan ? coba, lihat,
semua penumpang tertawa girang, ada yang bermain catur, akordion. Apa bedanya
aku dan mereka ? merekapun mengalami perpisahan, justeru mereka lebih sakit
berpisah dengan anak dan isterinya.
Ada tiga orang perwira datang mengajak
bercakap-cakap. Jika selama itu aku tidak mau keluar dari cabin, maka sekarang
aku ingin menghilangkan semua pikiran-pikiran
anak kecil.
Kami berempat menyanyi bersama-sama
diirungi bunyi akordeon. Memang hilanglah semua kekesalanku. Aku harus
berterima kasih pada Mayor Suryadi, yang bukan hanya memberi tempat, tapi juga
setelah melihat aku sedang sedih, tak jemu-jemunya beliau dan teman-temannya
mengajakku gembira.
Lama sekali kapal ini rasanya akan
sampai. Masih harus singgah di Buleleng. Aku membeli mangga mentah
banyak-banyak, akan kubikin rujak. Dari Buleleng hingga Makassar, perjaanku
setiap hari hanya membikin rujak. Sampai di Makassar, aku turun mencari orang
yang mungkin bisa menjadi agen surat kabarku. Aku minta bantuan juga Kodam
Hasanuddin, supaya mau berlangganan tetap dengan jumlah yang agak besar.
Untunglah, semua itu berhasil, walaupun
surat kabar itu datang akan terlambat sekali. Tujuannya membantu semata-mata
supaya surat kabar itu nanti dapat hidup terus, distribusi akan berjalan
lancar, walaupun jaraknya jauh. Kesediaan berlangganan sudah ada, walaupun
belum ada nomor perkenalan.
Kapal berlayar lagi, dan akhirnya sampai
di kota Ambon dengan selamat. Di Ambon aku harus mengambil kertas, padahal uang
tidak ada. Mayor Suryadi menolongku lagi, karena aku tidak ada penginapan di
Ambon. Aku dan Hamid bersama-sama diajak ke tempat beliau. Serumah smuanya
pria, hanya aku yang wanita. Apa boleh buat, karena dalam keadaan terpaksa.
Memang pandanggan orang tidak enak, tapi aku harus bermalam dimana, kalau tak
mau bersama mereka ?
Biarlah, untuk sementara Hamid pun
bersama-sama denganku. Kalau aku terus berpikir tentang pandangan orang,
pekerjaanku tak akan berhasil. Berjalan terus : Tuhan Maha Tahu tentang apa
yang dilakukan makhluknya, biarkan orang mengatakan segala-galanya, yang aku
tidak melakukan yang mereka perkirakan.
Aku akan meminjam uang dari Kodam XV.
Waktu itu Panglima sedang pergi, diwakili Kepala Stafnya. Overste Fatah, yang
sudah kukenal ketika keliling Indonesia . beliau tidak keberatan, karena
pinjaman itu adalah untuk usaha yang peru dibantu. Harga kertas Rp. 21.081,—
ditambah ongkos pengangkutan dan lain-lain, maka aku pinjam Rp. 25.000,—. Aku
kemudian menunggu hubungan ke Maluku Utara.
Selama aku menunggu, aku membuat
keaktifan-keaktifan di daerah. Persuratkabaran bukan saja di Maluku Utara yang
mati, tapi juga di Ambon. Wartawan-wartawannya sudah kehilangan semangat,
penerbitan sudah tidak terpelihara lagi. Akan diam-diam saja ? PWI cabang Ambon
kuminta mengadakan pertemuan antara wartawan-wartawan dan mengundang
pejabat-pejabat untuk memberikan kritiknya pada aku supaya aku bangun,
mengetahui suara pembacara secara langsung tentang kekurangan kita, bagaimana
kita mendapatkan pembaca yang sebesar-besarnya memberi isi koran yang tidak
mengecewakan. Semuanya berjalan dengan baik dan para wartawan kembali pada
kegiatannya. Aku diharapkan berada di Ambon, tapi tak mungkin, di Soasiu aku
lebih dibutuhkan.
Aku mendapat undangan resepsi ulang
tahunnya Gubernur Maluku, bapak Padang. Aku hadir bersama-sama Overste Fatah
dan Jaksa Tinggi Ambon. Karena keluarga beliau belum berada di Ambon, maka
timbullah asosiasi-asosiasi yang tidak-tidak. Di antara yang hadir, tidak ada
yang semuda seperti aku, sehingga aku berusaha mendekati ibu-ibu sebagaimana
mestinya. Acara berjalan dengan meriah. Yang menjadi bintang malam itu adalah
bapak K. P. Kom. Margono. Beliaulah yang membuat acara malam itu menjadi hidup.
Beliau itu lucu, setiap geriknya
menimbulkan tawa. Menunjuk orang menjadi tidak asing lagi bagi kami, tidak
pandang pangkat maupun usia. Justeru makin tua usianya, makin lucu kalau
menyanyi. Akhirnya aku dapat giliran juga. Disinilah pandangan menjadi lain.
Lebih-lebih Margono yang menganggap aku masih anak-anak dan membuatku
sedemikian lucu untuk bahan tertawaan memeriahkan malam itu. Karena aku
menghormati beliau, maka kulaksanakan apa yang beliau perintahkan, semuanya
sekedar untuk ramai-ramai saja. aku tidak mendugga bahwa di antara beberapa
ibu-ibu ada mendongkol dengan apa yang bapak Margono lakukan. Bersambung...
S u m b e r :
J. Herlina – Pending Emas
PT Gunung Agung – MCLXIV
Cetakan ke 2 – 1965
Tidak ada komentar:
Posting Komentar