Rabu, 06 Juni 2018

BUKU PENDING EMAS 5 Penulis J. Herlina

Ki Slamet Blog - Kita semua wayan
Kamis, 07 Juni 2018 - 05:29 WIB
J. HERLINA

Minguan  “KARYA”

Nama “Karya” tidak asing bagi Ternate. Hanya bentuknya akan berubah, dari stensilan, menjadi cetakan dan terbitnya setiap minggu secara teratur, tidak seperti sebelumnya yang terbit kalau kebetulan ada kemauan dan uang. Redaksi tetap kuserahkan pada pengasuh “Karya” yang lama, Hamid.
Sebelum penerbitan dimulai, akan kuperkenalkan Yayasanku, sekaligus menjelaskan kedatanganku di daerah ini. Perkenalan ini sekedarnya saja, sederhana sesuai dengan kemampuanku. Cukup dengan persiapan waktu yang singkat.
Jika hubungan dengan masyarakat baik, pelaksanaannya tidak akan menemui kesulitan, lebih-lebih di daerah sekecil ini tidak perlu terlalu resmi-resmian. Gedung untuk kantor sudah ada. Bantuan dari Hamid dan kawan-kawannya sangat besar, karena mereka lebih kenal daerah ini daripada aku.
Dengan biaya sederhana, tapi isi dan bentuk meriah. apa kiranya yang dapat kuselenggarakan ? tanggal 25 Nopember 1961 Yayasan ini sudah harus diperkenalkan, tiga hari cukup untuk persiapan, walaupun perlu kerja keras sedikitt. Biasanya resepsi-resepsi di daerah dilanjutkan dengan acara dansa. Tapi dalam acara perkenalan nanti ingin aku meniadakannya, dengan tidak mengurangi kemeriahannya, dengan tidak mengurangi kemeriahannya.
Bukan aku nanti dansa, meskipun aku dapat melakukannya. Hanya aku ingin membuat acara yang lain dari biasa. Aku mau membuat acara ketawa, karena aku tak mempunyai keuangan cukup untuk menyedikan hidangan yang mewah. Dengan acara tertawa, hidangan tentu menjadi enak.
Undangan sudah diedarkan kepada semua pejabat-pejabat dan wakil-wakil masyarakat, tentu tak ketinggalan rekan-rekan kuli tinta. Musik disumbang oleh band bocah terkenal di daerah ini. Band Kulintang yang dimainkan oleh anak-anak berumur 12 tahun. Rupanya mereka memang memiliki bakat musik, lagi pula orang tua mereka sangat menyokong. Kalau mereka main, orang tua mereka selalu mendampingi, sehingga hampir-hampir band itu terdiri dari seluruh keluarga. Keluarga penggembira ini namanya J. Sigarlaki. Kupanggil Oom dan Tante, sebutan yang lazim berlaku di daerah Maluku.
Bu Iskak ikut sibukmenyiapkan segala seuatu untuk hiasan gedung-gedung dan lain sebagainya. Kuwrh-kuweh dari Tante Tan; ia tinggal persis di belakang kantorku. Ia dengan sukarela membantu pelaksanaan konsumsi. Keluarga ini baik sekali padaku, bantuannya tidak terbatas pada konsumsi saja, untuk keperluan apa saja dapat meminta bantuan mereka.
Sungguh aku beruntung hidup di tengah orang-orang baik. Malam yang dinanti akhirnya tiba. Para undangan mulai berdatangan. Tapi jam karet masih berlaku, penyakit yang sudah umum berkecamuk di seluruh pelosok tanah air.
Akan dimulai, tamunya belum lengkap! Apa boleh buat, menunggu dulu.
Acara pertama ialah perkenalan Yayasan yang menharapakan bantuan dari segenap golongan masyarakat di daerah ini. Lalu beberapa sambutan dari pejabat-pejabat setempat, dilanjutkan dengan acara hiburannya. Musik Kulintang mulai beraksi dengan segala kemahirannya.
Lalu acara permainan berhadiah. Permainan lucu yang beraku untuk segala umur. Lomba lagu-lagu dari dari para hadirin, perebutan kursi, pemberian motto pada surat kabar Karya dan lain-lain permainan. Penduduk di sekitar gedung ini semua mendekat, sehingga gedung menjadi penuh. Mereka heran apa gerangan yang membuat ketawa demikian hebat, ingin juga mereka tertawa. Aku tidak menduga begitu besar perhatian masyarakat kepada malam perkenalan ini.
Permainan sederhana saja tapi membuat orang gelak tertawa. Misalnya perebutan kursi, sungguh menyenangkan dan lucu. Kursi diatur 11 buah, pesertanya boleh campur wanita dan pria berjumlah 11orang. Semua peserta duduk di kursi. Mulai musik bernyanyi. Peserta-pesertanya berdiri mengelilingi kursi seirama dengan musiknya. Diwaktu mereka itu berdiri, kursi dikurangi sebuah, jadi orang tetap 11 orang, kursinya 10 buah. Kalau mereka nanti duduk pasti salah seorang tidak akan mendapat tempat. Begitu musik berhenti mereka harus cepat-cepat mencari tempat duduk, sedang yang tidak mendapat harus mengundurkan diri.
Begitulah seterusnya sampai sisa 1 kursi diperebutkan dua orang. Siapa yang mendapat kursi terakhir itulah pemenangnya. Sangat lucu dan ramai sukar kugambarkan. Belum lagi dengan lomba menyanyi. Pesertanya hebat-hebat, kalah bintang-bintang radio, dan jurinyapun istimewa !
Juara digondol oleh Kepala Penjara Ternate. Selesai semua pertandingan, mulai pembagian hadiah, dengan syarat hadiah-hadiahnya dibuka ditempat.
Selama pembagian hadiah, tertawa tidak henti-hentinya. Penonton masih saja mengikuti, apakah gerangan hadiah-hadiah itu. Yang pertama mulai membuka hadiahnya, ialah Bapak Kepala Penjara. Hadiah itu beliau terima dari Komandan Kodim Maluku Utara. Semua mata tertuju pada  beliau. Apakah gerangan hadiah itu ? hati-hati sekali kertas pembungkus dilepas satu-satu. Kenapa, sudah sekian pembungkus dilepas, belum juga nampak barangnya.
Para penonton heran sambil tertawa, karena Bapak Kepala Penjara menggerak-gerikkan mukanya secara menggelikan. Terus, terus ! belum juga terlihat, sampai pembungkusnya menjadi kecil sekali. Tinggal pembungkus terakhir, yang dengan hati-hati sekali  dibukanya. Begitu terlihat bendanya, tawa lepas sehebat-hebatnya! Isinya adalah sisir kutu, dot haji dan benda-benda lain yang menggelikan. Orang heran, bilamana bapakk Kodim sempat mencari benda itu ? bisa-bisanya pula berpikir untuk mendapatkan benda itu! Maka selesailah acara malam perkenalan yang sangat meriah itu. Perut dikocok terus dari awal sampai akhir. Rasa-rasanya tidak ingin bubar, tapi malam telah larut, jarum jam pun berputar terus, acara harus diakhiri pula !
Perkenalan sudah dilakukan. Sekarang harus membuktikan hasil  kerjanya. Penerbitan pertama kutetapkan tanggal 1 Desember 1961. Begitu selesai ramai-ramai, terus bekerja untuk persiapan penerbitan. Aku hanya berdua Hamid sebagai tenaga inti dan beberapa orang pembantu sukarela.
Aku tidak menyanggupkan honorarium, tapi kalau ada uang tentu kuberikan. Mengapa aku tidak menyanggupi ? aku tidak mau janjiku meleset ! Kalau nantinya tidak dapat memberi honorarium, mereka tidak mau bekerja lagi. Tujuan surat kabar ini tidak mencari uang, melainkan sekedar mengisi kekurangan di daerah perjuangan dimana masyarakat juga mempunai peranan penting. Sedangkan di daerah ini sukar mendapat uang dari langganan. Lebih baik aku mengatakan pahitnya dahulu daripada janji-janji muluk. Jika mula-mula menggambarkan yang bagus-bagus, tapi kenyataannya buruk. Ini akan mengecewakan  dan mereka akan selalu menuntut.
Aku mau lari dari sulit ke senang, tidak sebaliknya. Aku sudah siap dengan  kesulitan. Kantorku di Ternate. Percetakan di Sorasiu. Kalau seluruhny di Soasiu lebih sukar lagi! Disamping soal kantor, hubungan lalu-lintas Soasiu lebih sulit. Jadi lebih tepat kiranya kalau kantor pusatnya berada di Ternate.
Sebenarnya Soasiu – Ternate tidak seberapa jauh. Ditempuh dengan perahu motor, hanya 2 jam. Tapi karena hubungan sukar sekali, maka seolah-olah terpisah jauh sekali. Perahu motor antara Soasiu dan Ternate tidak teratur adanya, hanya kalau kebetulan ada pejabat-pejabat yang perlu berpergian.
Dalam dua hari ini aku menunggu perahu bermotr, tapi sia-sia. Aku agak gelisah. Tanggal 1 Desember sudah dekat, kurang beberapa hari saja! dengan sabar aku menunggu bergantian dengan Hamid untuk pulang makan. Sekarang sudah tanggal dua puluh tujuh. Kuharap motor hari ini tiba, kalau tidak, entah macam apa dan dari mana aku dapat perahu motor kesana?
Tepat juga, jam 4 sore ada motor yang kebetulan membawa romongan Gubernur berangkat ke Jakarta. Biasanya motor berlabuh di jembatan kecil, tapi kali ini di jembatan besar. Aku berlari-lari dengan Hamid ke jembatan besar!
Repot juga berlari sambil membawa kertas, sekedar cukup untuk penerbitan pertama kali kurang lebih 50 kg. Sesampai di jembatan besar, perahu motor sudah mulai renggang. Lekas-lekas Hamid kusuruh meloncat dan barang-barangnya akan kulemparkan. Hanya tas yang sempat kulempar, perahu motor sudah jauh. Aku berteriak, kiranya kemudi mau merapatkan perahu itu, tapi ia tak menghiraukannya. Aku tak lagi dapat berbuat apa-apa. Hanya kuharap dapat memberitahukan kepada juru motor supaya mereka sudi kembali ke jembatan. Tapi mereka harus meluncur. Hatiku geram, karena seharian aku menanti, akhirnya ketinggalan, lalu bagaimana dengan kertas? Mungkinkah mencetak tanpa kertas?
Aku tak mau dikuasai oleh kekecewaan. Perasaan kurenggut untuk menyadari, bahwa apa yang  terjadi, tak perlu dirusuhkan. Usahakanlah dengan apa yang mungkin. Perahu hilir-mudik di sekitar jembatan. Kupanggil salah satu untuk kumintai tolong menyusul motor, yang sedang singgah di kapal besar. Bapak perahu itu mau juga, kertas kubawa dengan hati-hati sekali supaya tidak sampai basah. Mudah-mudahan motor itu tidak berangkat dulu. Perahu yang kunaiki baru sepao jalan, motor telah berangkat lag. Alangkah kesal hatiku. Baiklah pak, kembali saja. sambil menuju ke jembatan, aku bertanya dapatkah perahu ini dipakai ke Soasiu. Aku beruntung juga, perahu ini justeru tujuannya ke Soasiu. Bukan Soasiu yang kutuju, melainkan pulau Tidore, kampung Rum. Perjalanan 2 jam yang mendayung. Kampung Rum masih jauh letaknya dari Soasiu, ± 24 km. Kalau sudah sampai di Rum aku harus berusaha lagi menuju Soasiu sama sulitnya dari Soasiu ke Ternate. Hanya perahu ada pada waktu-waktu tertentu, yakni pada hari-hari pasar, du kali seminggu. Kesulitan itu tak kupedulikan. Pokoknya aku berangkat. Setengah delapan kami bertulak, setelah bapak perahu selesai memuat minyak tanah. Mudah-mudahan saja mendapat angin baik. Bulan sedang gelap. Hanya alun gelombang dan bunyi dayung menyanyikan lagu menrdu di sekelilingku.
Air mulai gemericik masuk ke dalam perahu. Begitu besar sayanggku pada kertas, sampai badab kubiarkan basah, atas kertas selamat.
Mungkin orang sudah tidur semua ?
Hampir jam 10.00 aku sampai. Gelap sekali, lampu-lampu tak kelihatan. Nampaknya seperti tidak ada kampung, karena gelapnya.
 “Kenapa, gelap sekali pak ? Apakah masih jauh kampungnya ?”
 “Tidak Nona, di sini sudah di kampungnya; orang di kampung sini kalau sudah tidur tidak mau lagi pasang lampu karena minyak tanah sangat mahal dan kadang-kadang malahan tidak ada. Mereka lebih baik tidak pakai lampu, supaya menghemat”.
 “Oh, begitu”.
Ada saja kesulitan rakyat. Kemana aku pergi, tidak pernah tidak ada kesulitan.
Bapak ini baik sekali. Aku dibantu mengangkatkan kertas. Diantar ke tempat Pos Polisi dan memang tepat kalau aku dibawa ke sini, sekalian aku melapor, dan mungkin mereka juga dapat menolong mencarikan tempat bermalam.
Bapak kuberi hadiah seberapa yang ada, sebab tasku sudah terbawa Hamid lebih dahulu. Untuk ada saku di akaikaku, dimana ada sisa uang yang dapat kubayarkan pada beliau. Kaau tidak, dari mana aku harus pinjam, lebih-lebih orang pengembara.
Pos Polisi juga gelap rupanya. Juga sedang menghemat. Polisinya dibangunkan oleh bapak perahu. Mereka tidur enak sekali; ya, gelap tiada lampu, untuk apa melek. Pantas sudah sangat sunyi kampung ini, padahal jam 10.00 malam di jakarta belum apa-apa. Mereka segera bangun, terus menyalakan lampu. Mereka tidak menduga siapa yang datang malam ini, dikira orang-orang biasa dari kampung sekitarnya.
Setelah lampu menyala, mereka kaget seolah-olah tidak percaya kalau yang datang, dulu pernah dikenalnya.
 “Lho, kak Lina ! betul kak Lina ?!
 “tidak salah, aku kak Lina”.
Mereka sangat heran, mengapa aku malam-malam berada di daerah ini. Mereka belum tahu kesulitan yang kualami sekarang.
Aku biasa memanggil mereka adik. Pergaulan yang mesra ini disebabkan oleh hatiku yang rindu keluarga, ketika aku berkeliling, dan mereka dalam keadaan sedih karena daerah tugasnya sangat sunyi. Disitulah aku bercakap-cakap sebagai seorang kakak para polisi-polisi muda itu.
Mereka bingung tampaknya apa yang harus mereka lakukan dengan kedatanganku mendadak begini, lebih-lebih di malam hari. Maka, kujelaskan mengapa malam ini aku ada di kampung itu, dan kutekankan mereka agar tidak perlu susah-susah. Aku tahu apa yang mereka bingungkan. Pertama mau tidur di mana?, kedua makan apa malam ini? Di kampung pada umumnya tempat tidur cukup untuk mereka sendiri. Tidak ada sistim kamar-kamaran. Pada jam ini orang sudah tidur. Mereka merasa segan untuk membangunkannya.
Cara makan di kampung ini tidak seperti di Jawa. Di tempat-tempat yang agak ramai selalu ada berjualan. Tapi lain halnya di sini. Mereka berjualan hanya dua kali satu minggu. Kalau ada tamu datang mendadak, berarti tidak ada makanan apa-apa. Aku sudah tahu keadaan ini. Maka kupesan pada adik-adik itu supaya tidak bingung. Tidak perlu mereka mencarikan apa-apa bagiku.
Bapak perahu ingin menawarkan rumahnya untuk penginapanku. Sayang, bapak itu tidak mempunyai apa-apa untuk menolongnya. Akupun tak mengharapkan lagi sesuatu dari bapak perahu, karena cukup besar bantuannya. Aku sudah sampai dengan selamat. Baru, setelah jelas aku diterima di pos, bapak perahu minta diri untuk pulang. Tidurpun aku bersedia di pos, karena hanya beberapa jam saja, hari sudah pagi.
Pakaianku terbawa oleh Hamid, yang kupakai adalah satu-satunya yang ada. Biarlah, besok akan kering juga kena angin, kedinginan sedikit tidak apalah. Kukatakan kepada adik-adik, bahwa aku bisa tidur di pos danxsoal makanan mereka tidak perlu mencarinya, karena [pasti tidak akan dapat, meski perutku sebenarnya lapar.
Mereka berempat di pos. Salah seorang mengalah dan tidur bersama-sama kawannya. Tempat tidurnya dari bambu di atas tikar, tapi sebagian memakai alas kain putih.
Walaupun tidak ada, mereka berusaha membuatkan sesuatu yang lebih baik untukku. Tempat tidurnya diatur rapi, alas tikarnya diganti alas kain putih  yang mereka pakai. Bantalnya ditutup dengan kelambu, maklumlah kotor dan anak bujang biasanya segan mencuci. Padahal badanku juga kotor, lebih-lebih pakaianku basah kena air laut. tidak perlu dibersihkan, akupun sehari tidak mandi. Entah macam apa rupaku.
                                                                                    Sejenak sebelum tidur, tentu mereka ingin juga mendengar kabar-kabar di Jawa. Kebetulan ada juga yang dari Bali. Sayang aku tidak ke Bali sehingga tidak dapat membayangkannya. Tentu  beritanya semua baik. Di Jawa belum ada perubahan apa-apa. Yang ramai tetap ramai, yang sunyi tetap sunyi. Sayang aku tidak kenal pacar salah seorang di antara mereka mereka. Andai kata kenal, akan lebih mengasyikkan lagi, kalau aku menceritakan keadaan pacarnya. Semalam tidak tidurpun oke saja barangkali. Tapi belum tentu juga. Siapa tahu mereka di sini sudah punya pacar. Aku mencba-coba memancing mereka.
 “Kakak lihat, adik-adik sekarang sudah lain juga. Waktu baru datang tidak kerasan, ingat orang tua, pacar, dan sebagainya. Tapi sekarang sudah berseri-seri, bahkan pulangpun tidak ingin lagi.”
 “Ah tidak, kak. Kalau saya tetap saja, tapi si Ricky yang sudah punya, dekat rumahnya. Dialah yang lupa pulang.”
 “Nah, apa yang kaka katakan. Jangan dulu bilang tidak kerasan, karena belum melihat nona-nonanya. Kalau sudah melihat, nah itu dia, akhirnya lupa pulang,bukan? Syukur kakak juga senang mendengar berita yang menyenangkan, berarti adik-adik adik-adik ada kemajuan yang pesat di daerah ini.
Mereka tertawa semua, dan si Ricky agak malu-malu tampaknya. Nama ini sebenarnya bukan nama aslinya. Ia dapat julukan Ricky, karena rupanya mirip dengan penyanyi Ricky Nelson.
Sekedar senang bertemu dengan mereka, ngobrol sejenak sebelum tidur. Dan karena tidak punya oleh-oleh, jadi oleh-olehnya adalah tertawa.
Mataku sudah ngantuk. Sebaiknya tidur sajalah. Karena aku tidur di pos, lampu tidak lagi dipdamkan, tetap menyala. Pikiranku melayang ke esok hari, dengan kendaraan apa ke Soasiu.
24 km. Cukup jauh. Andaikata tanpa mendaki, 24 km. Bagiku biasa, jalan kaki, jadilah. Tapi, besok adalah besok, tak perlu malam-malam dipikir. Hanya mengganggu tidur saja. pokoknya tidur sampai pagi, titik.
Jam 06.00 pagi, aku bangun. Cuci muka, bersiap-siap untuk berangkat. Hanya belum tahu dengan apa. Jalan kaki ? Adik Ricky berusaha meminjam sepeda dari orang kampung tapi semuanya sedang dipakai. Kalau sepeda memang tidak ada, mau apa lagi kecuali jalan kaki. Tapi, siapa tahu adik-adik polisi lainnyapun berusaha mencari pinjaman sepeda. Ada sebuah, tapi bannya kempes. Pompa sepeda di sekitar kampung ini tidak ada, semua dibawa bersama sepedanya. Setelah diperiksa, ternyata kempesnya tidak seberapa, masih dapat dipakai. Kalau ada pompa di jalan, bisa dipompa. Memakai sepeda orang, tentu tidak dapat sendirian, harus berdua, karena harus ada yang membawa kembali sepedanya. Terpaksa lagi  salah seorang dari adik-adik tersebut menyediakan tenaganya untuk mengantarku ke Soaiu. Untung, aku masih ada uang Rp. 25,— sisa dari uang yang kuberikan pada bapak perahu. Rupanya sewa sepeda itu Rp. 25,— juga. Sekarang aku sama sekali tidak punya uang. Sekalipun ada uang, untuk apa. Makanan yang dijual tidak ada. Tanpa makan pagi atau minum teh kami berdua berangkat.
Jalannya mendaki-menurun. Badan rasanya letih sekali, karena bannya kempes. Aku kasihan melihat Ricky. Sebentar-sebentar aku turun dari boncengan sambil menggendong kertas. Kalau tidak berpikir bahwa karya harus terbit, tak perlu aku menyiksa adik Ricky hari ini dengan mengantar aku. Panas Matahari sangat teriknya, batu-batu tajam menggaganggu perjalanan. Ya ampun, bannya jadi kempes sama sekali, tidak dapat lagi aku membonceng.
Kampung masih jauh, sungguh menyedihkan. Tenggorokanku kering, perjalanan maih jauh.
 Sekarang begini Rick, biar kakak jalan. Ricky naik sepeda sendiri. Kertasnya diikat di belakang. Kalau ada kampung, carilah pompa dan teruslah, tidak usah tunggu kakak.”
 “Jadi kakak jalan sendiri ?”
 “Tidak apa. Kertas itu lebih penting dari kakak. Kalau sudah sampai di Soasiu serahkan pada percetakan. Di sana ada Hamid. Beri tahu, bahwa kak Lina sedang berjalan di belakang.”
Kasihan sekali aku melihat dia, belum makan pagi. Aku sendirian jalan kaki, tadinya ada yang kuajak ngobrol sekalipun jarang-jarang. Tapi sekarang sunyi sekali.
Aduh, panasnya luar biasa, panantas warna kulit penduduk Soasiu hitam-hitam. Kendaraan umum tidak ada. Mereka yang memiliki sepeda satu-dua saja. letak kampung-kampung berjauhan, labih-lebih di pegunungan.
Keadaan alam pulau Tidore bergunung, tanah berbatu, kering, debunya persis seperti tepung. Sepanjang jalan sunyi. Hanya terdengar deburan air laut. pohon-pohon kelapa berlambaian di sepanjang pantai, alang-alang sangat lebat. Aku melihat buah kelapa, keluar liuru. Sayang, buah kelapanya jauh di atas. Tinggallah meneguk liur saja.
Meskipun hanya 24 km, rasanya jauh sekali. Jam 12.30 aku sampai di percetakan, letihku jadi hilang. Apa yang tadi malam aku khawatirka tak tercapai, akhirnya tercapai juga, walaupun dengan susah payah. Sayang, aku tak dapat mengucapkan terimakasih pada dik Ricky, dia sudah menghilang. Tapi aku yakin akan bertemu lagi.
Hamid sudah mulai bekerja, tapi mukanya masam. Ada apa, tentu ada sesuatu...Apa yang salah ? Bukankah aku baru datang langsung ke percetakan ? keringatku masih mengalir, kaki lecet, perut lapar. Apa anggapan Hamid ? dikira aku enak-enak, dia yang kerja keras ?

...aduh panasnya, pantas warna kulit penduduk Soasiu hitam-hitam.

Kalau aku tak memikirkan kerja, tak perlu susah-susah aku berusaha, biarkan ketinggalan, toh bukan salahku. Karena aku mementingkan pekerjaan, segala jalan kutempuh asal dapat mencapai percetakan Soasiu. Akupun bahkan belum tahu, dimana aku tinggal. Aku pura-pura seolah-olah keadaan biasa saja, sekalipun Hamid tidak mau mendengarkan pembicaraanku. Yang penting ialah bekerja. Biarlah dia merengut, yang “Karya” terbit. Aku tidak mau mengganggu. Semua persoalan dibekukan dulu, cukup menjadi pemikiran untuk diselesaikan setelah “Karya” terbit.
Percetakan di Soasiu sebenarnya cukup kalau hanya menjalani satu Mingguan saja. intertypenya dua, lebih dari cukup. Harianpun dapat diterbitkan. Hanya mesin cetaknya sudah tua. Untuk terbit pada waktunya, terpaksa lembur.
Pekerjaan ini termasuk pekerjaan baru bagi mereka. Nampaknya ruwet. Mereka hampir tak bekerja sebelumnya. Kalaupun ada pekerjaan, tidak seperti di surat kabar, yang memastikan selesai tepat pada waktunya. Berbeda dengan pekerjaan lain-lainnya. Tidak selesai tepat pada wakyunya, boleh kapan-kapan saja. karena sudah keenakan menganggur, sukar mengubahnya. Biarlah, penerbitan pertama ini merupakan percobaan, untuk berikutnya mudah-mudahan mereka sudah biasa.
Sabtu malam jam 18.00, “Karya” keluar tepat pada waktunya, tanggal 1 Desember 1961. Malam ini juga pada nomor perkenalan yang kuedarkan sementara didalam kota. Esok harinya, Hamid menuju Ternate.
Sekarang waktunya aku minta penjelasan apa yang sebenarnya dipersoalkan Hamid. Kala memang aku salah, sepantasnya aku minta maaf dan memperbaikinya. Ternyata, Hamid mendongkol karena tak dapat tempat. Aneh, yang datang lebih dulu di Soasiu Hamid. Datangnyapun enak, naik perahu motor. Bagaimana aku dapat mencarikan tempat untuk Hamid, sedang aku masih terkatung-katung di atas perahu ?
Hamid menggerutu karena aku tidak mencarikan tempat. Astaga, tidakkah dia melihat aku datang dengan pakaian kotor, tidak makan, jalan kaki. Di Ternate aku dapat tempat tinggal, karena pada waktu aku keliling Indonesia banyak yang bersimpati padaku, sehingga sekarang tak ada kesulitan. Lain halnya di Soasiu, tidak ada yang lebih baik kecuali tinggal dalam kemah. Aku belum ada tempat tinggal yang tetap, masih harus berusaha. Gubernur bersedia memberi tempat untuk kantor, sekaligus untuk tempat tinggal. Tapi beum kuurus, karena waktunya belum ada.
Sungguh aku tidak mengira, bahwa hanya itu saja persoalannya. Kalau itu yang menjadi kemasgulannya, baiklah aku minta maaf. Suatu pengalaman untukku, dan tak kuharapkan terulang lagi.
Maka berangkatlah Hamid. Aku  tinggal untuk menyelesaikan pekerjaan di Soasiu, dan menyusun organisasi supaya lebih sempurna. Mengatur pembagian kerja yang sebaik-baiknya untuk kelancaran penerbitan selanjutnya.
Sekali hidup tetap hidup. “Karya” harus terbit terus, apapun yang akan terjadi.........
Gubernur belum ada di Soasiu. Beliau sibuk dengan persiapan-persiapannya. Sebagai Gubernur baru, tentu banyak persoalan yang harus diselesaika, lebih-lebih Propinsinya adalah khusus sifatnya. Tempat tinggal beliau juga belum ada. Sementara jadi satu dengan keluarga Gubernur lama, mendapat satu ruangan. Sungguh sederhana hidup seorang Gubernur Propinsi Irian Barat perjuangan. Makan secara rantangan. Kendaraan Jeep sudah tua. Barangkali satu-satunya Gubernur di Indonesia dari Angkatan Laut. di angkatan Laut organisasinya baik, tapi bagaimana dengan Propinsi ini ? belum dihadapkan saat-saat yang rumit sekali, baik dalam bidang materiil maupun personil.
Keadaan Propinsi ini sebenarnya sudah krisis. Hanya nama saja yang ada. Dari pegawai paling bawah sampai paling atas, tidak ada semangat kerja. Betapa sukarnya pekerjaan pak Gubernur baru. Lebih-lebih beliau biasa dengan orang-orang sipil. Mereka lain dengan orang-orang militer.
Jawatan-jawatan sunyi. Biasanya Kepala Jawatannya tidak di tempat. Kalau di daerah lain orang sibuk memikirkan Irian Barat, tetapi di Soasiu mereka memikirkan tetek bengek.
Mingguanku dimaksudkan sebagai alat di daerah ini untuk menggembleng semangat rakyat menghadapi masalah Irian Barat. Berangsur-angsur, organisasi surat kabarku menjadi baik. Hamid tetap di Ternate, tidak perlu lagi ke Soasiu. Semua pekerjaan di sekitar Ternate diselesaika Hamid. Pekerjaan di Soasiu kuserahkan kepada Idris Yusuf. Redaksi tidak lagi diselenggarakan oleh Hamid sendiri, tapi ditambah. Semua berita-berita dikirim ke Soasiu oleh Idris dan setelah digabung dengan berita-berita yang ada di Soasiu, lalu diteruskan ke percetakan.
Pembantu-pembantu “Karya” sudah lengkap, ada kolektor, dan lain-lainnya. Di samping Idris, ada anggota yang ulet, Saleh namanya. Pemimpin Umum dan Penanggung Jawab kupegang sendiri, mengingat perlunya gerak bebas, yang tidak dapat dipegang oleh orang lain. Hidup surat kabarku lain dengan surat kabar di Ibu kota. Pemimpin umum di Soasiu sebenarnya bukan pemimpin umum dalam arti biasa, tapi merangkap menjadi loper, kuli, dan sebagainya.
Semuanya bekerja tanpa bayaran. Kutanamkan pada mereka semangat pengabdian. Kita bukan saja mengatakan bersedia mengangkat senjata menyerbu Irian Barat, tapi harus bersedia berjuang sebelumnya, walaupun tidak sampai memanggul senjata. Banyak jalan untuk berjuang. Di lapangan pers, ekonomi, dan lain-lainnya. Kesediaan membantu menghidangkan kelanjutan surat kabar didaerah ini sama artinya dengan sedikit-dikitnya ikut berjuang. Sekalipun sudah ikut berjuang, jangan menganggap diri pejuang. Sewajarnya kita menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk kepentingan Negara, sesuai dengan kemampuan kita. Aku melihat loper di Jakarta bangga-bangga, tapi di sini bekerja sebagai loper malu. Kuberi contoh bahwa aku tidak malu melakukan itu. Repot juga bagiku. Di Soasiu tidak ada nama jalan dan nomor rumah. Surat kabar kuantar pada orang kira-kira mau berlangganan. Tiap-tiap kampung mendapat bagian, sesuai dengan jumlah penduduknya yang dapat membaca. Dibagikan dulu kepada tiap-tiap kepala kampung, kemudian mereka yang membagi kepada penduduk. Jangan ditanya apakah mereka menjadi langganan, pasti tidak mau. Yang penting penduduk membaca. Tiap-tiap kecamatan juga dikirimi, tentu tidak sebanyak jumlah penduduknya. Cukup dibagikan pada kepala-kepala kampung di sekitarnya, supaya mereka tahu apa berita-berita mengenai tanah airnya. Jangan sampai mereka buta berita sama  sekali.
“Mingguan “Karya” isinya lebih kurang sama dengan Berita Minggu. Cerita pendek, Gambang Jakarta a la daerah, ruang pendidikan, kesehatan, empat hari sebelum terbit semua naskah tersebut harus masuk. Hanya kolom I yang harus hangat. Berita-beritanya tidak terlambat.
Mula-mula segala sesuatu kupandang sebagai soal-soal yang masih baru yang semuanya dapat dimaafkan. Ternyata semakin lama semakin merosot. Hal ini tentu disebabkan, karena ada yang tidak beres. Aku mohon bantuan dari Wakil Kepala Percetakan untuk mengawasi pegawainya, sebab aku tidak berhak menegur langsung. Kepala percetakannya belum datang. Karena aku belum mengenalnya, maka aku mengharap sekali kedatangannya, supaya bisa tahu cara bekerja baik. Lembur berarti pengeluaran uang extra, padahal pemasukan tidak ada. Berat rasanya, kalau mereka dalam satu minggu masih harus lembur. Pekerjaan lain hampir tidak ada. Hanya mingguan “Karya”. Terlalulah untuk satu mingguan saja tidak cukup waktu. Aku tahu mereka ingin uang, tapi tidak pada tempatnya mereka mencari uang pada penerbitan ini, kecuali kalau mereka tidak digaji.
Apakah anggapan mereka kami pedagang, yang disamping  membayar harga cetak terus memberi sogokan pula. Kalau tidak ada tambahan uang, mereka tak mau menyelesaikan pekerjaannya. Bukankah pekerjaan ini pekerjaan rutin , seharusnya mereka berterima kasih dengan adanya surat kabar, untuk menambah pengalaman dan sebagai latihan menggunakan intertyp, supaya lebih lancar. Mereka tidak betah duduk di depan mesin intertyp, sebentar-sebentar menghilang, entah ke mana.
Ciri-ciri ini sudah umum. Yang satu datang, yang lain pergi, sehingga pekerjaannya menjadi terbengkalai.
Cobalah bayangkan, datang ke kantor terlambat, pemanasan mesin untuk mencairkan timah ± 2 jam, paling cepat jam 10.00 baru mulai bekerja. Belum lagi izin ke luar kota, yang sudah pasti satu minggu dua kali.  Izin ke pasar. Soasiu pasarnya dibuka hanya dua kali seminggu. Dan sudah menjadi kebiasaan hampir seluruh pegawai untuk meninggalkan pekerjaannya, berbelanja ke pasar. Jika ditambah dengan hari Jum’at ke Mesjid, maka habislah waktunya. Terpaksa mereka harus lembur, supaya tidak lambat dan berita-berita tidak basi.
Ayolah, apa boleh buat. Lemburlah, entah dari mana aku berusaha mendapatkan uang. Aku hampir tidak pernah di rumah; umurku bisa habis dalam percetakan dan Idris juga bekerja di kantor, maklum kita-kita ini orang swasta. Sementara bekerja, akupun mondar-mandir. Diamping selalu ada kesulitan-kesulitan kerja, aku tinggal di rumah orang. Terlalu segan, bahwa aku sering seharian tidak di rumah. Lebih-lebih kalau lembur sampai jauh malam.
Pak Gubernur menawarkan ruangan di rumah beliau, mungkin sudah selesai. Aku tidak mau. Apa kata orang kalau aku menempati sebagian rumah beliau. Tentu tidak baik. Biarlah aku berusaha rumah lain. Sistim indekos tidak lazim di  daerah ini. Maka sukar bagiku, walaupun yang punya rumah tidak mengharapkan apa-apa dariku. Aku tidak biasa terlalu menyusahkan orang. Lain dengan di Ternate dimana ibu yang kutempati mengerti keadaanku. Jam berapapun aku pulang, beliau mengetahui apa pekerjaanku. Kadang-kadang jam dua tengah malam aku datang dari Soasiu aku naik perahu, karena cintaku pada suratkabar dan para pembaca. Kalau terbitnya terlambat karena kesukaran lembur, sehingga pada hari Sabtu tidak dapat mengirim Karya dengan motorboot, maka terpaksa aku berperahu malam hari mengantarkan ke Ternate. Malam beginipun ibuku tetap membukakan pintu dengan senang hati.
Beliau tahu aku belum makan. Maka beliaupun menyediakan makan. Tempat tidur putih-bersih. Setiap waktu siap tersedia. Selesai makan, aku disuruh istirahat. Sungguh aku merasa kasih sayang orang tua, sehingga hilanglah semua kekesalan hatiku pelan-pelan, diharapkan betul-betul supaya aku istirahat. Pagi-pagi sudah tersedia nasi. Kripik pisang yang merupakan kegemaranku tak lupa disediakan. Ibu takut sekali kalau aku tidak makan. Semuanya disiapkan serapi-rapinya. Kalau berangkat pakaian bersih semua, persiapan cukup untuk satu minggu. Di Soasiu tidak ada tukang cuci, mencuci sendiri tidak ada waktu. Pakaian-pakaian kotor kubawa pulang saja.
Kukira di Ternate pekerjaan sudah lancar, setidak-tidaknya pengiriman ke luar tidak ada yang tertunda. Hamid bekerja khusus di Ternate, namun distribusinya tidak bers, padahal bukan mereka sendiri yang bekerja. Di Ternate lumayan ada loper yang mengerti dan aktif, tapi mereka tidak bisa dilepas sendiri, harus dikontrol.
Tidak di Ternate, tidak di Soasiu, sama saja. kalau badanku bisa dibelah, separo di Ternate separo di Soasiu......................
Dengan tidak jemu-jemunya Hamid kuberi penjelasan. Terkenang aku ada sebuah cerita film yang dimainkan oleh Glen Ford. Tak ubahnya dengan yang kulakukan sekarang, betapa sibuk pekerjaan orang surat kabar. Glen Ford hanya bekerja dengan isterinya, dibantu oleh beberapa orang saja. segala-galanya dikerjakan sendiri. Karena sibuknya, sampai tidak ada waktu untuk isterinya. Tak jemu-jemunya isterinya mendampingi suaminya. Susah payah yang mereka lakukan tidak sia-sia. Akhirnya mereka mencapai sukses. Ketika suaminya meninggal dunia, isterinya melanjutkan pekerjaan. Tidak seperti di masa lampau, tetapi sudah tinggal duduk di belakang meja saja, karena surat kabarnya sudah terkenal.
Begitu pula harapanku pada Hamid. Janganlah hendaknya malu mengerjakan apa saja, asal tidak mencuri. Kalau perlu kita harus jadi loper sendiri. Aku mengerti bagaimana rasanya seorang lelaki yang dinilai oleh seorang nona.
Sebutan nona untuk wanita sudah merupakan panggilan yang lazim di Maluku. Hamid cukup tampan, dan termasuk pemuda yang terkenal di kotanya. Tak kurang desas-desus bahwa Hamid Herlinalah yang punya. Aku hanya ada hubungan kerja, lain tidak. Aku tahu “Nona”-nya Hamid agak marah, tapi ia segan padaku, karena tidak ada bukti-bukti yang dapat dilancarkan padaku.
Aku tidak menghiraukan desas-desus itu. Aku tidak hanya sendiri di daerah ini, akhirnya akan terbukti apakah desas-desus itu benar ata tidak. Kerja, kerja, masyarakat sedang memperhatikan kamu, itulah kata hatiku. Semua sedang mengujimu. Ini belum apa-apa, masih banyak lagi yang akan kamu alami dan ebih besar lagi dari pada ini. Tabahkan hatimu, pandanglah segala sesuatu dengan teliti, jangan takut melangkah kalau memang benar. Kelak masyarakat akan mengakui kebenaranmu. Cacimaki adalah dorongan bagimu untuk lebih berhati-hati dan teliti. Hati kecilku selalu membisikkan kata-kata itu.
Aku kembali lagi ke Soasiu, untuk perjuangan penaku selanjutnya. Disamping aku sibuk dengan “Karya”, aku ingin menghidupkan kembali suasana yang mati. Kubentuk team Darmawisata, supaya ada hiburan. Satu bulan sekali cukup, untuk mengadakan piknik bersama. Team tersebut mengurus pelaksanaannya dan menentukan mana yang dituju. Pengikut diminta membayar uang Rp.15,—. Segala sesuatu  disediakan oleh penyelenggara, makannya, pengangkutan kalau kebetulan yang dituju adalah pulau lain.
Perjalannya kami lengkapi dengan band, permainan, misalnya catur, halma, briedge, domino, dan lain-lain. Tujuannya ialah untuk mempererat hubungan antara pejabat-pejabat setempat, dan mencari suasana yang lain sambil mengunjungi rakyat. Penduduk yang kebetulan ada di sekitarnya, akan senang sekali melihat kedatangan tamu-tamu. Dan secara tidak langsung kami juga menghibur rakyat. Rakyat di peloksok-pelosok kalau tidak secara kebetulan, barangkali tidak pernah mendengar musik seumur hidupnya.
Rencana ini akan dilaksanakan. Kebetulan sekali pak Gubernur sudah di tempat, dan aku juga sudah mendapat tempat tinggal. Pak Gubernur menulis surat kepada keluarga Kepala Jawatan P.U. 9Bapak Suratin)agar ia dapat menoong supaya mau memberi ruangan padaku. Pak Gubernur tidak ragu-ragu melindungi aku.
Mula-mula keluarga itu ragu-ragu menerima aku. Setelah pak Gubernur menjelaskannya semua, maka beliau dengan tangan terbuka menerima aku tinggal di rumahnya. Pak Gubernur sambil  melucu mengatakan pada apak Suratin tentangku. Siapa benci sama Herlina, sebenarnya ia iri, kata beliau. Kalau laki-laki dia mau Herlina, tapi Herlina tidak mau. Memang terlalu orang-orang itu, apakah tidak tahu, Herlina kerjanya tidak kenal waktu. Kadang-kadang lupa mandi dan makan. Saya melindungi Herlina bukan karena saya mau Herlina, sama sekali tidak. Saya melihat anak itu hidup sendiri di daerah orang lain. Andaikata anak saya bagaimana? Semestinya saya melindungi dia, karena ia tinggal di daerah saya dan lagi Herlina masih anak-anak. Nah, wanita yang ngiri sama Herlina, sesungguhnya ia memang mengiri saja.......................
Begitulah pembicaraan pak Gubernur dengan keluarga bapak Suratin. Aku senang sekali tinggal di rumah beliau kebetulan beliau mempunyai putri sebaya denganku, biasa kupanggil dik Tati. Rumahku cukup jauh dari percetakan. Kira-kira 5 km., di kota yang dibangun baru Goto namanya.
Kalau kebetulan ada Jeep lewat, aku membonceng. Sistim membonceng di sinipun sudah lazim, tidang pandang kendaraan siap selalu bersedia diboncengi. Maklumlah rumah-rumah mereka jauh dari kota. Apalagi kalau siang hari, aduh, bukan main panasnya.
Dalam piknik pertama, bapak Gubernur menjadi peserta kehormatan dalam rombongan. Ini kali tidak keluar pulau. Sport berjalan  kaki ke kampung yang ada pemandangan indah. Sekali-sekali gerak jalan hari Minggu, supaya jangan malas, biar bangkit lagi semangatnya. Irian Barat masih menunggu, tidak boleh kehilangan semangat karena sunyi. Sunyi bisa dibuat ramai asal mau.
Sejenak aku menikmati suasana yang menyenangkan, hatiku gembira melihat beliau-beliau segar menikmati keindahan alam, lupa rasanya kalau waktu beredar terus. Makan sederhana menjadi enak, rujak tidak ketinggalan melengkapi kemeriahan piknik hari ini. Pulang dari piknik masih sempat istirahat sore hari. Mudah-mudahan darmawisata ini berjalan dengan baik untuk selanjutnya, meskipun aku tidak ada.
Kembali pikiranku ke surat kabar. Kapan penerbitan ini lancar ? Sudah sampai nomor ke 6 masih juga belum baik. Dengan hati kesal aku terpaksa memberi penjelasan kepada mereka yang ada sangkut-pautnya dengan penerbitan. Kutandaskan pada mereka, bahwa apa yang mereka kerjakan bukan berarti mengabdi kepadaku, tapi mengabdi kepada perjuangan Irian Barat melalui penerbitan. Janganlah bekerja hanya mencari uang, asal menerima gaji tiap bulan, tapi sertailah tanggung jawab. Bukan hanya memburuh semata.
Kita tidak  lagi di zaman penjajah, bekerja untuk penjajah. Kita sudah merdeka, bekerja untuk mengisi kemerdekaan. Sekalipun pekerjaan itu tidak berarti nampaknya. Seolah-olah memang tidak mempengaruhi karena pekerjaannya nampak remeh, tapi mereka tidak sadar bahwa Indonesia tidak menghendaki yang bukan-bukan dari mereka. Memang, benih-benih kemalasan semacam ini harus diberantas. Yang biasa nganggur harus bekerja. Memang berat. Sebaliknya yang biasa bekerjaa disuruh nganggur tidak bisa.
Aku kalau di percetakan sampai malam, susah pulangnya. Gelap, jalan sendiri. Sepi, hanya bunyi jangkrik di sepanjang jalan.
Seorang wanita di Soasiu terlalu keras diteropong segala gerak geriknya, menjadi buah mulut. Sekalipun ada yang bersedia mengantar, lihat-lihat juga suasananya. Biarlah pulang seorang diri — tak mau aku menimbulkan heboh. Jam dua belas malam, aku pulang sendirian. Kelompok rumah-rumah yang satu berjauhan dari kelompok rumah yang lain. Lampu rata-rata sudah padam. Sekitar jalan masih hutan, alang-alangnya masih lebat. Sepi, tidak ada seorangpun yang lewat. Ada bunyi kresek-kresek, bulu tengkku berdiri. Rasa-rasanya ada yang ikut di belakangku. Jalanku menjadi berat seekali, rumahku belum nampak. Begitu sampai di rumah, lapanglah dadaku, rasa-rasanya aku baru hidup. Pulang malam merupakan satu siksaan. Tetapi demi kepentingan daerah perjuangan, biarlah.
Belanda semakin hebat propagandanya. Dewan Papua mulai dibentuk, bendera Papua dinaikkan berdampingan dengan bendera Belanda. Tak ketinggalan, daerah ini kugerakkan untuk berdemonstrasi menentang Dewan Papua dan penarikan bendera Papua. Dengan susah payah aku mengumpulkan rakyat penduduk di sini yang tak tertarik pada ini dan itu. Tempat tinggal mereka jauh-jauh. Irama daerahnya terlalu tenang, membuat malas melangkah.
Sekarang Soasiu diteropong oleh tetangganya. Dulu pertama kali dibentuk/disahkan sebagai Propinsi, terlalu keras berkokok. Setelah menjelang kematiannya, tetangganya senyum mengejek. Makin hebat suara Belanda, makin ngotot sikap Indonesia. 17-8-1961 adalah titik langkah yang tak bisa ditawar lagi. Sebelum ayam berkokok tahun 1963, Irian Barat harus kembali ke wilayah kekuasaan kita.
Soasiu sibuk menerima tamu-tamu kunjungan Menteri Leimena/Jendral Djatikusumo dan sebagainya. Aku percaya bahwa beliau-beliau itu tidak ingin diterima dengan sambutan luar biasa. Kami sesuaikan dengan keadaan daerah. Penghormatan kami bukan terletak pada meriahnya tapi kesungguhan dan ketulusan hati. Sederhana tapi meresap. Upacara adat yang mengada-ada, harus dikurangi bukan berarti tidak menghormati. Kami membuat bendera merah-putih kecil-kecil. Tintanya tidak merah, setengah oranye, karena tinta merahnya tidak ada.
Tak banyak rakyat di kampung yang datang mengunjungi rapat umum, paling-paling para pegawai, anak-anak sekolah, Angkatan Kepolisian. Mengerahkan ibu-ibu pun susah. Kalau ada seorang ibu ditunjuk sebagai ketua panitia, yang lain tidak mau datang. Semua mau jadi ketua. Mula-mula direncanakan tanpa ibu-ibu, tapi karena bapak Leimena disertai ibu, mau tidak mau kaum ibu Soasiu harus menjemput.
Rapat umum dibuka. Dan mulailah memberi amanatnya. Pada waktu bapak Menteri Leimena menanyakan pada rakyat yang hadir apa yang kurang di daerah ini, dengan suara lantang menjawab, lebih-lebih anak sekolah, tak ada rasa ragu-ragu dan takut. Mungkin mereka mengerti bahwa pada beliaulah keluhan itu dapat disampaikan. Sekarang kesempatan itu terbuka, menjawab pertanyaan yang sudah lama terpendam dalam bahasa rakyat.
“Tekstil pak, beras pak, minyak tanah pak, gula pak”.
Bapak Leimena menjawab dengan ramahnya, bahwa semua itu akan diperhatikan. Rakyat selalu percaya, tidakpernah menuntut, selalu menunggu dengan sabar. Dari atas sudah dikeluarkan, tapi setelah ke bawah tidak tahu kemana larinya.
 Acara selesailah, semangat Irian Barat berkobar di dada kami, setiap saat siap melaksanakan panggil/an Ibu Pertiwi. Tamu-tamu pulang, disambut hujan lebat dan angin ribut. Yang mengantar tidak dapat terus sampai di jempatan. Sejenak aku berbicara dengan Jendral Djatikusumo. Apa beliau katakan ?
“Apa yang menarik di Soasiu ini sebenarnya, sampai dipilihnya menjadi Propinsi perjuangan. Tak ada nona-nona cantik, pulaunya terpencil.”
Aku rasa beliau hanya berkelakar mengenai nona cantik. Karena kalau nona cantik saja tidak kurang di Soasiu. Tak perlu kujawab, sebab beliau lebih tahu daripada aku, mengapa daerah ini yang dijadikan Propinsi perjuangan. Setelah tamu pulang, kembali Soasiu seperti biasa.
Biarlah Soasiu sunyi, asal surat kabarku tetap ramai. Ya, sekarang makin hebat berita-beritanya. Perang urat syaraf terus dengan Belanda. Sedapat mungkin bukan hanya surat kabarku yang ramai. Soasiu juga perlu hiburan. Aku tak akan mundur karena desas-desus fitnah mana yang kuat mereka atau aku. Darmawisata mereka tentang, karena sifatnya yang bersenang-senang. Habis, mau apa ? Apakah salah hari Minggu diisi dengan senang-senang ? Apakah lebih baik bermenung mengeluh sunyi, bosan tidak ada hiburan apa-apa ?
Kucoba untuk mengadakan hiburan yang bersifat seni. Di samping sebagai hiburan, juga mendorong mereka berlatih. Tidak perlu setiap minggu. Satu bulan sekali cukup untuk percobaan. Kuundang band-band dari Ternate main di Soasiu, bertepatan dengan penutupan kursus guru-guru. Meriah sekali. Band-band polisi Soasiu tak ketinggalan dengan demonstrasinya. Suatu hal yang membanggakan, bahwa Soasiu juga mempunyai band yang tak kalah dengan kota besar.
Ditentang lagi, katanya bertentangan dengan agama. Apanya yang bertentangan ? kalau dansa-dansi tidak bertentangan ? apa gunanya ada pemuda-pemuda ? Tidak untuk membekukan diri maksudnya mereka dipindahkan ke daerah ini, dan menyerah begitu saja kepada keadaan, tanpa inisiatif. Lama-lama mati otak kita. Gunanya ditempatkan di sini bukan disuruh menyesuaikan diri semata-mata. Bukan disuruh mengeluh; kalau masuk kandang embek, lalu jadi embek. Tapi mengembeklah, supaya kambing bisa jadi manusia.
Aku tidak peduli, ngomellah dibelakangku, kalau tidak mau menegurku secara langsung. Aku bekerja untuk daerah tidak untuk diriku. Malah diriku tak terurus. Kubagi tugas-tugasku sedemikian rupa, supaya semua beres. Perpustakaan belum kubuka. Gedung sudah dapat. Meja bilyar ada, tapi tidak dipakai, masih baru, ditaruh saja di gudang beras. Sungguh sayang sekali, bisa beli tidak bisa memelihara. Kuminta meja itu untuk melengkapi perpustakaan. Akan lebih terpelihara dan berguna kalau dipakai daripada ditumpuk-tumpuk bersama-sama beras. Harganya mahal, 750 ribu rupiah, ditumpuk-tumpuk percuma.
Kumaksudkan perpustakaan yang akan dibuka kulengkapi dengan kantin, permainan catur, halma, domino, tenis meja sekalian meja bilyar. Di depan gedung ada tempat yang luas terbuka dan pemandangannya strategis juga. Kuatur kursi-kursi di luar seperti di Jarta.
Semua diberi kentuan, untuk menjaga tata tertib yang baik. Ketuanya kuserahkan pada seorang puteri, anak pegawai Kesehatan Soasiu. Wakilnya seorang pria pegawai Propinsi, Saibi. Pemuda ini rajin, baik dan baik sekali, sopan. Pantas kalau Saibi membantu seorang puteri.
Buku-bukumulai disusun oleh mereka berdua, aku mengawasi saja sampai semua sudah rapi, tinggal hari pembukaannya. Sekedar selametan, makan bersama dengan para undangan.
Semalaman aku tidak tidur sampai pagi. Memasak ayam malam hari, maklum siangnya aku bekerja lain. “Karya” tetap meminta waktuku, tak dapat ditinggalkan. Waktu orang sudah tidur, aku berdua dengan Saibi memotong-motong daging ayam. Tanganku sampai teolen karena banyaknya.
Sedang aku asyikmemotongi ayam, datang Ajun Komisaris Polisi. Rupanya kaget, ada malam-malam ketak-ketok. Aku sudah kenal dia tapi sepintas saja, kalau tidak alah Moeslimin namanya. Beliau bertanya, ada apa malam-malam kok belum  tidur? Kujawab, sedang potong ayam untuk slametan besok. Sejenak beliau berdiri, terus pulang. Beres, tidak ada apa-apa seperti dugaannya semula.
Jam 11.00 siang. Tanggal 2 Pebuari 1962 Wisma Lina kubuka. Ketika itu bapak Gubernur sedang ke Jakarta. Para undangan kupersilahkan mencoba bilyar dan permainan lain, melihat buku-buku yang sebenarnya khusus untuk bacaan rakyat, tingkat SMA ke bawah. Tapi kalau orang-orang tua mau juga membacanya, tidak ada halangan, boleh saja. sejak hari pembukaan, perpustakaan terus “berjalan” setiap hari dari jam 09.00 – 15.00 dan 16.00 – 22.00. pada hari Minggu dan hari besar tutup. Lumayan juga, ada tempat untuk rekreasi.
Pada hari-hari tertentu, kuadakan acara yang meriah, otakku tak hentinya mencari apa-apa yang dapat kuselenggarakan di daerah ini. Tak mengenal lelah, kesana-kemari jalan kaki.
Saudara Moeslimin kasihan juga kepadaku. Ia menyediakan diri membantu mengantar, kalau ada waktunya yang terluang. Misalnya sesudah di luar jam kantor. Saudara Moeslimin ada kendaraan. Tentu aku berterima kasih dengan kesediaannya, tapi apa kata orang.............
Kalau aku terus memikirkan “kata orang”, mati aku. Biar, apa salahnya kalau aku diantar, dijemput. Saudara Moeslimin orang baik-baik.
Cukup kebal diriku sekarang terhadap suara-suara. Bersuaralah besar-besar. Yang penting pekerjaanku dan kenyataannya aku tidak berbuat kesalahan. Aku heran, kenapa kalau Herlina yang bergerak sedikit, heboh. Tapi kalau orang lain tidak apa-apa. Meluculah aku dengan bapak Suratin dan ibu.
 “Jadi orang seperti saya, beruntung, ibu.”
     “Untungnya ?”
“Coba kita perhatikan, ibu, gerak-gerik Presiden Soekarno selalu jadi buah pembicaraan. Andaikata orang biasa sama dengan apa yang dilakukan oleh Presiden, biasa tidak ada suara apa-apa. Jadi sekarang saja termasuk orang luar biasa, maka segala gerak-gerik saya orang ributkan. Kan hebat itu. Enak bukan?”
Semua jadi ketawa, aku juga heran siapa yang mau dengan aku. Sehari belum tentu pulang, biasanya sebagai seorang wanita tidak lupa berhiass. Hal itu tidak pernah aku lakukan sama sekali. Ibu Suratin kadang-kadang marah padaku. Tidak banyak yang beliau perintahkan padaku, kecuali ingatlah pulang makan, kesehatanku sangat diperhatikan. Dugaannya barangkali aku makan di luar. Di luar tidak ada restoran menjual makanan. Di rumah orang, aku tidak pernah singgah-singgah.
Kalau makan di rumah orang, hanya kalau krbrtulan mereka sedang makan. Dan ini jarang sekali terjadi. Ibu Suratin sanga khawatir dengan kesehatanku, karena hampir setiap hari aku lupa makan.
Aku tidak apa-apa terus dicemberuti .  hanya aku heran. Andaikata aku berkelakuan menyolok, lain daripada yang lain, memakai rok yang istimewa, merah-merah bibir, pantas kalau  itu dicemberuti. Ya Allah, raut mukaku sudah tidak keruan. Hanya muka pemberian Tuhan.
Pekerjaanku makin banyak. Walaupun bukan aku sendiri yang mengerjakan, tapi belum dapat dilepaskan sendiri. Mingguan “Karya”, perpustakaan, kegiatan-kegiatan lain yang setiap waktu membutuhkan pemikiran. Ke Ternate merupakan kewajiban rutin bagiku. Ke pulau-pulau di luar Soasiu mengambil bagian terbanyak waktuku. Adanya kesediaan Ajun Komisaris Moeslimin meringankan pekerjaanku. Pulang dari percetakan dijemput. Melihat ke perpustakaan diantar, harus naik Jeep pula sejauh 24 Km., tak keberatan juga mengantarnya.

Beberapa hari digossipkan Herlina dengan Moeslimin. Herlina bukan dewa. Andaikata aku senang dengan seseorang, bukankah itu hakku ? aku belum bersuami, bisa saja, andaikata ada yang sesuai. Tapi terang bukan Moeslimin, karena ia sudah berkeluarga, ada anak isteri yang dicintai.
Sekalipun terjadi saling cinta, aku tidak akan gila untuk minta kawin, sekalipun pihak laki-laki mau. Perbuatan demikian paling kutentang. Aku tidak mau menyakiti jenisku sendiri. Betapa pedihnya. Kebahagiaan yang mereka miliki sebelumnya, lalu direnggut orang lain. Alangkah kejamnya. Tidak ada yang lebih hebat daripada penderitaan seorang isteri yang diceraikan. Untung kalau tidak ada anak-anaknya. Seorang diri penderitaan itu tidak seberapa pedih. Tapi kalau anak-anaknya banyak, betapa sakitnya. Betapa kejamnya sebagai manusia sejenis sampai hati merebut ayah anak-anak mereka !!
Memang tidak semua isteri sakit hati karena diceraikan. Tapi kebanyakan demikian, karena wanita pada umumnya hanya mencintai satu laki-laki. Kadang-kadang pria ada seribu macam alasan, untuk mencari isteri lain. Aku tidak menerima alasan itu. Sedapat mungkin harus diusahakan melenyapkan kekurangan yang masih menjadi kebiasaan pada laki-laki.
Baru memandang segi luar sudah geger. Mereka tidak tahu apa sebenarnya hub dan bisa dibanggakanungan kami. Kami hanya bergaul baik satu sama lain. Saling menghargai, dan bantuan tenaga diberikan kepadaku mengingat keadaan di daerah ini sulit, lain daripada di Ibukota.
Aku tidak mau merusak kebahagiaan orang lain, andakata kami jatuh cinta. Kedatanganku di daerah ini bukan mencari pasangan, tapi untuk bekerja. Dan kasihan, kepada yang jauh kutinggalkan. Tiada artinya kalau aku hanya bbermain-main di daerah ini. Aku tidak perlu lagi mencari yang lain. Kepunyaanku cukup tampan, baik hati. Buktinya, dia mau menunggu dengan sabar dan penuh dengan pengertian menghadapi apa yang kulakukan.
Memang, orang kadang-kadang suka menyamaratakan. Katanya, gadis-gadis zaman sekarang tidak mau dengan anak-anak muda, karena kantongnya kosong. Maunya dengan bapak-bapak, lebih-lebih yang mempunyai pangkat dan uang. Yah, itu bagi yang tujuan kawinnya hanyalah uang dan pangkat, bukan orangnya; tapi tidak semuanya demikian.
Ada lagi pendapat yang menggelikan. Kalau dapat menggantikan isteri orang atau berhasil merebutnya, dialah wanita yang istimewa dan bisa dibanggakan. Sedapat mungkin kita menghindari hal-hal ini. Bukankah wanita menentang adanya poligami.
Bagaimana bisa, apabila kaum wanita sendiri tidak berusaha mengatasinya ? saingan dan iri hati merupakan benih dari kawin-cerai, karena sang wanita memberi kesempatan kepada laki-laki. Mudah-mudahan gadis-gadis kita bukan saingan ibu-ibu, supaya ibu-ibu percaya kepada anak-anak muda. Dan ibu-ibu juga diharapkan mendidik gadis-gadisnya hidup sederhana. Gara-gara ingin show, pakaian mentereng, tidak mau ketinggalan zaman, mengorbankan kemurniannya semata-mata untuk bersaing dengan sesama jenisnya. Sungguh sangat disayangkan. Inilah benih-benih penyelewengan yang akan mengakibatkan banyaknya penderitaan, demi bersenang-senang dan memuaskan diri sendiri. Wanita memegang peranan, dalam mengendalikan laki-laki supaya tidak menyalahgunakan jabatannya.
Suatu ujian berat di Indonesia di zaman sekarang. Generasi dan golongan yang sudah lebih dulu, ada pegangan. Generasi sekarang seolah-olah sedang kehilangan tongkat. Bebberapa gejala yang nampak menandakan, generasi sekarang mau hidup di alam Amerika, serba mewah. Indonesia belum semaju Amerika. Mulailah dulu dengan sederhana untuk menciptakan Indonesia menjadi Amerika, bahkan melebihinya.
Akibat mengada-ada, semua ingin menjadi milyuner, penyakit korupsi menjalar di segala pelosok Indonesia dari tingkat rendah sampai atas. Tidak gadisnya, tidak ibunya, semua ingin cantik, takut ditinggal si bapak mencari wanita lain. Bukannya aku tidak bangga kalau Indonesia banyak  penduduknya yang mewah. Bangga sekali. Tapi ingat siapa yang menikmati kemewahan itu dan darimana ?
Karena mengejar kenikmatan yang belum waktunya, maka Indonesia menderita. Lalu ada yang berteriak: mari kita hidup sederhana. Rakyat yang di bawah sampai detik ini masih sangat miskin. Mereka juga ingin menikmati apa yang dinamakan oleh sebagian bangsa Indonesia yang mewah. Kalau generasi kita sadar,  apa yang di depannya itulah pengalaman. Tidak untuk dicela, tapi sebagai pedoman untuk menentukan langkah mencapai Indonesia masa datang. Indonesia akan mencapai seperti apa yang dicapai oleh negara lain. Lebih dari itu juga, asal bangsa  Indonesia mau menyadari kekurangan yang ada pada diri masing-masing, terutama tunas-tunas muda. Kurangilah nafsu akan kemewahan.
Indonesia belum waktunya untuk gagah-gagahan, yang dibutuhkan sekarang giat bekerja, mau menderita untuk mengisi kemerdekaan. Tapi tidak hanya bicara. Yang penting pelaksanaannya. Aku jenis wanita, maka kuajak jenisku, karena jenisku juga memegang peranan penting. Tak perlu lagi bersaing-saingan yang tidak semestinya, lebih-lebih kalau kita melihat kenyataan untuk mengurangi dari tiap-tiap pribadi masing-masing hal-hal yang keterlaluan.
Kesadaran diri sendiri besar sekali pengaruhnya untuk membentuk jiwa bangsa Indonesia yang positif. Termasuk di daerah kecil seperti Soasiu. Karena dimana daerah lain tengah giat-giatnya memperjuangkan Irian Barat, Soasiu ribut dengan diri sendiri.
Tenang itu enak, tapi jangan terlalu tenang seperti Soasiu, sampai sukar dibangunkan, karena nyenyaknya tidur. Dengan tiadanya kesibukan, mereka mencari-cari. Kalau yang dicari hal-hal yang baik, tak mengapa. Tapi yang tidak baik itulah itulah yang dicari oleh orang-orang yang nganggur.
Dengan jatuh, bangun, jatuh, bangun, tak mau mundur, dari daerah ini, biar kalau perlu sampai darahku tumpah di daerah ini, selama perjuangan Irian Barat berada di daerah ini, selama itu mingguan “Karya” harus terbit. Pada-Mu Tuhan jiwa dan ragaku, kuserahkan. Engkaulah satu-satunya Mahatahu apa yang aku lakukan. Hukumlah aku kalau aku berbuat salah.
Dengan “Karya” aku akan hidup di daerah ini, sampai Irian Barat kembali ke wilayah kekuasaan Indonesia.
    SP 
S u m b e r  :
J. Herlina – Pending Emas
PT Gunung Agung – MCLXIV 
Cetakan ke 2 – 1965

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar