Nama “Karya” tidak asing bagi Ternate.
Hanya bentuknya akan berubah, dari stensilan, menjadi cetakan dan terbitnya
setiap minggu secara teratur, tidak seperti sebelumnya yang terbit kalau
kebetulan ada kemauan dan uang. Redaksi tetap kuserahkan pada pengasuh “Karya” yang
lama, Hamid.
Sebelum penerbitan dimulai, akan
kuperkenalkan Yayasanku, sekaligus menjelaskan kedatanganku di daerah ini.
Perkenalan ini sekedarnya saja, sederhana sesuai dengan kemampuanku. Cukup
dengan persiapan waktu yang singkat.
Jika hubungan dengan masyarakat baik,
pelaksanaannya tidak akan menemui kesulitan, lebih-lebih di daerah sekecil ini
tidak perlu terlalu resmi-resmian. Gedung untuk kantor sudah ada. Bantuan dari
Hamid dan kawan-kawannya sangat besar, karena mereka lebih kenal daerah ini
daripada aku.
Dengan biaya sederhana, tapi isi dan
bentuk meriah. apa kiranya yang dapat kuselenggarakan ? tanggal 25 Nopember
1961 Yayasan ini sudah harus diperkenalkan, tiga hari cukup untuk persiapan,
walaupun perlu kerja keras sedikitt. Biasanya resepsi-resepsi di daerah
dilanjutkan dengan acara dansa. Tapi dalam acara perkenalan nanti ingin aku
meniadakannya, dengan tidak mengurangi kemeriahannya, dengan tidak mengurangi
kemeriahannya.
Bukan aku nanti dansa, meskipun aku
dapat melakukannya. Hanya aku ingin membuat acara yang lain dari biasa. Aku mau
membuat acara ketawa, karena aku tak mempunyai keuangan cukup untuk menyedikan
hidangan yang mewah. Dengan acara tertawa, hidangan tentu menjadi enak.
Undangan sudah diedarkan kepada semua
pejabat-pejabat dan wakil-wakil masyarakat, tentu tak ketinggalan rekan-rekan
kuli tinta. Musik disumbang oleh band bocah terkenal di daerah ini. Band
Kulintang yang dimainkan oleh anak-anak berumur 12 tahun. Rupanya mereka memang
memiliki bakat musik, lagi pula orang tua mereka sangat menyokong. Kalau mereka
main, orang tua mereka selalu mendampingi, sehingga hampir-hampir band itu
terdiri dari seluruh keluarga. Keluarga penggembira ini namanya J. Sigarlaki.
Kupanggil Oom dan Tante, sebutan yang lazim berlaku di daerah Maluku.
Bu Iskak ikut sibukmenyiapkan segala
seuatu untuk hiasan gedung-gedung dan lain sebagainya. Kuwrh-kuweh dari Tante
Tan; ia tinggal persis di belakang kantorku. Ia dengan sukarela membantu
pelaksanaan konsumsi. Keluarga ini baik sekali padaku, bantuannya tidak
terbatas pada konsumsi saja, untuk keperluan apa saja dapat meminta bantuan
mereka.
Sungguh aku beruntung hidup di tengah
orang-orang baik. Malam yang dinanti akhirnya tiba. Para undangan mulai
berdatangan. Tapi jam karet masih berlaku, penyakit yang sudah umum berkecamuk
di seluruh pelosok tanah air.
Akan dimulai, tamunya belum lengkap! Apa
boleh buat, menunggu dulu.
Acara pertama ialah perkenalan Yayasan
yang menharapakan bantuan dari segenap golongan masyarakat di daerah ini. Lalu
beberapa sambutan dari pejabat-pejabat setempat, dilanjutkan dengan acara
hiburannya. Musik Kulintang mulai beraksi dengan segala kemahirannya.
Lalu acara permainan berhadiah.
Permainan lucu yang beraku untuk segala umur. Lomba lagu-lagu dari dari para
hadirin, perebutan kursi, pemberian motto pada surat kabar Karya dan lain-lain
permainan. Penduduk di sekitar gedung ini semua mendekat, sehingga gedung
menjadi penuh. Mereka heran apa gerangan yang membuat ketawa demikian hebat,
ingin juga mereka tertawa. Aku tidak menduga begitu besar perhatian masyarakat
kepada malam perkenalan ini.
Permainan sederhana saja tapi membuat
orang gelak tertawa. Misalnya perebutan kursi, sungguh menyenangkan dan lucu.
Kursi diatur 11 buah, pesertanya boleh campur wanita dan pria berjumlah
11orang. Semua peserta duduk di kursi. Mulai musik bernyanyi. Peserta-pesertanya
berdiri mengelilingi kursi seirama dengan musiknya. Diwaktu mereka itu berdiri,
kursi dikurangi sebuah, jadi orang tetap 11 orang, kursinya 10 buah. Kalau
mereka nanti duduk pasti salah seorang tidak akan mendapat tempat. Begitu musik
berhenti mereka harus cepat-cepat mencari tempat duduk, sedang yang tidak
mendapat harus mengundurkan diri.
Begitulah seterusnya sampai sisa 1 kursi
diperebutkan dua orang. Siapa yang mendapat kursi terakhir itulah pemenangnya.
Sangat lucu dan ramai sukar kugambarkan. Belum lagi dengan lomba menyanyi.
Pesertanya hebat-hebat, kalah bintang-bintang radio, dan jurinyapun istimewa !
Juara digondol oleh Kepala Penjara
Ternate. Selesai semua pertandingan, mulai pembagian hadiah, dengan syarat
hadiah-hadiahnya dibuka ditempat.
Selama pembagian hadiah, tertawa tidak
henti-hentinya. Penonton masih saja mengikuti, apakah gerangan hadiah-hadiah
itu. Yang pertama mulai membuka hadiahnya, ialah Bapak Kepala Penjara. Hadiah
itu beliau terima dari Komandan Kodim Maluku Utara. Semua mata tertuju
pada beliau. Apakah gerangan hadiah itu
? hati-hati sekali kertas pembungkus dilepas satu-satu. Kenapa, sudah sekian
pembungkus dilepas, belum juga nampak barangnya.
Para penonton heran sambil tertawa,
karena Bapak Kepala Penjara menggerak-gerikkan mukanya secara menggelikan.
Terus, terus ! belum juga terlihat, sampai pembungkusnya menjadi kecil sekali.
Tinggal pembungkus terakhir, yang dengan hati-hati sekali dibukanya. Begitu terlihat bendanya, tawa
lepas sehebat-hebatnya! Isinya adalah sisir kutu, dot haji dan benda-benda lain
yang menggelikan. Orang heran, bilamana bapakk Kodim sempat mencari benda itu ?
bisa-bisanya pula berpikir untuk mendapatkan benda itu! Maka selesailah acara
malam perkenalan yang sangat meriah itu. Perut dikocok terus dari awal sampai
akhir. Rasa-rasanya tidak ingin bubar, tapi malam telah larut, jarum jam pun
berputar terus, acara harus diakhiri pula !
Perkenalan sudah dilakukan. Sekarang
harus membuktikan hasil kerjanya.
Penerbitan pertama kutetapkan tanggal 1 Desember 1961. Begitu selesai
ramai-ramai, terus bekerja untuk persiapan penerbitan. Aku hanya berdua Hamid
sebagai tenaga inti dan beberapa orang pembantu sukarela.
Aku tidak menyanggupkan honorarium, tapi
kalau ada uang tentu kuberikan. Mengapa aku tidak menyanggupi ? aku tidak mau
janjiku meleset ! Kalau nantinya tidak dapat memberi honorarium, mereka tidak
mau bekerja lagi. Tujuan surat kabar ini tidak mencari uang, melainkan sekedar
mengisi kekurangan di daerah perjuangan dimana masyarakat juga mempunai peranan
penting. Sedangkan di daerah ini sukar mendapat uang dari langganan. Lebih baik
aku mengatakan pahitnya dahulu daripada janji-janji muluk. Jika mula-mula
menggambarkan yang bagus-bagus, tapi kenyataannya buruk. Ini akan mengecewakan dan mereka akan selalu menuntut.
Aku mau lari dari sulit ke senang, tidak
sebaliknya. Aku sudah siap dengan
kesulitan. Kantorku di Ternate. Percetakan di Sorasiu. Kalau seluruhny
di Soasiu lebih sukar lagi! Disamping soal kantor, hubungan lalu-lintas Soasiu
lebih sulit. Jadi lebih tepat kiranya kalau kantor pusatnya berada di Ternate.
Sebenarnya Soasiu – Ternate tidak
seberapa jauh. Ditempuh dengan perahu motor, hanya 2 jam. Tapi karena hubungan
sukar sekali, maka seolah-olah terpisah jauh sekali. Perahu motor antara Soasiu
dan Ternate tidak teratur adanya, hanya kalau kebetulan ada pejabat-pejabat
yang perlu berpergian.
Dalam dua hari ini aku menunggu perahu
bermotr, tapi sia-sia. Aku agak gelisah. Tanggal 1 Desember sudah dekat, kurang
beberapa hari saja! dengan sabar aku menunggu bergantian dengan Hamid untuk
pulang makan. Sekarang sudah tanggal dua puluh tujuh. Kuharap motor hari ini
tiba, kalau tidak, entah macam apa dan dari mana aku dapat perahu motor kesana?
Tepat juga, jam 4 sore ada motor yang
kebetulan membawa romongan Gubernur berangkat ke Jakarta. Biasanya motor
berlabuh di jembatan kecil, tapi kali ini di jembatan besar. Aku berlari-lari
dengan Hamid ke jembatan besar!
Repot juga berlari sambil membawa
kertas, sekedar cukup untuk penerbitan pertama kali kurang lebih 50 kg.
Sesampai di jembatan besar, perahu motor sudah mulai renggang. Lekas-lekas
Hamid kusuruh meloncat dan barang-barangnya akan kulemparkan. Hanya tas yang
sempat kulempar, perahu motor sudah jauh. Aku berteriak, kiranya kemudi mau
merapatkan perahu itu, tapi ia tak menghiraukannya. Aku tak lagi dapat berbuat
apa-apa. Hanya kuharap dapat memberitahukan kepada juru motor supaya mereka
sudi kembali ke jembatan. Tapi mereka harus meluncur. Hatiku geram, karena
seharian aku menanti, akhirnya ketinggalan, lalu bagaimana dengan kertas?
Mungkinkah mencetak tanpa kertas?
Aku tak mau dikuasai oleh kekecewaan.
Perasaan kurenggut untuk menyadari, bahwa apa yang terjadi, tak perlu dirusuhkan. Usahakanlah
dengan apa yang mungkin. Perahu hilir-mudik di sekitar jembatan. Kupanggil
salah satu untuk kumintai tolong menyusul motor, yang sedang singgah di kapal
besar. Bapak perahu itu mau juga, kertas kubawa dengan hati-hati sekali supaya
tidak sampai basah. Mudah-mudahan motor itu tidak berangkat dulu. Perahu yang
kunaiki baru sepao jalan, motor telah berangkat lag. Alangkah kesal hatiku.
Baiklah pak, kembali saja. sambil menuju ke jembatan, aku bertanya dapatkah
perahu ini dipakai ke Soasiu. Aku beruntung juga, perahu ini justeru tujuannya
ke Soasiu. Bukan Soasiu yang kutuju, melainkan pulau Tidore, kampung Rum.
Perjalanan 2 jam yang mendayung. Kampung Rum masih jauh letaknya dari Soasiu, ±
24 km. Kalau sudah sampai di Rum aku harus berusaha lagi menuju Soasiu sama
sulitnya dari Soasiu ke Ternate. Hanya perahu ada pada waktu-waktu tertentu,
yakni pada hari-hari pasar, du kali seminggu. Kesulitan itu tak kupedulikan.
Pokoknya aku berangkat. Setengah delapan kami bertulak, setelah bapak perahu
selesai memuat minyak tanah. Mudah-mudahan saja mendapat angin baik. Bulan
sedang gelap. Hanya alun gelombang dan bunyi dayung menyanyikan lagu menrdu di
sekelilingku.
Air mulai gemericik masuk ke dalam
perahu. Begitu besar sayanggku pada kertas, sampai badab kubiarkan basah, atas
kertas selamat.
Mungkin orang sudah tidur semua ?
Hampir jam 10.00 aku sampai. Gelap
sekali, lampu-lampu tak kelihatan. Nampaknya seperti tidak ada kampung, karena
gelapnya.
“Kenapa,
gelap sekali pak ? Apakah masih jauh kampungnya ?”
“Tidak
Nona, di sini sudah di kampungnya; orang di kampung sini kalau sudah tidur
tidak mau lagi pasang lampu karena minyak tanah sangat mahal dan kadang-kadang
malahan tidak ada. Mereka lebih baik tidak pakai lampu, supaya menghemat”.
“Oh,
begitu”.
Ada saja kesulitan rakyat. Kemana aku
pergi, tidak pernah tidak ada kesulitan.
Bapak ini baik sekali. Aku dibantu
mengangkatkan kertas. Diantar ke tempat Pos Polisi dan memang tepat kalau aku
dibawa ke sini, sekalian aku melapor, dan mungkin mereka juga dapat menolong
mencarikan tempat bermalam.
Bapak kuberi hadiah seberapa yang ada,
sebab tasku sudah terbawa Hamid lebih dahulu. Untuk ada saku di akaikaku,
dimana ada sisa uang yang dapat kubayarkan pada beliau. Kaau tidak, dari mana
aku harus pinjam, lebih-lebih orang pengembara.
Pos Polisi juga gelap rupanya. Juga
sedang menghemat. Polisinya dibangunkan oleh bapak perahu. Mereka tidur enak
sekali; ya, gelap tiada lampu, untuk apa melek. Pantas sudah sangat sunyi
kampung ini, padahal jam 10.00 malam di jakarta belum apa-apa. Mereka segera
bangun, terus menyalakan lampu. Mereka tidak menduga siapa yang datang malam
ini, dikira orang-orang biasa dari kampung sekitarnya.
Setelah lampu menyala, mereka kaget
seolah-olah tidak percaya kalau yang datang, dulu pernah dikenalnya.
“Lho,
kak Lina ! betul kak Lina ?!
“tidak
salah, aku kak Lina”.
Mereka sangat heran, mengapa aku
malam-malam berada di daerah ini. Mereka belum tahu kesulitan yang kualami
sekarang.
Aku biasa memanggil mereka adik.
Pergaulan yang mesra ini disebabkan oleh hatiku yang rindu keluarga, ketika aku
berkeliling, dan mereka dalam keadaan sedih karena daerah tugasnya sangat
sunyi. Disitulah aku bercakap-cakap sebagai seorang kakak para polisi-polisi
muda itu.
Mereka bingung tampaknya apa yang harus
mereka lakukan dengan kedatanganku mendadak begini, lebih-lebih di malam hari.
Maka, kujelaskan mengapa malam ini aku ada di kampung itu, dan kutekankan
mereka agar tidak perlu susah-susah. Aku tahu apa yang mereka bingungkan.
Pertama mau tidur di mana?, kedua makan apa malam ini? Di kampung pada umumnya
tempat tidur cukup untuk mereka sendiri. Tidak ada sistim kamar-kamaran. Pada
jam ini orang sudah tidur. Mereka merasa segan untuk membangunkannya.
Cara makan di kampung ini tidak seperti
di Jawa. Di tempat-tempat yang agak ramai selalu ada berjualan. Tapi lain
halnya di sini. Mereka berjualan hanya dua kali satu minggu. Kalau ada tamu
datang mendadak, berarti tidak ada makanan apa-apa. Aku sudah tahu keadaan ini.
Maka kupesan pada adik-adik itu supaya tidak bingung. Tidak perlu mereka
mencarikan apa-apa bagiku.
Bapak perahu ingin menawarkan rumahnya
untuk penginapanku. Sayang, bapak itu tidak mempunyai apa-apa untuk menolongnya.
Akupun tak mengharapkan lagi sesuatu dari bapak perahu, karena cukup besar
bantuannya. Aku sudah sampai dengan selamat. Baru, setelah jelas aku diterima
di pos, bapak perahu minta diri untuk pulang. Tidurpun aku bersedia di pos,
karena hanya beberapa jam saja, hari sudah pagi.
Pakaianku terbawa oleh Hamid, yang
kupakai adalah satu-satunya yang ada. Biarlah, besok akan kering juga kena
angin, kedinginan sedikit tidak apalah. Kukatakan kepada adik-adik, bahwa aku
bisa tidur di pos danxsoal makanan mereka tidak perlu mencarinya, karena [pasti
tidak akan dapat, meski perutku sebenarnya lapar.
Mereka berempat di pos. Salah seorang
mengalah dan tidur bersama-sama kawannya. Tempat tidurnya dari bambu di atas
tikar, tapi sebagian memakai alas kain putih.
Walaupun tidak ada, mereka berusaha
membuatkan sesuatu yang lebih baik untukku. Tempat tidurnya diatur rapi, alas
tikarnya diganti alas kain putih yang
mereka pakai. Bantalnya ditutup dengan kelambu, maklumlah kotor dan anak bujang
biasanya segan mencuci. Padahal badanku juga kotor, lebih-lebih pakaianku basah
kena air laut. tidak perlu dibersihkan, akupun sehari tidak mandi. Entah macam
apa rupaku.
Sejenak
sebelum tidur, tentu mereka ingin juga mendengar kabar-kabar di Jawa. Kebetulan
ada juga yang dari Bali. Sayang aku tidak ke Bali sehingga tidak dapat
membayangkannya. Tentu beritanya semua
baik. Di Jawa belum ada perubahan apa-apa. Yang ramai tetap ramai, yang sunyi
tetap sunyi. Sayang aku tidak kenal pacar salah seorang di antara mereka
mereka. Andai kata kenal, akan lebih mengasyikkan lagi, kalau aku menceritakan
keadaan pacarnya. Semalam tidak tidurpun oke saja barangkali. Tapi belum tentu
juga. Siapa tahu mereka di sini sudah punya pacar. Aku mencba-coba memancing
mereka.
“Kakak lihat, adik-adik sekarang sudah lain
juga. Waktu baru datang tidak kerasan, ingat orang tua, pacar, dan sebagainya.
Tapi sekarang sudah berseri-seri, bahkan pulangpun tidak ingin lagi.”
“Ah tidak, kak. Kalau saya tetap saja, tapi si
Ricky yang sudah punya, dekat rumahnya. Dialah yang lupa pulang.”
“Nah, apa yang kaka katakan. Jangan dulu
bilang tidak kerasan, karena belum melihat nona-nonanya. Kalau sudah melihat,
nah itu dia, akhirnya lupa pulang,bukan? Syukur kakak juga senang mendengar
berita yang menyenangkan, berarti adik-adik adik-adik ada kemajuan yang pesat
di daerah ini.
Mereka
tertawa semua, dan si Ricky agak malu-malu tampaknya. Nama ini sebenarnya bukan
nama aslinya. Ia dapat julukan Ricky, karena rupanya mirip dengan penyanyi
Ricky Nelson.
Sekedar
senang bertemu dengan mereka, ngobrol sejenak sebelum tidur. Dan karena tidak
punya oleh-oleh, jadi oleh-olehnya adalah tertawa.
Mataku
sudah ngantuk. Sebaiknya tidur sajalah. Karena aku tidur di pos, lampu tidak
lagi dipdamkan, tetap menyala. Pikiranku melayang ke esok hari, dengan
kendaraan apa ke Soasiu.
24
km. Cukup jauh. Andaikata tanpa mendaki, 24 km. Bagiku biasa, jalan kaki,
jadilah. Tapi, besok adalah besok, tak perlu malam-malam dipikir. Hanya
mengganggu tidur saja. pokoknya tidur sampai pagi, titik.
Jam
06.00 pagi, aku bangun. Cuci muka, bersiap-siap untuk berangkat. Hanya belum
tahu dengan apa. Jalan kaki ? Adik Ricky berusaha meminjam sepeda dari orang
kampung tapi semuanya sedang dipakai. Kalau sepeda memang tidak ada, mau apa
lagi kecuali jalan kaki. Tapi, siapa tahu adik-adik polisi lainnyapun berusaha
mencari pinjaman sepeda. Ada sebuah, tapi bannya kempes. Pompa sepeda di
sekitar kampung ini tidak ada, semua dibawa bersama sepedanya. Setelah
diperiksa, ternyata kempesnya tidak seberapa, masih dapat dipakai. Kalau ada
pompa di jalan, bisa dipompa. Memakai sepeda orang, tentu tidak dapat sendirian,
harus berdua, karena harus ada yang membawa kembali sepedanya. Terpaksa
lagi salah seorang dari adik-adik
tersebut menyediakan tenaganya untuk mengantarku ke Soaiu. Untung, aku masih
ada uang Rp. 25,— sisa dari uang yang kuberikan pada bapak perahu. Rupanya sewa
sepeda itu Rp. 25,— juga. Sekarang aku sama sekali tidak punya uang. Sekalipun
ada uang, untuk apa. Makanan yang dijual tidak ada. Tanpa makan pagi atau minum
teh kami berdua berangkat.
Jalannya
mendaki-menurun. Badan rasanya letih sekali, karena bannya kempes. Aku kasihan
melihat Ricky. Sebentar-sebentar aku turun dari boncengan sambil menggendong
kertas. Kalau tidak berpikir bahwa karya harus terbit, tak perlu aku menyiksa
adik Ricky hari ini dengan mengantar aku. Panas Matahari sangat teriknya,
batu-batu tajam menggaganggu perjalanan. Ya ampun, bannya jadi kempes sama
sekali, tidak dapat lagi aku membonceng.
Kampung
masih jauh, sungguh menyedihkan. Tenggorokanku kering, perjalanan maih jauh.
“Sekarang
begini Rick, biar kakak jalan. Ricky naik sepeda sendiri. Kertasnya diikat di
belakang. Kalau ada kampung, carilah pompa dan teruslah, tidak usah tunggu
kakak.”
“Jadi kakak jalan sendiri ?”
“Tidak apa. Kertas itu lebih penting dari
kakak. Kalau sudah sampai di Soasiu serahkan pada percetakan. Di sana ada
Hamid. Beri tahu, bahwa kak Lina sedang berjalan di belakang.”
Kasihan
sekali aku melihat dia, belum makan pagi. Aku sendirian jalan kaki, tadinya ada
yang kuajak ngobrol sekalipun jarang-jarang. Tapi sekarang sunyi sekali.
Aduh,
panasnya luar biasa, panantas warna kulit penduduk Soasiu hitam-hitam.
Kendaraan umum tidak ada. Mereka yang memiliki sepeda satu-dua saja. letak
kampung-kampung berjauhan, labih-lebih di pegunungan.
Keadaan
alam pulau Tidore bergunung, tanah berbatu, kering, debunya persis seperti
tepung. Sepanjang jalan sunyi. Hanya terdengar deburan air laut. pohon-pohon
kelapa berlambaian di sepanjang pantai, alang-alang sangat lebat. Aku melihat
buah kelapa, keluar liuru. Sayang, buah kelapanya jauh di atas. Tinggallah
meneguk liur saja.
Meskipun
hanya 24 km, rasanya jauh sekali. Jam 12.30 aku sampai di percetakan, letihku
jadi hilang. Apa yang tadi malam aku khawatirka tak tercapai, akhirnya tercapai
juga, walaupun dengan susah payah. Sayang, aku tak dapat mengucapkan
terimakasih pada dik Ricky, dia sudah menghilang. Tapi aku yakin akan bertemu lagi.
Hamid
sudah mulai bekerja, tapi mukanya masam. Ada apa, tentu ada sesuatu...Apa yang
salah ? Bukankah aku baru datang langsung ke percetakan ? keringatku masih
mengalir, kaki lecet, perut lapar. Apa anggapan Hamid ? dikira aku enak-enak,
dia yang kerja keras ?
...aduh
panasnya, pantas warna kulit penduduk Soasiu hitam-hitam.
Kalau aku tak memikirkan kerja, tak
perlu susah-susah aku berusaha, biarkan ketinggalan, toh bukan salahku. Karena
aku mementingkan pekerjaan, segala jalan kutempuh asal dapat mencapai
percetakan Soasiu. Akupun bahkan belum tahu, dimana aku tinggal. Aku pura-pura
seolah-olah keadaan biasa saja, sekalipun Hamid tidak mau mendengarkan
pembicaraanku. Yang penting ialah bekerja. Biarlah dia merengut, yang “Karya”
terbit. Aku tidak mau mengganggu. Semua persoalan dibekukan dulu, cukup menjadi
pemikiran untuk diselesaikan setelah “Karya” terbit.
Percetakan di Soasiu sebenarnya cukup
kalau hanya menjalani satu Mingguan saja. intertypenya dua, lebih dari cukup.
Harianpun dapat diterbitkan. Hanya mesin cetaknya sudah tua. Untuk terbit pada
waktunya, terpaksa lembur.
Pekerjaan ini termasuk pekerjaan baru
bagi mereka. Nampaknya ruwet. Mereka hampir tak bekerja sebelumnya. Kalaupun
ada pekerjaan, tidak seperti di surat kabar, yang memastikan selesai tepat pada
waktunya. Berbeda dengan pekerjaan lain-lainnya. Tidak selesai tepat pada
wakyunya, boleh kapan-kapan saja. karena sudah keenakan menganggur, sukar
mengubahnya. Biarlah, penerbitan pertama ini merupakan percobaan, untuk berikutnya
mudah-mudahan mereka sudah biasa.
Sabtu malam jam 18.00, “Karya” keluar
tepat pada waktunya, tanggal 1 Desember 1961. Malam ini juga pada nomor
perkenalan yang kuedarkan sementara didalam kota. Esok harinya, Hamid menuju
Ternate.
Sekarang waktunya aku minta penjelasan
apa yang sebenarnya dipersoalkan Hamid. Kala memang aku salah, sepantasnya aku
minta maaf dan memperbaikinya. Ternyata, Hamid mendongkol karena tak dapat
tempat. Aneh, yang datang lebih dulu di Soasiu Hamid. Datangnyapun enak, naik perahu
motor. Bagaimana aku dapat mencarikan tempat untuk Hamid, sedang aku masih
terkatung-katung di atas perahu ?
Hamid menggerutu karena aku tidak
mencarikan tempat. Astaga, tidakkah dia melihat aku datang dengan pakaian
kotor, tidak makan, jalan kaki. Di Ternate aku dapat tempat tinggal, karena
pada waktu aku keliling Indonesia banyak yang bersimpati padaku, sehingga
sekarang tak ada kesulitan. Lain halnya di Soasiu, tidak ada yang lebih baik
kecuali tinggal dalam kemah. Aku belum ada tempat tinggal yang tetap, masih
harus berusaha. Gubernur bersedia memberi tempat untuk kantor, sekaligus untuk
tempat tinggal. Tapi beum kuurus, karena waktunya belum ada.
Sungguh aku tidak mengira, bahwa hanya
itu saja persoalannya. Kalau itu yang menjadi kemasgulannya, baiklah aku minta
maaf. Suatu pengalaman untukku, dan tak kuharapkan terulang lagi.
Maka berangkatlah Hamid. Aku tinggal untuk menyelesaikan pekerjaan di
Soasiu, dan menyusun organisasi supaya lebih sempurna. Mengatur pembagian kerja
yang sebaik-baiknya untuk kelancaran penerbitan selanjutnya.
Sekali hidup tetap hidup. “Karya” harus
terbit terus, apapun yang akan terjadi.........
Gubernur belum ada di Soasiu. Beliau
sibuk dengan persiapan-persiapannya. Sebagai Gubernur baru, tentu banyak
persoalan yang harus diselesaika, lebih-lebih Propinsinya adalah khusus
sifatnya. Tempat tinggal beliau juga belum ada. Sementara jadi satu dengan
keluarga Gubernur lama, mendapat satu ruangan. Sungguh sederhana hidup seorang
Gubernur Propinsi Irian Barat perjuangan. Makan secara rantangan. Kendaraan
Jeep sudah tua. Barangkali satu-satunya Gubernur di Indonesia dari Angkatan
Laut. di angkatan Laut organisasinya baik, tapi bagaimana dengan Propinsi ini ?
belum dihadapkan saat-saat yang rumit sekali, baik dalam bidang materiil maupun
personil.
Keadaan Propinsi ini sebenarnya sudah
krisis. Hanya nama saja yang ada. Dari pegawai paling bawah sampai paling atas,
tidak ada semangat kerja. Betapa sukarnya pekerjaan pak Gubernur baru.
Lebih-lebih beliau biasa dengan orang-orang sipil. Mereka lain dengan
orang-orang militer.
Jawatan-jawatan sunyi. Biasanya Kepala
Jawatannya tidak di tempat. Kalau di daerah lain orang sibuk memikirkan Irian
Barat, tetapi di Soasiu mereka memikirkan tetek bengek.
Mingguanku dimaksudkan sebagai alat di
daerah ini untuk menggembleng semangat rakyat menghadapi masalah Irian Barat.
Berangsur-angsur, organisasi surat kabarku menjadi baik. Hamid tetap di
Ternate, tidak perlu lagi ke Soasiu. Semua pekerjaan di sekitar Ternate
diselesaika Hamid. Pekerjaan di Soasiu kuserahkan kepada Idris Yusuf. Redaksi
tidak lagi diselenggarakan oleh Hamid sendiri, tapi ditambah. Semua
berita-berita dikirim ke Soasiu oleh Idris dan setelah digabung dengan
berita-berita yang ada di Soasiu, lalu diteruskan ke percetakan.
Pembantu-pembantu “Karya” sudah lengkap,
ada kolektor, dan lain-lainnya. Di samping Idris, ada anggota yang ulet, Saleh
namanya. Pemimpin Umum dan Penanggung Jawab kupegang sendiri, mengingat
perlunya gerak bebas, yang tidak dapat dipegang oleh orang lain. Hidup surat
kabarku lain dengan surat kabar di Ibu kota. Pemimpin umum di Soasiu sebenarnya
bukan pemimpin umum dalam arti biasa, tapi merangkap menjadi loper, kuli, dan
sebagainya.
Semuanya bekerja tanpa bayaran.
Kutanamkan pada mereka semangat pengabdian. Kita bukan saja mengatakan bersedia
mengangkat senjata menyerbu Irian Barat, tapi harus bersedia berjuang
sebelumnya, walaupun tidak sampai memanggul senjata. Banyak jalan untuk
berjuang. Di lapangan pers, ekonomi, dan lain-lainnya. Kesediaan membantu
menghidangkan kelanjutan surat kabar didaerah ini sama artinya dengan
sedikit-dikitnya ikut berjuang. Sekalipun sudah ikut berjuang, jangan
menganggap diri pejuang. Sewajarnya kita menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk
kepentingan Negara, sesuai dengan kemampuan kita. Aku melihat loper di Jakarta
bangga-bangga, tapi di sini bekerja sebagai loper malu. Kuberi contoh bahwa aku
tidak malu melakukan itu. Repot juga bagiku. Di Soasiu tidak ada nama jalan dan
nomor rumah. Surat kabar kuantar pada orang kira-kira mau berlangganan.
Tiap-tiap kampung mendapat bagian, sesuai dengan jumlah penduduknya yang dapat
membaca. Dibagikan dulu kepada tiap-tiap kepala kampung, kemudian mereka yang
membagi kepada penduduk. Jangan ditanya apakah mereka menjadi langganan, pasti
tidak mau. Yang penting penduduk membaca. Tiap-tiap kecamatan juga dikirimi,
tentu tidak sebanyak jumlah penduduknya. Cukup dibagikan pada kepala-kepala
kampung di sekitarnya, supaya mereka tahu apa berita-berita mengenai tanah
airnya. Jangan sampai mereka buta berita sama
sekali.
“Mingguan “Karya” isinya lebih kurang
sama dengan Berita Minggu. Cerita pendek, Gambang Jakarta a la daerah, ruang
pendidikan, kesehatan, empat hari sebelum terbit semua naskah tersebut harus
masuk. Hanya kolom I yang harus hangat. Berita-beritanya tidak terlambat.
Mula-mula segala sesuatu kupandang
sebagai soal-soal yang masih baru yang semuanya dapat dimaafkan. Ternyata
semakin lama semakin merosot. Hal ini tentu disebabkan, karena ada yang tidak
beres. Aku mohon bantuan dari Wakil Kepala Percetakan untuk mengawasi
pegawainya, sebab aku tidak berhak menegur langsung. Kepala percetakannya belum
datang. Karena aku belum mengenalnya, maka aku mengharap sekali kedatangannya,
supaya bisa tahu cara bekerja baik. Lembur berarti pengeluaran uang extra,
padahal pemasukan tidak ada. Berat rasanya, kalau mereka dalam satu minggu
masih harus lembur. Pekerjaan lain hampir tidak ada. Hanya mingguan “Karya”.
Terlalulah untuk satu mingguan saja tidak cukup waktu. Aku tahu mereka ingin
uang, tapi tidak pada tempatnya mereka mencari uang pada penerbitan ini,
kecuali kalau mereka tidak digaji.
Apakah anggapan mereka kami pedagang,
yang disamping membayar harga cetak
terus memberi sogokan pula. Kalau tidak ada tambahan uang, mereka tak mau
menyelesaikan pekerjaannya. Bukankah pekerjaan ini pekerjaan rutin , seharusnya
mereka berterima kasih dengan adanya surat kabar, untuk menambah pengalaman dan
sebagai latihan menggunakan intertyp, supaya lebih lancar. Mereka tidak betah
duduk di depan mesin intertyp, sebentar-sebentar menghilang, entah ke mana.
Ciri-ciri ini sudah umum. Yang satu
datang, yang lain pergi, sehingga pekerjaannya menjadi terbengkalai.
Cobalah bayangkan, datang ke kantor
terlambat, pemanasan mesin untuk mencairkan timah ± 2 jam, paling cepat jam 10.00
baru mulai bekerja. Belum lagi izin ke luar kota, yang sudah pasti satu minggu
dua kali. Izin ke pasar. Soasiu pasarnya
dibuka hanya dua kali seminggu. Dan sudah menjadi kebiasaan hampir seluruh
pegawai untuk meninggalkan pekerjaannya, berbelanja ke pasar. Jika ditambah
dengan hari Jum’at ke Mesjid, maka habislah waktunya. Terpaksa mereka harus
lembur, supaya tidak lambat dan berita-berita tidak basi.
Ayolah, apa boleh buat. Lemburlah, entah
dari mana aku berusaha mendapatkan uang. Aku hampir tidak pernah di rumah;
umurku bisa habis dalam percetakan dan Idris juga bekerja di kantor, maklum
kita-kita ini orang swasta. Sementara bekerja, akupun mondar-mandir. Diamping
selalu ada kesulitan-kesulitan kerja, aku tinggal di rumah orang. Terlalu
segan, bahwa aku sering seharian tidak di rumah. Lebih-lebih kalau lembur
sampai jauh malam.
Pak Gubernur menawarkan ruangan di rumah
beliau, mungkin sudah selesai. Aku tidak mau. Apa kata orang kalau aku
menempati sebagian rumah beliau. Tentu tidak baik. Biarlah aku berusaha rumah
lain. Sistim indekos tidak lazim di
daerah ini. Maka sukar bagiku, walaupun yang punya rumah tidak mengharapkan
apa-apa dariku. Aku tidak biasa terlalu menyusahkan orang. Lain dengan di
Ternate dimana ibu yang kutempati mengerti keadaanku. Jam berapapun aku pulang,
beliau mengetahui apa pekerjaanku. Kadang-kadang jam dua tengah malam aku
datang dari Soasiu aku naik perahu, karena cintaku pada suratkabar dan para
pembaca. Kalau terbitnya terlambat karena kesukaran lembur, sehingga pada hari
Sabtu tidak dapat mengirim Karya dengan motorboot, maka terpaksa aku berperahu
malam hari mengantarkan ke Ternate. Malam beginipun ibuku tetap membukakan pintu
dengan senang hati.
Beliau tahu aku belum makan. Maka
beliaupun menyediakan makan. Tempat tidur putih-bersih. Setiap waktu siap
tersedia. Selesai makan, aku disuruh istirahat. Sungguh aku merasa kasih sayang
orang tua, sehingga hilanglah semua kekesalan hatiku pelan-pelan, diharapkan
betul-betul supaya aku istirahat. Pagi-pagi sudah tersedia nasi. Kripik pisang
yang merupakan kegemaranku tak lupa disediakan. Ibu takut sekali kalau aku
tidak makan. Semuanya disiapkan serapi-rapinya. Kalau berangkat pakaian bersih
semua, persiapan cukup untuk satu minggu. Di Soasiu tidak ada tukang cuci,
mencuci sendiri tidak ada waktu. Pakaian-pakaian kotor kubawa pulang saja.
Kukira di Ternate pekerjaan sudah
lancar, setidak-tidaknya pengiriman ke luar tidak ada yang tertunda. Hamid
bekerja khusus di Ternate, namun distribusinya tidak bers, padahal bukan mereka
sendiri yang bekerja. Di Ternate lumayan ada loper yang mengerti dan aktif,
tapi mereka tidak bisa dilepas sendiri, harus dikontrol.
Tidak di Ternate, tidak di Soasiu, sama
saja. kalau badanku bisa dibelah, separo di Ternate separo di
Soasiu......................
Dengan tidak jemu-jemunya Hamid kuberi
penjelasan. Terkenang aku ada sebuah cerita film yang dimainkan oleh Glen Ford.
Tak ubahnya dengan yang kulakukan sekarang, betapa sibuk pekerjaan orang surat
kabar. Glen Ford hanya bekerja dengan isterinya, dibantu oleh beberapa orang
saja. segala-galanya dikerjakan sendiri. Karena sibuknya, sampai tidak ada
waktu untuk isterinya. Tak jemu-jemunya isterinya mendampingi suaminya. Susah
payah yang mereka lakukan tidak sia-sia. Akhirnya mereka mencapai sukses.
Ketika suaminya meninggal dunia, isterinya melanjutkan pekerjaan. Tidak seperti
di masa lampau, tetapi sudah tinggal duduk di belakang meja saja, karena surat
kabarnya sudah terkenal.
Begitu pula harapanku pada Hamid.
Janganlah hendaknya malu mengerjakan apa saja, asal tidak mencuri. Kalau perlu
kita harus jadi loper sendiri. Aku mengerti bagaimana rasanya seorang lelaki
yang dinilai oleh seorang nona.
Sebutan nona untuk wanita sudah
merupakan panggilan yang lazim di Maluku. Hamid cukup tampan, dan termasuk
pemuda yang terkenal di kotanya. Tak kurang desas-desus bahwa Hamid Herlinalah
yang punya. Aku hanya ada hubungan kerja, lain tidak. Aku tahu “Nona”-nya Hamid
agak marah, tapi ia segan padaku, karena tidak ada bukti-bukti yang dapat
dilancarkan padaku.
Aku tidak menghiraukan desas-desus itu.
Aku tidak hanya sendiri di daerah ini, akhirnya akan terbukti apakah
desas-desus itu benar ata tidak. Kerja, kerja, masyarakat sedang memperhatikan
kamu, itulah kata hatiku. Semua sedang mengujimu. Ini belum apa-apa, masih
banyak lagi yang akan kamu alami dan ebih besar lagi dari pada ini. Tabahkan
hatimu, pandanglah segala sesuatu dengan teliti, jangan takut melangkah kalau
memang benar. Kelak masyarakat akan mengakui kebenaranmu. Cacimaki adalah
dorongan bagimu untuk lebih berhati-hati dan teliti. Hati kecilku selalu
membisikkan kata-kata itu.
Aku kembali lagi ke Soasiu, untuk
perjuangan penaku selanjutnya. Disamping aku sibuk dengan “Karya”, aku ingin
menghidupkan kembali suasana yang mati. Kubentuk team Darmawisata, supaya ada
hiburan. Satu bulan sekali cukup, untuk mengadakan piknik bersama. Team
tersebut mengurus pelaksanaannya dan menentukan mana yang dituju. Pengikut
diminta membayar uang Rp.15,—. Segala sesuatu
disediakan oleh penyelenggara, makannya, pengangkutan kalau kebetulan
yang dituju adalah pulau lain.
Perjalannya kami lengkapi dengan band,
permainan, misalnya catur, halma, briedge, domino, dan lain-lain. Tujuannya ialah
untuk mempererat hubungan antara pejabat-pejabat setempat, dan mencari suasana
yang lain sambil mengunjungi rakyat. Penduduk yang kebetulan ada di sekitarnya,
akan senang sekali melihat kedatangan tamu-tamu. Dan secara tidak langsung kami
juga menghibur rakyat. Rakyat di peloksok-pelosok kalau tidak secara kebetulan,
barangkali tidak pernah mendengar musik seumur hidupnya.
Rencana ini akan dilaksanakan. Kebetulan
sekali pak Gubernur sudah di tempat, dan aku juga sudah mendapat tempat tinggal.
Pak Gubernur menulis surat kepada keluarga Kepala Jawatan P.U. 9Bapak
Suratin)agar ia dapat menoong supaya mau memberi ruangan padaku. Pak Gubernur
tidak ragu-ragu melindungi aku.
Mula-mula keluarga itu ragu-ragu
menerima aku. Setelah pak Gubernur menjelaskannya semua, maka beliau dengan
tangan terbuka menerima aku tinggal di rumahnya. Pak Gubernur sambil melucu mengatakan pada apak Suratin
tentangku. Siapa benci sama Herlina, sebenarnya ia iri, kata beliau. Kalau
laki-laki dia mau Herlina, tapi Herlina tidak mau. Memang terlalu orang-orang
itu, apakah tidak tahu, Herlina kerjanya tidak kenal waktu. Kadang-kadang lupa
mandi dan makan. Saya melindungi Herlina bukan karena saya mau Herlina, sama
sekali tidak. Saya melihat anak itu hidup sendiri di daerah orang lain. Andaikata
anak saya bagaimana? Semestinya saya melindungi dia, karena ia tinggal di
daerah saya dan lagi Herlina masih anak-anak. Nah, wanita yang ngiri sama
Herlina, sesungguhnya ia memang mengiri saja.......................
Begitulah pembicaraan pak Gubernur
dengan keluarga bapak Suratin. Aku senang sekali tinggal di rumah beliau
kebetulan beliau mempunyai putri sebaya denganku, biasa kupanggil dik Tati.
Rumahku cukup jauh dari percetakan. Kira-kira 5 km., di kota yang dibangun baru
Goto namanya.
Kalau kebetulan ada Jeep lewat, aku
membonceng. Sistim membonceng di sinipun sudah lazim, tidang pandang kendaraan
siap selalu bersedia diboncengi. Maklumlah rumah-rumah mereka jauh dari kota.
Apalagi kalau siang hari, aduh, bukan main panasnya.
Dalam piknik pertama, bapak Gubernur
menjadi peserta kehormatan dalam rombongan. Ini kali tidak keluar pulau. Sport
berjalan kaki ke kampung yang ada
pemandangan indah. Sekali-sekali gerak jalan hari Minggu, supaya jangan malas,
biar bangkit lagi semangatnya. Irian Barat masih menunggu, tidak boleh
kehilangan semangat karena sunyi. Sunyi bisa dibuat ramai asal mau.
Sejenak aku menikmati suasana yang
menyenangkan, hatiku gembira melihat beliau-beliau segar menikmati keindahan
alam, lupa rasanya kalau waktu beredar terus. Makan sederhana menjadi enak,
rujak tidak ketinggalan melengkapi kemeriahan piknik hari ini. Pulang dari
piknik masih sempat istirahat sore hari. Mudah-mudahan darmawisata ini berjalan
dengan baik untuk selanjutnya, meskipun aku tidak ada.
Kembali pikiranku ke surat kabar. Kapan
penerbitan ini lancar ? Sudah sampai nomor ke 6 masih juga belum baik. Dengan
hati kesal aku terpaksa memberi penjelasan kepada mereka yang ada
sangkut-pautnya dengan penerbitan. Kutandaskan pada mereka, bahwa apa yang
mereka kerjakan bukan berarti mengabdi kepadaku, tapi mengabdi kepada
perjuangan Irian Barat melalui penerbitan. Janganlah bekerja hanya mencari
uang, asal menerima gaji tiap bulan, tapi sertailah tanggung jawab. Bukan hanya
memburuh semata.
Kita tidak lagi di zaman penjajah, bekerja untuk
penjajah. Kita sudah merdeka, bekerja untuk mengisi kemerdekaan. Sekalipun
pekerjaan itu tidak berarti nampaknya. Seolah-olah memang tidak mempengaruhi
karena pekerjaannya nampak remeh, tapi mereka tidak sadar bahwa Indonesia tidak
menghendaki yang bukan-bukan dari mereka. Memang, benih-benih kemalasan semacam
ini harus diberantas. Yang biasa nganggur harus bekerja. Memang berat.
Sebaliknya yang biasa bekerjaa disuruh nganggur tidak bisa.
Aku kalau di percetakan sampai malam,
susah pulangnya. Gelap, jalan sendiri. Sepi, hanya bunyi jangkrik di sepanjang
jalan.
Seorang wanita di Soasiu terlalu keras
diteropong segala gerak geriknya, menjadi buah mulut. Sekalipun ada yang
bersedia mengantar, lihat-lihat juga suasananya. Biarlah pulang seorang diri —
tak mau aku menimbulkan heboh. Jam dua belas malam, aku pulang sendirian.
Kelompok rumah-rumah yang satu berjauhan dari kelompok rumah yang lain. Lampu
rata-rata sudah padam. Sekitar jalan masih hutan, alang-alangnya masih lebat.
Sepi, tidak ada seorangpun yang lewat. Ada bunyi kresek-kresek, bulu tengkku
berdiri. Rasa-rasanya ada yang ikut di belakangku. Jalanku menjadi berat
seekali, rumahku belum nampak. Begitu sampai di rumah, lapanglah dadaku,
rasa-rasanya aku baru hidup. Pulang malam merupakan satu siksaan. Tetapi demi
kepentingan daerah perjuangan, biarlah.
Belanda semakin hebat propagandanya.
Dewan Papua mulai dibentuk, bendera Papua dinaikkan berdampingan dengan bendera
Belanda. Tak ketinggalan, daerah ini kugerakkan untuk berdemonstrasi menentang
Dewan Papua dan penarikan bendera Papua. Dengan susah payah aku mengumpulkan
rakyat penduduk di sini yang tak tertarik pada ini dan itu. Tempat tinggal
mereka jauh-jauh. Irama daerahnya terlalu tenang, membuat malas melangkah.
Sekarang Soasiu diteropong oleh
tetangganya. Dulu pertama kali dibentuk/disahkan sebagai Propinsi, terlalu
keras berkokok. Setelah menjelang kematiannya, tetangganya senyum mengejek.
Makin hebat suara Belanda, makin ngotot sikap Indonesia. 17-8-1961 adalah titik
langkah yang tak bisa ditawar lagi. Sebelum ayam berkokok tahun 1963, Irian
Barat harus kembali ke wilayah kekuasaan kita.
Soasiu sibuk menerima tamu-tamu
kunjungan Menteri Leimena/Jendral Djatikusumo dan sebagainya. Aku percaya bahwa
beliau-beliau itu tidak ingin diterima dengan sambutan luar biasa. Kami
sesuaikan dengan keadaan daerah. Penghormatan kami bukan terletak pada
meriahnya tapi kesungguhan dan ketulusan hati. Sederhana tapi meresap. Upacara
adat yang mengada-ada, harus dikurangi bukan berarti tidak menghormati. Kami
membuat bendera merah-putih kecil-kecil. Tintanya tidak merah, setengah oranye,
karena tinta merahnya tidak ada.
Tak banyak rakyat di kampung yang datang
mengunjungi rapat umum, paling-paling para pegawai, anak-anak sekolah, Angkatan
Kepolisian. Mengerahkan ibu-ibu pun susah. Kalau ada seorang ibu ditunjuk
sebagai ketua panitia, yang lain tidak mau datang. Semua mau jadi ketua.
Mula-mula direncanakan tanpa ibu-ibu, tapi karena bapak Leimena disertai ibu,
mau tidak mau kaum ibu Soasiu harus menjemput.
Rapat umum dibuka. Dan mulailah memberi
amanatnya. Pada waktu bapak Menteri Leimena menanyakan pada rakyat yang hadir apa
yang kurang di daerah ini, dengan suara lantang menjawab, lebih-lebih anak
sekolah, tak ada rasa ragu-ragu dan takut. Mungkin mereka mengerti bahwa pada
beliaulah keluhan itu dapat disampaikan. Sekarang kesempatan itu terbuka,
menjawab pertanyaan yang sudah lama terpendam dalam bahasa rakyat.
“Tekstil pak,
beras pak, minyak tanah pak, gula pak”.
Bapak
Leimena menjawab dengan ramahnya, bahwa semua itu akan diperhatikan. Rakyat
selalu percaya, tidakpernah menuntut, selalu menunggu dengan sabar. Dari atas sudah
dikeluarkan, tapi setelah ke bawah tidak tahu kemana larinya.
Acara selesailah, semangat Irian Barat
berkobar di dada kami, setiap saat siap melaksanakan panggil/an Ibu Pertiwi.
Tamu-tamu pulang, disambut hujan lebat dan angin ribut. Yang mengantar tidak
dapat terus sampai di jempatan. Sejenak aku berbicara dengan Jendral
Djatikusumo. Apa beliau katakan ?
“Apa yang
menarik di Soasiu ini sebenarnya, sampai dipilihnya menjadi Propinsi
perjuangan. Tak ada nona-nona cantik, pulaunya terpencil.”
Aku rasa beliau hanya berkelakar
mengenai nona cantik. Karena kalau nona cantik saja tidak kurang di Soasiu. Tak
perlu kujawab, sebab beliau lebih tahu daripada aku, mengapa daerah ini yang
dijadikan Propinsi perjuangan. Setelah tamu pulang, kembali Soasiu seperti biasa.
Biarlah Soasiu sunyi, asal surat kabarku
tetap ramai. Ya, sekarang makin hebat berita-beritanya. Perang urat syaraf
terus dengan Belanda. Sedapat mungkin bukan hanya surat kabarku yang ramai.
Soasiu juga perlu hiburan. Aku tak akan mundur karena desas-desus fitnah mana
yang kuat mereka atau aku. Darmawisata mereka tentang, karena sifatnya yang
bersenang-senang. Habis, mau apa ? Apakah salah hari Minggu diisi dengan
senang-senang ? Apakah lebih baik bermenung mengeluh sunyi, bosan tidak ada
hiburan apa-apa ?
Kucoba untuk mengadakan hiburan yang
bersifat seni. Di samping sebagai hiburan, juga mendorong mereka berlatih.
Tidak perlu setiap minggu. Satu bulan sekali cukup untuk percobaan. Kuundang
band-band dari Ternate main di Soasiu, bertepatan dengan penutupan kursus
guru-guru. Meriah sekali. Band-band polisi Soasiu tak ketinggalan dengan
demonstrasinya. Suatu hal yang membanggakan, bahwa Soasiu juga mempunyai band
yang tak kalah dengan kota besar.
Ditentang lagi, katanya bertentangan
dengan agama. Apanya yang bertentangan ? kalau dansa-dansi tidak bertentangan ?
apa gunanya ada pemuda-pemuda ? Tidak untuk membekukan diri maksudnya mereka
dipindahkan ke daerah ini, dan menyerah begitu saja kepada keadaan, tanpa
inisiatif. Lama-lama mati otak kita. Gunanya ditempatkan di sini bukan disuruh
menyesuaikan diri semata-mata. Bukan disuruh mengeluh; kalau masuk kandang
embek, lalu jadi embek. Tapi mengembeklah, supaya kambing bisa jadi manusia.
Aku tidak peduli, ngomellah
dibelakangku, kalau tidak mau menegurku secara langsung. Aku bekerja untuk
daerah tidak untuk diriku. Malah diriku tak terurus. Kubagi tugas-tugasku
sedemikian rupa, supaya semua beres. Perpustakaan belum kubuka. Gedung sudah
dapat. Meja bilyar ada, tapi tidak dipakai, masih baru, ditaruh saja di gudang
beras. Sungguh sayang sekali, bisa beli tidak bisa memelihara. Kuminta meja itu
untuk melengkapi perpustakaan. Akan lebih terpelihara dan berguna kalau dipakai
daripada ditumpuk-tumpuk bersama-sama beras. Harganya mahal, 750 ribu rupiah,
ditumpuk-tumpuk percuma.
Kumaksudkan perpustakaan yang akan
dibuka kulengkapi dengan kantin, permainan catur, halma, domino, tenis meja
sekalian meja bilyar. Di depan gedung ada tempat yang luas terbuka dan
pemandangannya strategis juga. Kuatur kursi-kursi di luar seperti di Jarta.
Semua diberi kentuan, untuk menjaga tata
tertib yang baik. Ketuanya kuserahkan pada seorang puteri, anak pegawai
Kesehatan Soasiu. Wakilnya seorang pria pegawai Propinsi, Saibi. Pemuda ini
rajin, baik dan baik sekali, sopan. Pantas kalau Saibi membantu seorang puteri.
Buku-bukumulai disusun oleh mereka
berdua, aku mengawasi saja sampai semua sudah rapi, tinggal hari pembukaannya.
Sekedar selametan, makan bersama dengan para undangan.
Semalaman aku tidak tidur sampai pagi.
Memasak ayam malam hari, maklum siangnya aku bekerja lain. “Karya” tetap
meminta waktuku, tak dapat ditinggalkan. Waktu orang sudah tidur, aku berdua
dengan Saibi memotong-motong daging ayam. Tanganku sampai teolen karena
banyaknya.
Sedang aku asyikmemotongi ayam, datang
Ajun Komisaris Polisi. Rupanya kaget, ada malam-malam ketak-ketok. Aku sudah
kenal dia tapi sepintas saja, kalau tidak alah Moeslimin namanya. Beliau
bertanya, ada apa malam-malam kok belum
tidur? Kujawab, sedang potong ayam untuk slametan besok. Sejenak beliau
berdiri, terus pulang. Beres, tidak ada apa-apa seperti dugaannya semula.
Jam 11.00 siang. Tanggal 2 Pebuari 1962
Wisma Lina kubuka. Ketika itu bapak Gubernur sedang ke Jakarta. Para undangan
kupersilahkan mencoba bilyar dan permainan lain, melihat buku-buku yang
sebenarnya khusus untuk bacaan rakyat, tingkat SMA ke bawah. Tapi kalau
orang-orang tua mau juga membacanya, tidak ada halangan, boleh saja. sejak hari
pembukaan, perpustakaan terus “berjalan” setiap hari dari jam 09.00 – 15.00 dan
16.00 – 22.00. pada hari Minggu dan hari besar tutup. Lumayan juga, ada tempat
untuk rekreasi.
Pada hari-hari tertentu, kuadakan acara
yang meriah, otakku tak hentinya mencari apa-apa yang dapat kuselenggarakan di
daerah ini. Tak mengenal lelah, kesana-kemari jalan kaki.
Saudara Moeslimin kasihan juga kepadaku.
Ia menyediakan diri membantu mengantar, kalau ada waktunya yang terluang.
Misalnya sesudah di luar jam kantor. Saudara Moeslimin ada kendaraan. Tentu aku
berterima kasih dengan kesediaannya, tapi apa kata orang.............
Kalau aku terus memikirkan “kata orang”,
mati aku. Biar, apa salahnya kalau aku diantar, dijemput. Saudara Moeslimin
orang baik-baik.
Cukup kebal diriku sekarang terhadap
suara-suara. Bersuaralah besar-besar. Yang penting pekerjaanku dan kenyataannya
aku tidak berbuat kesalahan. Aku heran, kenapa kalau Herlina yang bergerak
sedikit, heboh. Tapi kalau orang lain tidak apa-apa. Meluculah aku dengan bapak
Suratin dan ibu.
“Jadi orang seperti saya, beruntung, ibu.”
“Untungnya ?”
“Coba kita perhatikan,
ibu, gerak-gerik Presiden Soekarno selalu jadi buah pembicaraan. Andaikata
orang biasa sama dengan apa yang dilakukan oleh Presiden, biasa tidak ada suara
apa-apa. Jadi sekarang saja termasuk orang luar biasa, maka segala gerak-gerik
saya orang ributkan. Kan hebat itu. Enak bukan?”
Semua jadi
ketawa, aku juga heran siapa yang mau dengan aku. Sehari belum tentu pulang,
biasanya sebagai seorang wanita tidak lupa berhiass. Hal itu tidak pernah aku
lakukan sama sekali. Ibu Suratin kadang-kadang marah padaku. Tidak banyak yang
beliau perintahkan padaku, kecuali ingatlah pulang makan, kesehatanku sangat
diperhatikan. Dugaannya barangkali aku makan di luar. Di luar tidak ada
restoran menjual makanan. Di rumah orang, aku tidak pernah singgah-singgah.
Kalau makan di
rumah orang, hanya kalau krbrtulan mereka sedang makan. Dan ini jarang sekali
terjadi. Ibu Suratin sanga khawatir dengan kesehatanku, karena hampir setiap
hari aku lupa makan.
Aku tidak
apa-apa terus dicemberuti . hanya aku
heran. Andaikata aku berkelakuan menyolok, lain daripada yang lain, memakai rok
yang istimewa, merah-merah bibir, pantas kalau
itu dicemberuti. Ya Allah, raut mukaku sudah tidak keruan. Hanya muka
pemberian Tuhan.
Pekerjaanku
makin banyak. Walaupun bukan aku sendiri yang mengerjakan, tapi belum dapat
dilepaskan sendiri. Mingguan “Karya”, perpustakaan, kegiatan-kegiatan lain yang
setiap waktu membutuhkan pemikiran. Ke Ternate merupakan kewajiban rutin
bagiku. Ke pulau-pulau di luar Soasiu mengambil bagian terbanyak waktuku. Adanya
kesediaan Ajun Komisaris Moeslimin meringankan pekerjaanku. Pulang dari
percetakan dijemput. Melihat ke perpustakaan diantar, harus naik Jeep pula
sejauh 24 Km., tak keberatan juga mengantarnya.
Beberapa hari
digossipkan Herlina dengan Moeslimin. Herlina bukan dewa. Andaikata aku senang
dengan seseorang, bukankah itu hakku ? aku belum bersuami, bisa saja, andaikata
ada yang sesuai. Tapi terang bukan Moeslimin, karena ia sudah berkeluarga, ada
anak isteri yang dicintai.
Sekalipun
terjadi saling cinta, aku tidak akan gila untuk minta kawin, sekalipun pihak
laki-laki mau. Perbuatan demikian paling kutentang. Aku tidak mau menyakiti
jenisku sendiri. Betapa pedihnya. Kebahagiaan yang mereka miliki sebelumnya,
lalu direnggut orang lain. Alangkah kejamnya. Tidak ada yang lebih hebat
daripada penderitaan seorang isteri yang diceraikan. Untung kalau tidak ada
anak-anaknya. Seorang diri penderitaan itu tidak seberapa pedih. Tapi kalau
anak-anaknya banyak, betapa sakitnya. Betapa kejamnya sebagai manusia sejenis sampai
hati merebut ayah anak-anak mereka !!
Memang tidak
semua isteri sakit hati karena diceraikan. Tapi kebanyakan demikian, karena
wanita pada umumnya hanya mencintai satu laki-laki. Kadang-kadang pria ada
seribu macam alasan, untuk mencari isteri lain. Aku tidak menerima alasan itu.
Sedapat mungkin harus diusahakan melenyapkan kekurangan yang masih menjadi
kebiasaan pada laki-laki.
Baru memandang
segi luar sudah geger. Mereka tidak tahu apa sebenarnya hub dan bisa
dibanggakanungan kami. Kami hanya bergaul baik satu sama lain. Saling
menghargai, dan bantuan tenaga diberikan kepadaku mengingat keadaan di daerah
ini sulit, lain daripada di Ibukota.
Aku tidak mau
merusak kebahagiaan orang lain, andakata kami jatuh cinta. Kedatanganku di
daerah ini bukan mencari pasangan, tapi untuk bekerja. Dan kasihan, kepada yang
jauh kutinggalkan. Tiada artinya kalau aku hanya bbermain-main di daerah ini.
Aku tidak perlu lagi mencari yang lain. Kepunyaanku cukup tampan, baik hati.
Buktinya, dia mau menunggu dengan sabar dan penuh dengan pengertian menghadapi
apa yang kulakukan.
Memang, orang
kadang-kadang suka menyamaratakan. Katanya, gadis-gadis zaman sekarang tidak
mau dengan anak-anak muda, karena kantongnya kosong. Maunya dengan bapak-bapak,
lebih-lebih yang mempunyai pangkat dan uang. Yah, itu bagi yang tujuan kawinnya
hanyalah uang dan pangkat, bukan orangnya; tapi tidak semuanya demikian.
Ada lagi
pendapat yang menggelikan. Kalau dapat menggantikan isteri orang atau berhasil
merebutnya, dialah wanita yang istimewa dan bisa dibanggakan. Sedapat mungkin
kita menghindari hal-hal ini. Bukankah wanita menentang adanya poligami.
Bagaimana bisa,
apabila kaum wanita sendiri tidak berusaha mengatasinya ? saingan dan iri hati
merupakan benih dari kawin-cerai, karena sang wanita memberi kesempatan kepada
laki-laki. Mudah-mudahan gadis-gadis kita bukan saingan ibu-ibu, supaya ibu-ibu
percaya kepada anak-anak muda. Dan ibu-ibu juga diharapkan mendidik
gadis-gadisnya hidup sederhana. Gara-gara ingin show, pakaian mentereng, tidak
mau ketinggalan zaman, mengorbankan kemurniannya semata-mata untuk bersaing
dengan sesama jenisnya. Sungguh sangat disayangkan. Inilah benih-benih
penyelewengan yang akan mengakibatkan banyaknya penderitaan, demi
bersenang-senang dan memuaskan diri sendiri. Wanita memegang peranan, dalam
mengendalikan laki-laki supaya tidak menyalahgunakan jabatannya.
Suatu ujian
berat di Indonesia di zaman sekarang. Generasi dan golongan yang sudah lebih
dulu, ada pegangan. Generasi sekarang seolah-olah sedang kehilangan tongkat.
Bebberapa gejala yang nampak menandakan, generasi sekarang mau hidup di alam
Amerika, serba mewah. Indonesia belum semaju Amerika. Mulailah dulu dengan
sederhana untuk menciptakan Indonesia menjadi Amerika, bahkan melebihinya.
Akibat
mengada-ada, semua ingin menjadi milyuner, penyakit korupsi menjalar di segala
pelosok Indonesia dari tingkat rendah sampai atas. Tidak gadisnya, tidak
ibunya, semua ingin cantik, takut ditinggal si bapak mencari wanita lain.
Bukannya aku tidak bangga kalau Indonesia banyak penduduknya yang mewah. Bangga sekali. Tapi
ingat siapa yang menikmati kemewahan itu dan darimana ?
Karena mengejar
kenikmatan yang belum waktunya, maka Indonesia menderita. Lalu ada yang
berteriak: mari kita hidup sederhana. Rakyat yang di bawah sampai detik ini
masih sangat miskin. Mereka juga ingin menikmati apa yang dinamakan oleh
sebagian bangsa Indonesia yang mewah. Kalau generasi kita sadar, apa yang di depannya itulah pengalaman. Tidak
untuk dicela, tapi sebagai pedoman untuk menentukan langkah mencapai Indonesia
masa datang. Indonesia akan mencapai seperti apa yang dicapai oleh negara lain.
Lebih dari itu juga, asal bangsa
Indonesia mau menyadari kekurangan yang ada pada diri masing-masing,
terutama tunas-tunas muda. Kurangilah nafsu akan kemewahan.
Indonesia belum
waktunya untuk gagah-gagahan, yang dibutuhkan sekarang giat bekerja, mau
menderita untuk mengisi kemerdekaan. Tapi tidak hanya bicara. Yang penting
pelaksanaannya. Aku jenis wanita, maka kuajak jenisku, karena jenisku juga
memegang peranan penting. Tak perlu lagi bersaing-saingan yang tidak
semestinya, lebih-lebih kalau kita melihat kenyataan untuk mengurangi dari
tiap-tiap pribadi masing-masing hal-hal yang keterlaluan.
Kesadaran diri
sendiri besar sekali pengaruhnya untuk membentuk jiwa bangsa Indonesia yang
positif. Termasuk di daerah kecil seperti Soasiu. Karena dimana daerah lain
tengah giat-giatnya memperjuangkan Irian Barat, Soasiu ribut dengan diri
sendiri.
Tenang itu enak,
tapi jangan terlalu tenang seperti Soasiu, sampai sukar dibangunkan, karena
nyenyaknya tidur. Dengan tiadanya kesibukan, mereka mencari-cari. Kalau yang
dicari hal-hal yang baik, tak mengapa. Tapi yang tidak baik itulah itulah yang
dicari oleh orang-orang yang nganggur.
Dengan jatuh,
bangun, jatuh, bangun, tak mau mundur, dari daerah ini, biar kalau perlu sampai
darahku tumpah di daerah ini, selama perjuangan Irian Barat berada di daerah
ini, selama itu mingguan “Karya” harus terbit. Pada-Mu Tuhan jiwa dan ragaku,
kuserahkan. Engkaulah satu-satunya Mahatahu apa yang aku lakukan. Hukumlah aku
kalau aku berbuat salah.
Dengan “Karya”
aku akan hidup di daerah ini, sampai Irian Barat kembali ke wilayah kekuasaan
Indonesia.
—
SP —
S u m b e r :
J. Herlina – Pending Emas
PT Gunung Agung – MCLXIV
Cetakan ke 2 – 1965