Blog Ki Slamet 42: "Kita Semua Wayang"
Kamis, 05 Desember 2019 - 07.05 WIB
Kamis, 05 Desember 2019 - 07.05 WIB
“CERMIN KALAH DAN
MENANG”
Oleh I Gusti Ngurah
Dwaja
Di ruangan agung Kerajaan Astina, sebuah pesta besar
sekaligus nasib tragis pernah berlangsung. Terlampau tragis bahkan, hingga
mengubah sepenuhnya masa depan negeri ini. Pesta itu memang telah usai. Meninggalkan
ruangan yang kini lengang. Hanya angin Sesekali terdengar mendengung di
lorong-lorongnya yang dingin dan sunyi. Selebihnya adalah bayangan mencekam di
antara pilar-pilar marmer yang meninggi itu. Meja kecil dengan batu dadu itu
masih dibiarkan tergeletak di situ. Kursi dan botol-botol anggur kosong
berhamburan di balkon. Sedang di lantai tengah, jejak-jejak kaki dan ceceran
keringat masih membekas dalam debu. Juga bayangan tawa Dursasana yang aneh itu.
Di situlah, beberapa waktu lalu, di tengah keramaian pesta kerajaan, Dursasana
dengan nafas tersengal dan tawa menyeringai oleh birahi berusaha merenggut dan
menelanjangi Drupadi.
“Yudistira telah mernpertaruhkan
Drupadi dan ia kalah. Perempuan ini sekarang jadi budak kami dan kami bebas
memperlakukannya kata Dursasana”.
Bau alkohol menyengat mulutnya. Matanya memerah. Ia yang terhuyung-huyung
karena mabuk terus berusaha melucuti kain di pinggul Drupadi yang pasrah. Di
bawah tatapan para bangsawan yang hadir, Drupadi dipertaruhkan sekaligus
dinista. Puncaknya, di sini hak-hak Pandawa atas Astina dirampas Kurawa.
Memang banyak hal muram hadir dalam Mahabharata, banyak hal
ganjil bersuara dan sana. Tetapi yang paling getir tentu apa yang telah
berlangsung di ruangan ini. Anak-anak Pandawa, yang cerdas dan menjunjung
nilainilai kebenaran serta sifat-sifat ksatria, harus berhadapan dengan
kenyataan pahit, mereka kalah dalam pertaruhan judi lalu kehilangan segalanva
serra disingkirkan ke dalam pemhuangan 13 tahun di hutan. Sejumlah pertanyaan
sempat menggantung di sana yang tak mudah dicarikan jawaban: Apa yang membuat
Yudhistira rela mempertaruhkan masa dan saudara-saudaranya di meja dadu yang
tak lebih lebar dari satu meter persegi itu? Atau sekalipun sebagai saudara
sulung, berhakkah ia bertindak sejauh itu, bahkan menjadikan Drupadi sebagai
taruhan? Adakah ia membayangkan kemenangan dalam judi itu yang akan memberinya
kesejahteraan atau kehormatan? Entahlah! Bahkan para orang tua yang menyaksikan
peristiwa itu tak ada yang mampu memberi jawab. Mereka hanya tertunduk,
terkubur dalam perasaan tak terlukiskan, sebagaimana Kunti, Drestarasta, atau
Widura. Kecuali Bima yang menunjukkan ketidaksukaannya atas permainan yang
dirancang Sakuni itu. Maka ketika Kurawa mempermalukan dan menelanjangi
Drupadi, putri terhormat dari Pancala itu, Bima tak bisa lagi menahan diri. Dia
turun ke gelanggang dan meradang dengan sumpahnya,
“Hai, Duryudana, Dursasana, Sakuni, kalian
boleh menang taruhan dan mengambil negeri ini, tapi apa hakmu menghina Drupadi?
Dengar, aku telah menyaksikan semuanya, dan di hadapan kalian kuucapkan
sumpahku, kelak aku akan datang dengan pembalasan. Akan kurobek tubuhmu, dan
kuminum darahmu......!”
Rupanya kehidupan telah memaksakan sisi nisbinya di sini.
Karena itu Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa memilih diam. Juga Bhisma.
Senapati agung nan bijaksana itu hanya memandang datar dari balkon dengan mulut
terkatup terhadap semua hal yang berlangsung. Juga Durna. Tak ada yang dapat ia
lakukan. Permusuhan antara Pandawa dengan Kurawa tampaknya telah tiba di
puncak.
Ketika sebuah peristiwa terjadi, saat pilihan telah diambil,
kita pun hanya bisa menunggu apa gerangan setelah itu. Maka Pandawa yang kalah
harus segera angkat kaki, meninggalkan masa-masa indah di Astina menuju satu
takdir baru: hidup dalam pengasingan. Sementara Duryudana dan
saudara-saudaranya, bersama sang penasihat Sakuni, boleh merayakan kemenangan,
dengan penuh suka-cita. Demikianlah satu babakan hidup berlangsung. Saat
semuanya tiba, maka yang kemudian terlihat adalah ada yang keluar sebagai
pemenang dan ada pula yang kalah. Hingga di bagian ini sepertinya tak ada yang
perlu diperdebatkan lagi. Mungkin mereka tahu kemenangan itu dicapai melalui
cara yang curang. Tapi bagi yang memilih bertindak murni, seperti Yudhistira,
juga sadar akan berhadapan dengan risiko: entah akhirnya menang atau kalah.
Siapa yang tahu? Karena itu kita agak jadi mengerti kenapa Yudhistira memilih
diam saat dikalahkan. Ia tak mempersoalkan bagaimana ia kalah. Ia memang bukan
pemenang. Bahwa antara kalah dan menang itu kadang jaraknya sedemikian tipis,
sekalipun tak juga mudah buat digenggam. Tapi toh dengan demikian tak berarti
segalanya telah berakhir. Tiga belas tahun selepas pesta judi di ruangan itu,
dua keluarga keturunan Bharata ini, Pandawa dan Kurawa, dipertemukan kembali
oleh takdir. Tidak dalam reuni keluarga tetapi di jalan yang pilu. Mereka harus
saling angkat senjata dan baku bunuh, dalam perang saudara, perang Kuru, yang
dikenal dengan Bharatayuda. Kita
kemudian paham perang itu pun ternyata bukan pertanda berakhirnya suatu
riwayat. Sebab, sesudahya banyak hal tragis masih akan berlangsung. Mungkin
karena itu, Astina dengan segala cekam misterinya, tetap hadir membayang di
tengah kerajaan hidup kita hari ini. Darinya orang-orang dapat menilai sejenak
tentang keteguhan hati, seperti Bhisma. Dengan kata lain, ini adalah soal risiko
dan hikmah pilihan hidup. Sebelum perang pecah, Bhisma berkata kepada
Drestarasta,
“Yudistira dan saudara-saudaranya
akan memenangkan perang ini. Mereka dipayungi keberuntungan, sebab Pandawa
meneguhkan kekuatannya dengan kebenaran dan keadilan, sesuatu yang tak pernah
bisa dimengerti oleh Duryudana.......”
Di sana Bhisma hendak menegaskan bahwa sekalipun segalanya
tampak nisbi, orang tetap perlu menggamit keyakinan tentang sesuatu sebagai
pegangan hidup. Misalnya berteguh dengan nilai-nilai moral. Juga sebagaimana
sikap yang diambil Bhisma dalam Bharatayudha:
”Orang seharusnya tetap menjadi
ksatria meski tahu akan berada di pihak yang kalah”.
Bagaimana pun setiap peristiwa, setiap pergulatan, akan
hadir dengan wajahnya yang subtil, tak pernah mudah dipahami. Sebagaimana kita
tahu satu kemenangan ternyata tak seluruhnya berarti menang, begitu juga dengan
kekalahan. Bharatayuda memang kemudian berakhir. Dimenangi lima putra Pandu,
Pandawa, yang mengantarkan Yudhistira memegang tahta Astina. Sedangkan Kurawa,
keturunan Drestarasta, yang berjumlah seratus orang itu, karena itu ia jadi
mayoritas, adalah pihak yang kalah. Duryudana, Dursasana dan Sakuni dirajam
habis oleh Bima, sesuai sumpahnya dulu. Tapi setelah itu apa? Yang kita tahu,
meski keluarga Kurawa, lambang sifat-sifat buruk manusia itu, tumpas dari
Astina ternyata mereka tak serta merta kehilangan otoritasnya atas dunia kita.
Sampai hari ini.
P e n u l i s :
I Gusti Ngurah Dwaja di SMAN 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar