ILMU SIASAT PERANG DALAM KAKAWIN
BHARATA-YUDHA 2
Oleh : Prof. Dr. R.M. Sucipto Wirjosuparto
Karena
pengertian sama-bheda-ddanndda disebutkan
dalam kitab kakawin Arjunna-wiwaha
dan Nitisastra, dijelaskan bahwa
siasat perang sama-bheda-ddanndda itu
dikenal dan dipelajari di Indonesia. Dalam
hubungan ini dapat dikatakan, bahwa pengetahuan penggunaan senjata perang itu
disebut ‘dhanurweda’ (weda berarti
pengetahuan, sedangkan dhanu berarti panah) dan merupakan sebagian dari
pengetahuan perang. Jalan untuk mencapai
kemenangan dalam perang dapat diperoleh dengan mempelajari pengetehaun yang
dalam kesusateraan Jawa baru disebut pengetahuan ‘jaya-kawijayan’, ialah pengetahuan untuk mendapat kemenangan
perang.
Pengetahuan
tentang perang dalam bentuk yang agak kongkrit diketemukan dalam beberapa
kitab, di antaranya dalam kakawin Bharata-Yudda
yang menyebutkan beberapa bentuk wyuha
atau susunan tentara, kitab Nitisastra
yang membicarakan cara untuk memilih seorang panglima, dan kitab Nagarakrertagama dari zaman Majapahit
yang menguraikan bagaimana raja Hayam Wuruk itu mempertontonkan kepandaian
tentaranya yang mendemonstrasikan segala macam ulah perang. Dari berita-berita yang diketemukan dalam
beberapa kitab kesusasteraan Jawa kuno dapat ditentukan dengan pasti, bahwa
ilmu siasat perang itu telah dikenal, sedikitnya di daerah Jawa, Bali dan Lombok.
Sebaliknya
di daerah lainnya di Indonesia juga diketahui bahwa ada beberapa kitab yang
menunjukkan adanya beberapa pengertian, bahwa siasat perang itu telah dipelajari
di Indonesia. Di dalam kitab sejarah
melayu disebutkan, bahwa pada menjelang malam direbutnya kota Malaka yang
diserbu oleh angkatan perang Portugis sejumlah banyak perwira muda yang menginginkan
supaya kitab Hikayat Mohammad Hanafiah itu dibacakan dengan tujuan untuk
memberi semangat kepada mereka karena di dalam kitab Hikayat Mohammad Hanafiah itu banyak disebutkan tentang siasat
perang. Kitab lain dalam kesusasteraan
Indonesia kuno yang juga memuat siasat perang, ialah kitab Hikayat Amir Hamzah. Seperti
diketahui, Amir Hamzah adalah paman Nabi Muhammad s.a.w. dan dalam usahanya
ikut meluaskan agama Islam, Amir Hamzah
berperang dengan raja-raja di tanah Arab dan negara lainnya. Seperti telah diketahui, cerita Hikayat Amir
Hamzah yang tumbuh di Indonesia itu melalui kesusasteraan Persia.
Hikayat
Amir Hamzah dalam bahasa Melayu itu sedemikian populernya, sehingga melalui Hikayat
Amir Hamzah ini disadur suatu cerita baru dalam bahasa Jawa baru pada zaman Mataram
Kartasura (kira-kira tahun 1700) dan terkenal
sebagai Serat Menak (Kartasura). Karena pada waktu meluasnya agama Islam itu cerita-cerita dari
zaman pra-Islam itu agak terdesak, sebagai gantinya tumbuh cerita-cerita Islam
yang berpangkal kepada kitab Menak, sehingga R.Ng. Jasadipura ikut menulis
menulis cerita Menak dalam bahasa Jawa Baru.
Dengan ini mulai terkenallah tokoh Wong
Agung Menak Jayengrana, ialah sebutan Amir Hamzah dalam bahasa Jawa dan
pahlawan-pahlawan lainnya seperti Umarmaya, Lamdahur, Hirman, Kelan dan
lain-lainnya.
Disebabkan
karena menyadur kakawin Bharata-Yudha menjadi Serat Braratayuda Jarwa, R. Ng.
Jasadipura telah mengenal sejumlah banyak nama susunan tentara yang dipakai
oleh keluarga Pandawa dan Kurawa, cerita Menak dalam bahasa Jawa baru itu
ditambah dengan bagian-bagian yang berbentuk serangan secara frontal dan tahu
bagaimana caranya menjebak musuh yang menurut cerita itu dilancarkan oleh pasukan-pasukan
yang bersembunyi dan siasat ini sangat populer di antara rakyat biasa dengan
istilah ‘baris pendem’. Contoh-contoh
lain dapat diambil dari ‘Babad Ganti’ yang
mengisahkan perjuangan Mangkubumi yang
dikemudian hari bergelar Hamenku Buwana I
melawan Belanda. Kecuali disebutkan dalam Babad Ganti sendiri,
bahwa Pangeran Mangku Bumi itu seorang ahli
siasat perang, kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang Belanda juga
mengakui, bahwa Pangeran Mangku Bumi itu sungguh-sungguh seorang “strateeg”,
seperti yang ditunjukkan dalam pertempuran yang terjadi di tepi sungai
Bogowonto.
Contoh-contoh
tentang keahlian bangsa Indonesia untuk berperang dapat ditambahkan lagi dengan
mengambil tokoh ‘Pangeran Diponegoro’ yang
menggoncangkan kedudukan Pemerintah kolonial Belanda. Apabila pada waktu dikejar oleh tentara
Belanda Pangeran diponegoro itu dapat menyelamatkan diri dengan jalan
menceburkan diri ke dalam sungai Progo yang sedang tinggi airnya, tetapi dapat
memilih bagian yang dangkal, sedangkan tentara Belanda masuk ke dalam sungai
ini di bagian-bagian yang dalam, sehingga terpaksa berenang dengan kuda-kudanya
sehingga tidak dapat mengejar kuda yang
dinaiki oleh Pangeran Diponegoro, ini disebabkan karena Pangeran Diponegoro
mengenal setiap jengkal tanah yang dipergunakan sebagai ajang bertempur melawan
Belanda. Kemenangan ini juga disebabkan
karena pasukan-pasukan Pangeran Diponegoro disuruh menyusun barisan pendem dan
dapat menghalau serangan tentara Belanda yang mengejar Pangeran Diponegoro.
Bahwa
bangsa Indonesia telah mengenal siasat perang yang juga dimiliki oleh negara-negara
besar hal ini telah telah dibuktikan ketika
Sultan Agung bersama tentaranya menyerang benteng kota mengepung Batavia
tahun 1628 dengan menggali parit-parit untuk mendekati obyek yang akan direbut
dan hal tersebut tentunya telah mengejutkan para serdadu kompeni Belanda. Berita lainnya yang menunjukkan, bahwa bangsa
Indonesia pada abad 17 telah mempunyai organisasi ketentaraan yang disusun
rapih dengan tujuan memudahkan pelaksanaan siasat perang disebutkan oleh Dr. De
Helen, seorang utusan Belanda yang mengunjungi Karta, ibukota Mataram pada
zaman Sultan Agung. Dikatakan, bahwa
apabila ‘gong’ yang ada di empat
penjuru di kota ‘Karta’ dipukul,
dalam waktu setengah hari dapat dikumpulkan sebanyak 200.000 orang.
Dari
berita-berita itu cukuplah terbukti, bahwa rakyat Indonesia pada waktu lampau
memang telah mengenal ilmu siasat perang.
Hanya saja tidak diketemukan kitab-kitan yang menguraikan ilmu ini
secara metodis dan sistematis. Seperti telah
dikatakan di atas, seandainya dapat diketemukan berita-beritanya, berita-berita
itu ada terselip dalam kitab kesusasteraan Indonesia kuno. Salah satu buah kesusasteraan Indonesia kuno
yang sedikit agak metodis membicarakan siasat perang frontal yang disebut ‘wyuha’,
ialah kitab ‘Kakawin Bharata-Yuddha’.
Menurut
kesusteraan India kuno, kitab ‘Arthasastra karya Kauttilya’ menyebutkan
beberapa macam wyuha, antara lain ialah :
1. Ddanddda
wyuha, susunan tentara seperti bentuk alat pemukul,
2. Bhoga
wyuha, susunan tentara seperti ular,
3. Mannddala
wyuha, susunan tentara seperti bentuk lingkaran,
4. Asamhata
wyuha, susunan tentara yang bagian-bagiannya terpisah-pisah,
5. Pradara
wyuha, susunan tentara penggempur musuh,
6. Ddrddhaka
wyuha, susunan tentara dengan sayap dan lambung tertarik ke belakang,
7. Asahya
wyuha, susunan tentara yang tak bisa ditembus,
8. Garudda
wyuha, susunan tentara seperti burung garuda,
9. Sanjaya
wyuha, susunan tentara untuk mencapai kemenangan dan berbentuk busur,
10. Wijaya
wyuha, susunan tentara menyerupai busur dengan bagian busur depan yang menjorok
ke muka,
11. Sthulakarna
wyuha, bentuk susunan tentara yang menyerupai telinga besar (karna sthula),
12. Wiҫalawijaya
wyǔha, bentuk susunan tentara yang disebut kemenangan mutlak; susunannya sama
dengan sthulakarnna, hanya saja bagian depan disusun dua kali lebih kuat dari
sthulakarnna wyuha’
13. Camǔmukha wyǔha, bentuk susunan tentara dengan bentuk 2
sayap yang saling berhadapan muka dengan musuh (dalam bahasa sansekerta, camǔ
berarti satu kesatuan perang),
14. Jhashãsya
wyǔha, bentuk susunan tentara seperti camǔmuka,
hanya saja sayapnya ditarik ke belakang (jhashãsya berarti muka ikan),
15. Sǔimukha
wyǔha, bentuk susunan tentara yang berujung (muka (mukha) seperti jarum (sǔci)
B e r s a m b u n g
P u s t a k a :
Prof. Dr.
R.M. Sutjipto Wirjosuparto, “Kakawin Bharata-Yuddha”
Penerbit –
Bhratara – Jakarta 1968
Tidak ada komentar:
Posting Komentar