Sabtu, 22 Februari 2014

"Jejak Negara Jawa" Oleh: Afriza Hanifa


Peta Jawa Kuno

P u n c a k  k e j a y a a n  t e r j a d i  p a d a  m a s a  p e m e r i n t a h a n  S u l t a n  A g u n g .

Basicbali.net - Kamis, 20 Februari 2014, 10:16 WIB - Hadiah sebuah lahan dari Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya, kepada Ki Ageng Pamanahan menjadi awal mula berdirinya Kerajaan Mataram.

Siapa sangka lahan di pedalaman Jawa yang dihadiahkan atas jasa Ki Ageng Pamanahan yang berhasil mengalahkan Sunan Prawata itu kemudian berkembang menjadi kerajaan besar di tanah Jawa. Serta merta kerajaan Demak dan Pajang mulai layu dan tumbuhlah sebuah kerajaan baru yang besar, Kesultanan Mataram Islam.

Pada masa Kerajaan Hindu Buddha, terdapat pula sebuah kerajaan bernama Mataram yang dikenal sebagai Mataram Kuno atau Mataram Hindu. Namun, keduanya tak berkaitan. Yang dibicarakan di sini merupakan Kesultanan Mataram Islam yang memimpin tanah Jawa pada abad ke-16. Adapun Mataram Kuno eksis di abad kedelapan hingga ke-10.

Jika jalan-jalan ke Kota Gede Yogyakarta, akan sangat banyak ditemui bekas peninggalan Kesultanan Mataram Islam. Masjid, pasar, keraton, bekas benteng, hingga makam menjadi saksi pernah berdirinya sebuah kerajaan besar di tanah Jawa tersebut.

Kesultanan tersebut menguasai seluruh Jawa (kecuali Batavia dan Banten), bahkan hingga Madura. Sebuah “negara” Jawa berdiri tangguh selama ratusan tahun.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia menyebutkan, Mataram merupakan kawasan subur yang terletak di antara Kali Opak dan Kali Praga yang mengalir ke Samudra Hindia.

Lahan yang subur tersebut kemudian memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan pusat Kerajaan Mataram. Daerah yang dihadiahkan dari Pajang tersebut kemudian oleh Ki Ageng Pamanahan, anak Ki Ageng Ngenis didirikanlah sebuah keraton pada 1578.
Setelah beberapa tahun mendiami keraton, Ki Ageng Pamanahan atau Ki Ageng Mataram wafat pada 1584. Penggantinya adalah putranya, Senapati ing Alaga, yang pada masa mudanya bergelar Ngabehi Loring Pasar. Ia bukan lain merupakan menantu Sultan Pajang, yakni Sultan Hadiwijaya.

Pada masa pemerintahannya, Mataram memperluas daerah kekuasaan ke wilayah sekitarnya termasuk daerah pesisir utara, kemudian ke daerah-daerah di Jawa bagian timur maupun ke daerah Jawa bagian barat.

Pajang yang berada di bawah kekuasaan Mataram berubah menjadi kadipaten dan diperintah Pangeran Benawa, putra Sultan Hadiwijaya. Kecuali Pajang, Demak juga dikuasainya yang kemudian ditempatkan seorang dari Yuwana, daerah Kedu dan Bagelen juga dapat dikuasai.

Madiun pada 1590 mengakui kekuasaan Mataram, demikian pula Surabaya, selanjutnya, “Mataram menaklukkan Kediri. Panembahan Senapati ing Alaga juga meluaskan daerah kekuasaan dan pengaruhnya ke bagian barat sampai ke Priagan Timur dan Kesultanan Cirebon,” ujar Marwati dan Nugraha.

Pascamangkatnya Panembahan Senapati ing Alaga, putranya dari selir putri asal Pati, Raden Jolang, kemudian naik takhta.

Pada masa pemerintahannya pada 1601 sampai 1613, Raden Jolang menyempurnakan pembangunan kota yang dikenal sebagai Kota Gede.

Kemudian penerus selanjutnya, yakni cucu Senapati ing Alaga, yakni RM Jatmiko atau Pangeran Rangsang, menjadi titik balik Kesultanan Mataram. Ia juga bergelar Sultan Agung Senapati ing Alaga atau lebih dikenal dengan Sultan Agung, membawa kesultanan ke puncak kejayaan.

Kerajaan Mataram mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Agung yang memerintah pada 1613-1645. Pada waktu itu wilayah kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.

“Sebelum VOC menganeksasi wilayah negara Mataram sampai abad ke-17, seluruh kekuasaan Mataram dibagi menjadi beberapa kesatuan wilayah besar yang berkedudukan di keraton sebagai pusatnya. Istana dan keraton raja disebut sebagai 'Kutanegara' atau 'Kutagara' yang terletak di ibu kota negara,” ujar Marwati dan Nugroho dalam buku yang sama, namun seri keempat, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia.

Kemunduran
Pascakepemimpinan Sultan Agung, kerajaan mengalami kemunduran. Berangsur-angsur wilayah kekuasaan makin menyempit. Hal tersebut, menurut Marwati dan Nugraho, akibat aneksasi yang dilakukan oleh VOC, sebagai imbalan intervensinya dalam pertentangan-pertentangan intern.

Pada masa pemerintahan pengganti Sultan Agung, yakni putranya yang bernama Amangkurat atau yang sering disebut dengan Amangkurat I, banyak terjadi pemberontakan. Sang sultan juga dekat dengan VOC, akibatnya kekuasan politik Mataram saat itu benar-benar tergoncang.

Salah satu  yang terkenal saat itu dipimpin Trunojoyo. Pemberontakan tersebut membuat Amangkurat I melarikan diri hingga kemudian wafat. Sebelum wafat, ia sempat mengangkat Adipati Anom atau Sunan Amangkurat II sebagai penerusnya.

Namun, sang penerus tak mampu memulihkan kejayaan Mataram. “Sejak pemerintahan, baik Sunan Amangkurat I maupun Sunan Amangkurat II dan seterusnya, kerajaan Mataram Islam sampai Perang Giyanti tahun 1755 terus menerus mengalami penurunan pengaruh politik VOC,” ujar Marwati dan Nugraha.

Setelah Perang Trunojoyo berkhir pada 1678, Mataram harus melepaskan daerah Karawang, sebagian Priangan dan Semarang. Demikian pula setelah perlawanan Untung Surapati dipadamkan pada 1705, daerah Cirebon, sisa Priangan, dan separuh bagian timur Pulau Madura dianeksasi Belanda.

Selanjutnya, setelah Perang Cina berakhir pada 1743, seluruh daerah Pantai utara Jawa dan seluruh Pulau Madura sudah dikuasai Belanda. Wilayah negara makin sempit dengan berakhirnya Perang Giyanti pada 1755, dimana Mataram dipecah menjadi dua bagian, yakni Surakarta dan Yogyakarta.

Melalui perjanjian Giyanti itulah Kerajaan Mataram Islam dipecah menjadi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta (Solo).
 

Redaktur : Chairul Akhmad



1 komentar:

  1. Dengan berakhirnya Perang Cina pada 1743, seluruh daerah Pantai utara Jawa dan seluruh Pulau Madura dikuasai Belanda. Perang Giyanti pada 1755, dan melalui perjanjian Giyanti Mataram Islam dipecah menjadi dua, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta.

    BalasHapus