Jumat, 07 Januari 2011

 SANG MAESTRO S.SUDJOYONO By Denmas Priyadi





Jumat, 7 Januari 2011. [http://denmaspriyadi.blogspot.com]
Gbr1 S Sudjoyono
Gbr2. Gerilya by S Sudjoyono
S. SUDJONJONO lahir di Kisaran,Tebing Tinggi, Sumatra Utara. Tanggal dan bulannya belum jelas diketahui sekitar tahun 1913. Ibunya bernama Narijem, ayahnya bernama SinduDarmo yang merantau ke Deli sebagai pekerja kontrak yaitu orang-oranng yang didatangkan dari tanah Jawa untuk dipekerjakan di perkebunan tanah Deli awal abad ke-20. Pak Sindu memiliki suara bagus dan sering membaca dan melantunkan tembang-tembang jawa mocopat, cerita dongeng berbahasa jawa berbentuk tembang atau nyanyian. Ibunya, Narijem dikenal pula sebagai Dukun yang bisa mengobati berbagai macam penyakit. Oleh karena sudah banyak berjasa pada masyarakat setempat, ditambah karena kecerdasan dan kerajinan serta dedikasinya yang tinggi terhadap perusahaan perkebunan, pak Sindu oleh perusahaan perkebunan diangkat menjadi jururawat di rumah sakit orang hukuman di Tebing Tinggi.

Ketika usianya sudah cukup, S. Sudjojono oleh orang tuanya didaftarkan di sekolah HIS Boedi Oetomo di Tebing Tinggi. Di sekolah tersebut ternyata S.Sudjojono tergolong anak yang cerdas. Karena kecerdasannya inilah ia sangat disayangi oleh kedua orang gurunya yaitu Pak Yudhakusuma dan Pak Sudarminto. Tahun 1926. Demi kemajuan anaknya, orang tua S.Sudjojono merestui putranya diajak Pak Yudhakusuma ke Jakarta meskipun anaknya itu belum selesai sekolah, duduk di kelas VI

Di Jakarta S.Sudjojono melanjutkan sekolahnya di HIS Arjuna pertama di Petojo, yang juga merupakan sekolah tempat pak Yudhakusuma mengajar. Pak Yudhakusuma mengangkat S.Sudjojono sebagai anak. Dialah yang selalu memberi dorongan, semangat dan motivasi terhadap sudjojono agar memupuk,mengembangkan kegemarannya dalam menggambar.

Setetelah tamat dari HIS tahun 1928 S.Sudjojono, atas tanggungan bea siswa dari perkumpulan Theosofi, yang mana salah satu aggotanya adalah Pak Yudhakusuma sendiri, melanjutkan sekolahnya ke HIK Gunungsari, Lembang, Bandung. Di sekolah ini, seperti juga murid-murid yang lain S.Sudjojono tinggal di asrama dengan nomor induk 101. Nomor itu selalu ia tuliskan disemua barang-barang invetaris miliknya, gelas, piring, bantal dan lain-lain. Bahkan pada setiap karya-karya lukisannya S.Sudjojono menuliskan kode SS-101 tersebut.

Di sekolah ini S.Sudjojono hanya sampai kelas III. Dikeluarkan dari sekolah karena kenakalannya dan kebandelannya yang sering memberontak, mengajak teman-temannya keluyuran di tengah malam, menyulut petasan hingga membangunkan semua orang. Pak Yudhakusuma yang sangat mengasihi putra angkatnya ini mengirim S.Sudjojono ke Yogyakarta. Di sana di tampung oleh Pak Sudarminto yang juga gurunya di Taman Siswa, Tebing Tinggi dulu.

Tahun 1933, oleh Pak Sudarminto, S.Sudjojono diikutsertakan mengikuti kursus cepat untuk menjadi guru. Setelah lulus, ia dikirim ke Rogo Jampi ke Rogo Jampi, Jawa Timur, untuk mengajar di sekolah Taman Siswa yang baru dibuka. Di sekolah ini, ia mengajar kurang lebih setahun.

S.Sudjojono juga gemar bermain sepak bola dan pernah masuk Klub Indonesia Muda. Ketika berada di Yogya, ia sempat mengembangkan hobinya itu. Di lapangan sepak bola Yogya inilah S.Sudjojono bertemu dengan Rusli yang di kemudian hari menjadi pelukis terkenal pula. Ketika itu Rusli bersekolah di Taman Muda Taman Siswa.

Selama satu tahun di Rogo Jampi, Ia kembali ke Jakarta mengjar di sekolah Taman Siswa di jalan Kadiman, Petojo yang dipimpin oleh bapak S. Mangun Sarkoro. Pada waktu itu ia sudah mengembangkan kegemarannya akan meklukis. S.Sudjojono suka membaca, khususnya karaya sastra, filsafat, dan semua yang ada kaitannya dengan seni lukis. Ia sering mendapatkan buku-buku yang dicarinya itu di Pasar Loak Senen, yang kesemuanya itu menjadikan ia tumbuh dan berkembang, menjadi seorang seniman lukis yang diperhitungkan, yaitu seniman yang mempunyai misi dan visi ke depan. Dia ingin memanfaatkan seni lukis sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan rokhaniahnya yang lebih mulia.

Dia tidak puas dengan keadaan seni lukis pada waktu itu yang hanya mengungkapkan keindahan fisik semata tentang keindahan alam yang naturalistik. Dia mempunyai visi yang berbeda dari para pelukis pada zamannya, ini sudah nampak pada saat belajar seni lukis pada
Pak Pirngadi. Dia disuruh menggambar obyek situasi aktifitas kehidupan di sekolahnya. Setelah selesai lukisannya selesai dibuat, Pak Pirngadi memberi komentar, "kok kamu menggambar halaman sekolah seperti orang macul saja!". Begitu juga ketika ia menggambar obyek sepatu bola tua miliknya, diberi komentar oleh Pak Irngadi, "kok sepatu tua saja digambar!"

Berkait dengan itu, S.Sudjojono mengungkapkannya kepada Pak Yudhakusuma ayah angkatnya, "Pak Yudha kusuma! Mengapa rasa-rasanya gambar saya kok kotor? Akan tetapi pak Yudha hanya menjawab, "Apa maksud kamu dengan kotor?" Justru di situlah keunikkan, keanehan seni karena mungkin yang kotor itu juga bagus. Jawaban tersebut membesarkan hati S.Sudjojono. Dengan hati yang lebih mantap ia terus melukis, kendatipun ia menyadari bahwa warna-warna dan bentuk garis yang dihasilkan sangat berbeda dengan lukisan-lukisan sezamannya.

Jumat, 7 Januari 2011
Slamet Priyadi di Lido

1 komentar:

  1. @ S.Sudjono di sekolah termasuk anak yang cerdas, kepandaiannya dalam menggambar sangat dikagumi oleh gurunya Yudhokusumo yang juga seorang pelukis. Oleh gurunya itu kemudian S.Sudjoyono disekolahkan ke Jakarta, meskipun ia belum lulus sekolah dasar kelas VI Tahun 1926.

    BalasHapus