Ki Slamet Blog - Kita Semua Wayang
Minggu, 27 Mei 2018 - 08:20 WIB
Minggu, 27 Mei 2018 - 08:20 WIB
Sang Saka Merah Putih |
Aku biasa saja, sudah terlatih dan
kebal. Panaspun, aku tidak. Waktupun berjalan terus, sampai jauh malam. Aku
minta diri untuk segera pulang. Kuanggap tidak ada apa-apa, asal aku tidak
mengganggu mereka dan semua kuhormati lebih dari diriku.
Kudengar bahwa Kepala Staf akan mengadakan peninjauan ke daerah Maluku
Utara. Tentu beliau pergi dengan rombongan besar dan memakai kapal sendiri.
Daripada menunggu kapal lain terlalu lama, kalau beliau tidak keberatan lebih
baik aku ikut dengan kapal ini.
Tanggal 12 Nopember 1961 dengan
rombongan Kepala Staf aku naik kapal Tirtonadi, meninggalkan pelabuhan Ambon.
Untung ada seorang keluarga yang ikut serta dalam kapal, sehingga aku bukan
wanita satu-satunya.
Mayor Suryadi hanya kawan seperjalanan.
Tapi karena baik sekali, lagi anggota serumah denganku, Lt Adelan serta Kapten
Saroa, maka rasanya seolah-olah keluaarga sendiri. Perpisahan dengan beliau itu
cukup mengharukan. Biasanya, waktu makan selalu ditutup dengan humor yang
mentertawakan. Pada umumnya tentara memang banyak humornya.
Sekarang suasana berubah. Di kapal ramai
sekali, jumlah penumpang bertambah banyak. Tidurnya berderet, yang dapat kamar
hanya Kepala Staf dan Dokter, lainnya di dek. Aku tidur dengan Nyonya Kapten
Sulaeman, berjajar dalam satu deretan.
Dalam perjalanan sudah menjadi kebiasaan
untuk membuat segala sesuatu menjadi meriah. kalau tidak demikian tentu
menjemukan sekali. Lebih-lebih perjalanan dengan kapal, perlu adanya tukang
banyol. Karena aku dianggap laki-laki, Dokter berusaha membuatnya lelucon.
“Sebaiknya Herlina ini diperiksa saja, betul-betul wanita atau laki-laki. Setuju?
Mari kita pegang saja Lina supaya diperiksa”.
Ya, begitulah antara lain sesuatu yang
dicari-cari untuk bahan tertawa, dan kebetulan aku yang dapat dijadikan obyek.
Kami tidur di dek dengan tenda
bocor-bocor. Waktu hujan turun dengan lebatnya, maka hanya beberapa orang
sajalah yang terhindar dari tetesan air; yang lain nongkrong tidak bisa tidur,
menunggu redanya hujan.
Setelah dua hari berlayar, sampailah
kami di Ternate. Kunjungan Kepala Staf akan dilanjutkan ke pulau-pulau lain,
yakni Tobelo, Morotai dan Soasiu.
Aku sudah di tempat tujuan. Rasa-rasanya
masyarakat Ternate heran kenapa aku
kembali lagi. Untuk kedua kalinya aku di daerah ini. Pertama, ketika aku
singgah sebagai pengeliling Indonesia. Yang kedua adalah sekarang ini untuk
waktu yang tidak tertentu, sehingga Irian Barat kembali ke dalam wilayam
wilayah kekuasaan Indonesia.
Pejabat-pejabat Ternate sibuk menyambut
kunjungan Kepala Staf. Acaranya termasuk timbang-terima penggantian jabatan Dan
Dim Maluku Utara.
Di Ternate tiada kesulitan rumah, aku
mempunyai ibu yang sangat baik sekali kepadaku. Keluarga ini termasuk keluarga
terkenal di Ternate.
Lalu lintas laut jarak dekat dilakukan
dengan kapal kecil milik pak Iskak,
walaupun kecil, memegang perananan penting.
Sampai saat Kepala Staf tiba di daerah,
angkatan Darat masih mempunyai pinjaman pada pak Iskak. Pada kesempatan
kunjungan inilah kumintakan supaya pak Iskak dapat perhatian mengenai pinjaman
yang belum dibayar. Overste Fatah akan menyelesaikan dengan segera setelah
beliau kembali ke Ambon.
Waktu beliau akan kembali melanjutkan
perjalanannya ke Tobelo, aku diminta untuk ikut. Tawaran itu kusambut dengan
senang hati.
Kunjungan beliau merupakan bahan berita
dalam surat kabarku nanti. Perjalanan Ternate — Tobelo hanya berlangsung 8 jam.
Merupakan tradisi bahwa daerah-daerah
yang kukunjungi mengadakan upacara adat sebagai penghormatan. Waktu kapal
memasuki pelabuhan, perahu-perahu berhias dengan wanita-wanita di dalamnya
menyanyikan lagu-lagu adat disertai bunyi-bunyian, menjemput kami.
Pejabat-pejabat setempat meminta para
tamu pindah ke dalam perahu menuju ke pelabuhan. Ramai sekali rakyat Tobelo
berderet di kiri dan di kanan jalan. Tari Cakalele merupakan acara tetap pada
setiap penyambutan kunjungan tamu. Masyarakat Tobelo pun sudah mengenal aku,
mereka juga memberi salam atas kedatanganku yang kedua kalinya di daerah ini.
Murid-murid SR, SMP menyanyi koor yang diperdengarkan di sepanjang jalan yang
dilalui rombongan tamu. Kami pun sebentar-sebentar harus berhenti mendengarkan
lagu-lagu yang khusus disusun untuk kunjungan tersebut. isinya mengharukan.
Syairnya bertema kenyataan-kenyataan penderitaan rakyat di daerah, yang minta
diperhatikan. Mereka percaya bahwa pada pemimpinlah tempat permohonan perbaikan
nasib .............................
Kenyataannya, kadang-kadang ada pemimpin
yang sampai hati menelan hak rakyat untuk kepentingan diri sendiri. Rakyat
hanya diberi janji yang tidak pernah dipenuhi. Toh rakyat tetap setia,
sekalipun janji pemimpinnya tidak pernah dibuktikan. Mereka tetap menunjukkan
kesetiaannya memberi sambutan yang hangat ada setiap kunjungan, walaupun mereka
tidak mempunyai apa-apa kecuali tidak jemu-jemu mengingatkan pemimpinnya :
“Ingatlah nasib kami”.
Kalau memang pemimpin rakyat, tidak usah
lagi rakyat meminta-minta. Pemimpin cukup melihat kenyataan, ia pasti tidak
sampai hati untuk mencari kekayaan dan keuntungan bagi diri sendiri. Ikut
menderita dengan rakyatnya, aku pikir lebih baik, daripada mentereng di
tengah-tengah kemiskinan.
Hasil pokok daerah adalah kopra. Kopra
ini dibeli dengan uang belakangan. Bagaimana rakyat bisa hidup ? Karenanya
rakyat menjadi malas, kelapanya ditinggal saja bertumpukan, mereka nanti toh
tidak menerima uang.
Aku tidak tahudimana letak kepincangan
ini
Pohon sagu di Ma luku tidak pernah habis
dan tidak perlu ditanam seperti padi. Di daerah ini, misalnya Morotai,
rakyatnya makan pisang bakar. Memang enak juga pisang bakar, tapi bagaimana
jadinya kesehatan merka. Bagi mereka tidak apa-apa, karena itulah makan
pokoknya , dan mereka tidak tahu bahwa ada beras yang mereka berhak
menikmatinya.
Untunglah Indonesia mempunyai rakyat
yang nrimo. Kalau ada, baiklah ! Kalau tidak ada, ya sudah. Mereka hanya tahu
di dunia, lain tidak ! Apa yang mereka makan adalah kemurahan Tuhan. Padahal
mereka mempunyai pemimpin-pemimpin yang dicintai. Tapi pemimpin bukan hanya
untuk dicintai, ia harus memperhatikan rakyatnya.
Tidak hanya cukup dengan pidato yang
berisikan menganjurkan kerja keras dan jujur. Rakyat tidak tahu bagaimana
anjuran ini dilaksanakan.
Siapa yang sebenarnya tidak jujur ?
rakyat yang mana ? mungkinkah rakyat yang jelata tidak jujur? Selamanya rakyat
yang dibawah itu tidak tahu apa-apa. Kadang-kadang pemimpin berteriak untuk
rakyat, padahal mereka sendirilah yang menelan hak rakyat ! ini merupakan
penyakit, rupanya bukan di Ibukota saja, tapi juga di daerah-daerah.
Kapan penyakit ini akan berakhir,
entahlah ?! dapatkah generasi baru ini merobah atau malahan menambah ? Apa yang
kulihat merupakan pengalaman untukku dan menjadi pelita bagiku sebagai anggauta
generasi baru, walaupun aku tidak mempunyai arti apa-apa. Namun aku sebagai
putera Indonesia tidak rela melihat kemerdekaan Indonesia akan diperkosa oleh
segolongan manusia-manusia Indonesia yang tidak bertanggung jawab, yang sampai
hati memperkaya diri dialunan ratap rakyat...........
Dengan menari ronggeng, berdansa,
tertawa gembira, rakyat yang berhati murni melupakan apa yang mereka derita.
Barulah setelah tamu-tamu pergi, terasa apa yang sedang mereka hadapi : pisang
bakar, anak telanjang, tak ada sekolah, sungguh menusuk hati. Memang aneh,
ditempat lain memberantas buta huruff, tapi di pulau kecil lain membentuk buta
huruf. Tidak ada sekolah, anak-anak harus naik perahu, mendayung sendiri,
sedang orang tuanya mencari nafkah. Lain dengan di kota besar, anak-anak
diantar dengan mobil atau sepeda, beca. Tapi dalam lalu-lintas antar laut hal
ini tidak mungkin. Inilah oleh-olehku dalam perjalanan mengikuti rombongan yang
cukup berkesan.
Mudah-mudahan saja hasil peninjauan ini
menjadi perhatian. Tidak semua pemimpin sama. Rakyat masih beruntung mempunyai
tempat untuk menaruhkan kepercayaannya.
Kunjungan terakhir adalah Soasiu, kota
ini masih termasuk Kodam XV, walaupun Soasiu merupakan suatu propinsi
tersendiri.
Setelah rombongan berangkat, Ternate
berkurang ramainya, tinggallah lelahnya saja, tak ubahnya seperti mengadakan
pesta. Kalau selesai, tinggallah lelahnya.
Mengapa aku sampai di sini,
kadang-kadang aku berpikr. Seolah-olah khayalan ! Aku masih ingat pada
kata-kataku, kepada polisi-polisi muda yang dipindahkan ke Soasiu. Waktu itu
mereka sangat menyesal atas kepindahan ke Soasiu. Waktu itu mereka sangat
menyesal atas kepindahan ke daerah yang sangat sunyi seperti Soasiu. Mereka
merasa tertipu. Yang disebut Propinsi Irian Barat itu nyatanya seperti daerah
mati belaka. Walaupun mereka laki-laki, namun banyak yang menangis. Maklum umur
mereka juga masih diantara 17 – 22 tahun, begitu keluar dari pendidikan
Sukabumi langsung dibawa ke Soasiu. Tentu saja kaget. Aku ngobrol dengan
mereka, kuusahakan obrolan-obrolanku itu menanamkan pengertian, bahwa
kepindahan mereka ke daerah ini merupakan tugas yang mulia.
Kapan lagi kita bersedia bertugas di
daerah yang sunyi, kalau kita masih berpikir bahwa dipindahkan di tempat
yang sunyi, adalah buangan ! justeru
kepindahan mereka di Soasiu banyak pengaruhnya pada masyarakat.
Setidak-tidaknya penduduk Soasiu penduduk Soasiu ada pandangan baru.
Pemuda-pemuda tampan lagi gagah. Anjuran
Presiden dapat segera terlaksana. Dengan adanya asimilasi antar daerah, Soasiu
yang sunyi dapat menjadi lebih ramai. Jika biasanya hanya orang-orang yang
sudah berkeluarga saja yang berdatangan, sekarang datang pula yang masih
bujang-bujang. Memberi semangat, terutama kepada gadis-gadis di situ.
Pingitan nantinya akan berkurang. Kukatakan
kepada mereka, bahwa kalau sudah selesai berkeliling Indonesia, aku akan
bersedia di tempat yang sunyi. Inilah sekarang kubuktikan, bahwa apa yang
kukatakan betul-betul kulaksanakan.
Apa yang mereka rasakan akan kurasakan
juga. Memang benar tidak cukup hanya dengan kemauan saja. cita-cita harus
dicapai dengan usaha, tapi modal utama adalah kemauan. Tanpa adanya kemauan,
manusia tak akan berusaha.
S u m b e r :
J. Herlina – Pending Emas
PT Gunung Agung – MCLXIV
Cetakan ke 2 – 1965
Mei 2018 - 08:17 WIB