Denmas Priyadi Blog: Kita Semua Wayang
Rabu, 11 September 2019 - 13:27 WIB
PEMBERONTAKAN PARTAI
KOMUNIS INDONESIA
( GERAKAN 30
SEPTEMBER PKI )
Dalam minggu pertama bulan Oktober 1965
rakyat Indonesia dikejutkan oleh serangkaian berita Radio Republik Indonesia
(RRI) Jakarta tentang terjadinya pergolakan pada tingkat tertinggi pemerintahan
di Ibukota Jakarta.
Pada hari Jumat tanggal 1 Oktober 1965
secara berturut-turut RRI Jakarta menyiarkan empat berita penting.
Siaran pertama, sekitar pukul 07.00 pagi,
memuat berita bahwa pada hari Kamis tanggal 30 September 1965di Ibukota Republik
Indonesia, Jakarta, telah terjadi “gerakan militer dalam Angkatan Darat” yang
dinamakan “Gerakan 30 September”, dikepalai oleh Letnan Kolonel Untung,
Komandan Batalion Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Soekarno.
Sejumlah besar Jendral telah ditangkap, alat-alat komunikasi yang
penting-penting serta objek-objek vital lainnya sudah dikuasai Gerakan tersebut
dan “Presiden Soekarno selamat dalam lindungan Gerakan 30 September”. Gerkan
tersebut “ditujukan kepada Jendral-Jendral anggota apa yang menamakan dirinya
Dewan Jendral”. “Komandan Gerakan 30 September” itu menerangkan bahwa akan
dibentuk “Dewan Revolusi Indonesia” di tingkat Pusat yang diikuti oleh “Dewan
Revolusi Propinsi”, “Dewan Revolusi Kbupaten”, “Dewan Revolusi Kecamatan” dan
“Dewan Revolusi Desa”.
Siaran kedua, sekitar pukul 13.00 hari itu
juga memberitakan “Dekrit No. 1” tentang “Susunan Dewan Revolusi Indonesia”.
Baru dalam siaran kedua ini diumumkan susunan “Komando Gerakan 30 September”,
yaitu Letnan Kolonel Untung sebagai “Komandan”, Brigjen Supardjo, Letnan
Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut Sunardi, dan Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas
sebagai “Wakil Komandan”.
Siaran kedua ini memuat dua keanehan. Dari
sudut organisasi militer, adalah aneh bahwa seorang Brigadir Jendral menjadi
Wakil dari seorang Letnan Kolonel. Selain itu, “Gerakan 30 September” ini
ternyata juga bukanlah sekedar gerakan militer dalam Angkatan Darat”, oleh
karena dalam “Dekrit No.1” tersebut diumumkan bahwa: “Untuk sementara waktu,
menjelang pemilihan umum Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 45, Dewan Revolusi Indonesia” menjadi sumber daripada
segala kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia.
Siaran ketiga, pada pukul 19.00 hari itu
juga, Radio Republik Indonesia Jakarta menyiarkan pidato radio Panglima Komando
cadangan Strategis Angkatan Darat
(Kostrad) , Mayor Jendral Soeharto, yang menyampaikan bahwa “Gerakan 30
September” tersebut adalah golongan kontra revolusioner, yang telah menculik
beberapa perwira tinggi Angkatan Darat, dan telah mengambil alih kekuasaan
negara, atau coup, dari PYM Presiden/ Panglima Tertinggi Abri/Pemimpin Besar
Revolusi dan melempar Kabinet Dwikora
kekedudukan demisiones. Perwira-perwira tinggi Angkatan Darat yang telah
diculik adalah: Letnan Jendral A. Yani, Mayor Jendral Soeprapto, Mayor Jendral
S. Parman, Mayor Jendral Haryono M.T., Brigadir Jendral D.I. Pandjaitan, dan
Brigadir Soetoyo Siswomihardjo. Sesuai dengan prosedur tetap Angkatan Darat,
Mayor Jendral Soeharto mengumumkan bahwa untuk sementara pimpinan Angkatan
Darat dipegang oleh beliau.
Kemudian pada tengah malam tanggal 1 Oktober
1965 itu juga, menjelang tanggal 2 Oktober, RRI menyiarkan Pengumuman
Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Soekarno bahwa beliau
dalam keadaan sehat walafiat dan tetap memegang pimpinan negara dan revolusia.
Selanjutnya pada tanggal 3 Oktober 1965,
pukul 01.30, RRI Jakarta menyiarkan pidato Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin
Besar Revolusi Bung Karno, yang selain menegaskan kembali bahwa beliau berada
dalam keadaan sehat walafiat dan tetap memegang tampuk pimpinan Negara serta
tammpuk pimpinan Pemerintahan dan Revolusi Indonesia. Beliau mengumumkan bahwa
tanggal 2 Oktober beliau telah memanggil semua Panglima Angkatan Bersenjata
bersama Wakil Perdana Menteri Kedua, Dr. Leimena, dan pejabat penting lainnya.
Pimpinan Angkatan Darat langsung berada dalam tangan beliau, dan tugas
sehari-hari dijalankan oleh Mayor Jendral Pranoto Reksosamodra, Asisten III
Men/PANGAD, Panglima Kostrad, ditunjuk untuk melaksanakan pemulihan keamanan
dan ketertiban.
Sesuai dengan pidato Presiden tersebut di
atas, pada tanggal 3 Oktober 1965 itu juga Panglima Kostrad Mayor Jendral
Soeharto mengumumkan bahwa mulai saat itu Pimpinan Angkatan Darat
dipeganglangsung oleh PYM Presiden/Panglima Tertinggi ABRI. Beliau sendiri
masih diberi tugas untuk mengembalikan keamanan sebagai sediakala.
Pada tanggal 4 Oktober 1965 pukul 20.00 RRI
Jakarta menyiarkan rekaman pidato Mayor Jendral Soeharto setelah menyaksikan
pembongkaran tujuh jenazah jendral dan satu jenazah perwira pertama yang
diculik “Gerakan 30 September” pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Jenazah
tersebut diketemukan dalam keadaan rusak di dalam sebuah sumur tua di desa
Lobang Buaya, dekat Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma Jakarta. Daerah itu
digunakan sebagai lokasi latihan Sukarelawan dan Sukarelawati yang berasal dari
Pemuda Rakyat(PR) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) oleh oknum-oknum
Angkatan Udara. Kedua organisasi ini, PR dan Gerwani, adalah “organisasi mantel”
Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuh perwira yang ditangkap oleh oknum-oknum
Cakrabirawa di kediamannya masing-masing, dibawa ke lokasi latiha PR Dan
Gerwani tersebut untuk disiksa dan dibunuh. Gerakan 30 September ternyata ke
luar merupakan aksi Cakrabirawa, ke dalam merupakan aksi PR dan Gerwani.
Pada tanggal 4 Oktober 1965 itulah diketahui
untuk pertama kalinya kejelasan mengenai “Geraka 30 September” tersebut.
gerakan itu ternyata terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang sejak
tahun 1951 membangun kembali kekuatannya setelah terlibat dalam pemberontakan
terhadap Republik Indonesia dalam bulan September 1948 di kota Madiun, Jawa
Timur.
Rangkaian Sidah Makamah Militer Kuar Biasa
(Mahmilub) untuk mengadili mereka yang terlibat dalam kudeta tersebut telah
mengungkapkan lebih dalam lagi keterlibatan PKI. Partai ini terbukti merupakan dalang dan pelaku dari aksi subversi
sejak tahun 1954, yang berpuncak pada kudeta berdarah pada awal bulan Oktober
1965 tersebut. oleh karena itu “Gerakan 30 September” tersebut disebut secara
lengkap sebagai “Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia”, atau disingkat
“G30S/PKI”.
Pengungkapan perana PKI dalam sidang
mahkamah tersebut telah menimbulkan reaksi hebat dalam masyarakat Indonesia,
yang berujung dengan ditetapkannya Ketetapan Majeis Permuyawaratan Rakyat
Sementara No. TAP-XXV/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah
Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, dan Larangan Setiap
Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran
Komunis/Marxisme-Leninisme.
Pelaksanaan Ketetapan Permusyawaratan Rakyat
Sementara tersebut mengandung implikasi adanya kewajiban idiologis untuk
memurnikan Pancasila, yang sejak tahun 1959 telah disalahtafsirkan sebagai
gabungan dari paham Nasionlisme, Agama dan Komunis (“Nasakom”). Tugas pemurnian
ini baru seesai dalam tahun 1978, dengan ditetapkannya Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat No. TAP-II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (“Eka Prasetia Pancakarsa”). Dalam tahun ini pula
dimulailah rangkaian penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
tersebut, bermula dari Pegawai Negeri disusul oleh pimpinan organisasi sosial
politik dan organisasi masyarakat,
diikuti oleh pelajar dan mahasiswa.
Dengan pertimbangan bahwa ajaran yang
bersumber dari paham Komunisme/Marxisme-Leninisme adalah merupakan ancaman
laten terhada Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dan bahwa
oleh karena kegiatan mempelajari ancaman paham Komunisme/Marxisme-Leninisme
secara ilmiah dalam rangka mengamankan Pancasila harus dilakukan secara
terpimpin di bawah kendali Pemerintah, maka dengan Instruksi Presiden No. 10
Tahun 1982 telah diinstruksikan kepada Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk menyelenggarakan Penataran Kewaspadaan
Nasional untuk Eselon I pada departemen-departemen dan instansi-instansi
pemerintahan lainnya. Penataraan Kewaspadaan Nasional ini kemudian diluaskan
kepada lapisan lainnya dalam masyarakat, baik secara khusus maupun sebagai
bagian dari penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Buku Putih ini memuat fakta dan analisis
secara komprehansif dan integral mengenai latar belakang aksi dan penumpasan
G30S/PKI, baik untuk digunakan dalam masyarakat sebagai referensi dalam
penataran kewaspadaan nasional, maupun sebagai publikasi resmi Pemerintah
Republik Indonesia Indonesia untuk masyarakat umum mengenai gerakan tersebut.
Latar belakang G30S/PKI perlu ditelusuri
sejak masuknya paham Komunisme/Marxisme-Leninisme ke Indonesia awal abad ke-20,
penyusupannya ke dalam organisasi lain, serta kaitannya dengan gerakan
komunisme internasional. Dalam hal-hal yang mendasar dari politik PKI di
Indonnesia terbukti merupakan pelaksanaan perintah dari pimpinan gerakan
komunisme internasional itu.
Ditinjau dari keseluruhan latar belakang
ini, aksi G30S/PKI dapat dibagi dalam tiga babak, yaitu babak pertama aksi
subversi untuk menyusup ke dalam kalangan lain dan untuk merusak kesetiaan
rakyat terhadap Pemerintah yang berlangsung dari tahun 1954 sampai dengan tahun
1965, babak kedua upaya percobaan kudeta, perebutan kekuasaan pemerintah, dari
bulan Juli – Oktober 1965, dan babak ketiga pemberontakan bersenjata melawan
Pemerintah Republik Indonesia yang sah dari tahun 1966 sampai tahun 1968.
Penumpasan G30S/PKI mencakup penumpasannya
secara fisik dengan menghancurkan pimpinan, organisasi, dan gerakan
bersenjatanya; penumpasannya secara konstitusional dengan melarang paham
Marxisme/Leninisme-Komunisme; dan penumpasan secara ideologis dengan mengadakan
penataran Kewaspadaan Nasional.
S u m b e r :
Sekretariat
Negara Republik Indonesia, Jakarta 1994
Gerakan
30 September PKI – Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya