Ki Slamet Blog - Kita Semua Wayang
Selasa, 15 Mei 2018 - 00:20 WIB
Selasa, 15 Mei 2018 - 00:20 WIB
CATATAN
Aku di Kotabaru tinggal bersama-sama
dengan para bapak-bapak karena belum ada wanita-wanita yang diberangkatkan ke
Irian Barat walaupun perjanjian telah ditanda-tangani. Aku serumah bersama 4
orang, Dr. Sambiyono, tokoh ke-3 di Perwakilan, Bapak Soemarmo, Koordinator
Penerangan Irian Barat, Karno Barkah, Kep. Urusan Penerbangan dan Mas Diarto,
PressBuereau UNTEA. Kami serumah sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Walaupun aku tahu bagaimana sulitnya
kedudukan sebenarnya, namun tak ada yang kuhiraukan, aku tetap terus bekerja
dan berdoa semoga Tuhan memberkati hidup dan usaha-usahaku.
Kepercayaan Komando Mandala akan diriku
merupakan tanggung jawab yang tidak dapat kulepaskan. Kepercayaan itu kujunjung
tinggi walaupun aku menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Gembira adalah
satu-satunya obat untuk meringankan segala penderitaan.
Keadaan yang buruk jangan terlalu
dipikirkan, akibatnya hanya merusakkan pikiran dan menimbulkan kekecewaan.
Kalau tidak tahan dengan kekecewaan yang dirasakan, semangat akan hilang,
padahal semangat sesungguhnya tidak boleh lenyap dari dada manusia.
Kehilangan semangat berarti mati,
meskipun badan masih hidup. Pengalaman yang buruk cukup menjadi bahan untuk
menghadapi suasana yang baru tanpa mengulangi pengalaman itu.
Memang kadang-kadang sukar menahan
penderitaan batin terus-menerus, jarang-jarang
yang tabah. Mereka malah putus asa, atau patah dalam arti yang luas.
Untuk mencegah ini aku berpedoman :
“Hidup
adalah sulit
Sulit
itulah perjuangan”.
Tanpa kesulitan manusia, manusia tidak
berjuang. Selama kita hidup, kesulitan selalu ada; kesulitan menimbulkan
perjuangan untuk mencapai kemenangan.
Dalam perjuangan mengembalikan Irian
Barat ke wilayah kekuasaan R.I, Indonesia mengalami segala penderitaan, dan
karena penderitaan itulah akhirnya Irian Barat dapat kita rebut dari penjajah.
Tanpa perjuangan yang sungguh-sungguh
dari segenap rakyat Indonesia mungkin Irian Barat masih tetap dalam cengkeraman
kolonialis.
Untuk ini pulalah aku datang ke Irian
Barat, tak bedanya dengan putera-putera Indonesia lain yang ingin mengabdikan
dirinya pada Negara dan Tanah Air,sekalipun aku seorang wanita.
Indonesia sekarang bukan Indonesia zaman
kolonial dimana wanita tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan kaum pria.
Sekarang kesempatan terbuka sesuai dengan kemampuan wanita di masing-masing
bidangnya. Tapi karena dunia wanita Indonesia baru saja berkembang, maka
penilaian masyarakat Indonesia terhadap wanita dalam sepak terjangnya, masih
sempit.
Perkembangan ini bukan semata-mata berarti
menuntut hak yang sama, tapi mengusahakan pengertian bahwa wanita tak kalah
pentingnya dalam pergaulan masyarakat, karena masyarakat itu tidak hanya
dibimbing oleh laki-laki, tapi juga wanita.
Andaikata wanita dapat mencapai
kedudukan yang sama dengan pria, maka itu wajar, dan justru kaum pria harus
bangga sudah dapat membantu kaum yang dianggap lemah menuju kepada perkembangan
sesuai sesuai tuntutan zaman.
Sebenarnya wanita itu dapat mengurangi
kelemahan-kelemahannya. Kelemahan-kelemahan kita kaum wanita bukan semata-mata
pada jasmaninya, tapi ada lagi yang merupakan khas dari wanita :
Mereka bermusuhan di kalangan sendiri.
Bersatu kita teguh bercerai kita jatuh.
Andaikata pepatah ini kita laksanakan, niscaya wanita Indonesia akan mencapai
kedudukan dan nilai yang lebih tinggi di masyarakat, khusus di Indonesia.
Kalau wanita Indonesia dapat mencapai
kemajuan seluruhnya, keadaan rumah tangga pun akan mengalami perubahan. Arti
kemajuan itu bukan kemajuan yang salah, misalnya lupa masak, tapi kemajuan yang
positif dimana dalam rumah tangga dapat diselenggarakan kehidupan yang harmonis
dan membimbing anak-anaknya secara pengertian yang baik, tidak seperti apa yang
kulihat di keluarga Indonesia : Ibunya cantik jelita, anaknya tidak terurus.
Ruangan rumah depan disusun rapih, tapi ruangan lain, berantakan.
Banyak hal-hal lakinya, yang perlu
perbaikan, untuk langkah selanjutnya menuju panggilan zaman.
Kaum wanita dapat menuntun generasi baru
dalam pembentukan jiwa menjadi Putera Indonesia, dalam mengutamakan kepentingan
Negara daripada peribadinya, karena keadaan peribadi sejalan dengan Negaranya.
Untuk membentuk jiwa generasi ini rumah
tangga memegang peranan yang penting dimana kaum wanita adalah pembimbing
utamanya.
Kepada Tuhan aku menengadah karena telah
diberi kekuatan batin menghadapi segala kesulitan yang tidak pernah berakhir,
sejak aku memulai dari daerah perbatasan sampai berhasil ikut serta dalam
pergolakan Indonesia mengusir penjajah dari Irian Barat.
S u m b e r :
J. Herlina – Pending Emas
PT Gunung Agung – MCLXIV
Cetakan ke 2 – 1965
Tidak ada komentar:
Posting Komentar