Sejarah
Sumedang dimulai pada tanggal 22 April 1578
Sejarah
Sumedang dimulai pada tanggal 22 April 1578 dengan berdirinya Kerajaan Sumedang
Larang yang pada masa jayanya menguasai wilayah bagian barat Pulau Jawa antara
Sungai Cisadane (di sebelah barat) dan Sungai Citanduy (di sebelah timur) atau
kurang lebih sama dengan wilayah provinsi Jawa Barat saat ini (2005). Dewasa
ini kota Sumedang terkenal dengan sebutan “Kota Tahu” karena tahu merupakan
makanan khas Sumedang yang memiliki cita rasa tersendiri yang berbeda dengan
produk tahu dari daerah lain. Kerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten
Sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi
Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan
Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu
(Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah
Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan
Demak (Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus
Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan
nasibnya sendiri. Kerajaan
Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu,
yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata
sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan
zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang
pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya
luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa
zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi
alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya
Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan
yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi
Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah
pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada
tandingnya.
Prabu
Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu
Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai
pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong
Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau
punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan
Ulun.
Berdasarkan
Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya
(Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain
menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena
itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus
menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang
Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan
kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan
beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan
kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota
harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung,
menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk
sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang
diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu
Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan
Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah
Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia
dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra,
pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti
suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan
menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal
kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu
kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu
Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi
(Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi
Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya
menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu
Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran
(Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit.
Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari
Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri
karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan
pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak
itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.
SEJARAH
SINGKAT MUSEUM PRABU GEUSAN ULUN
Sejarah
Singkat Museum Prabu Geusan Ulun.
Pada
tanggal 22 september 1912 Pangeran Aria Soeria Atmadja, Bupati Sumedang (1882 –
1919) pada waktu itu membuat surat wasiat wakaf. Beliau mewakafkan
barang-barang kepunyaan beliau pribadi, dan barang-barang lainya yang dikuasai
beliau baik barang pusaka dari para leluhur maupun barang keprabon lainnya.
Barang
yang diwakafkan tersebut bisa diambil manfaatnya oleh para ahli waris Pangeran
Mekkah . Yang ditunjuk oleh Pangeran Aria Soeria Atmadja sebagai Nazhir adalah
para pejabat yang menggantikan kedudukan beliau dan diangkat oleh “ Kanjeng
Gubernemen “
Tumenggung
R Moh Singer, diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda dan menjadi Bupati
Sumedang pada tahun 1948 /1949, beliau melihat barang-barang wakaf yang berasal
dari Pangeran Aria Soeria Atmadja tersebut tidak berada lagi pada satu tempat
dan atau telah diurus/ dipegang oleh beberapa pihak. Untuk menertibkannya R.
Moh Singer berusaha mengumpulkan kembali barang barang tersebut dan dicoba
diurus/ dilola sebaik-baiknya. maka untuk mengurus segala barang-barang wakaf
Pangeran Aria Soeria Atmdja, selanjutnya diserahkan kepada ahli waris Pangeran
Aria Soeria Atmadja,
Pada
tahun 1950 para ahli waris Pangeran Aria Soeria Atmadja setelah menerima
barang/ benda wakaf tersebut segera membentuk Yayasan Pangeran Aria Soeria
Atmdja (Yayasan P.A.S.A akte notaris Mr Soedja no.59 tanggal 28 Agustus 1950).
Untuk lebih baik lagi dalam mengurus barang wakaf ini berdasarkan putusan
Pengadilan Negeri Sumedang tanggal 26 Maret 1953 N0 29/1953 dibentuk Yayasan
Pangeran Sumedang (YPS) dengan akte notaris Mr Tan Eng Kiam no 98 tanggal 21
april 1955. Dengan demikian maka Nazhir yang semula dipegang oleh orang
perorangan sekarang dilaksanakan oleh banyak orang dalam sebuah badan hukum
berbentuk Yayasan.
Setelah
semua barang – barang pusaka peninggalan leluhur terkumpul maka di simpan pada
gedung Gendeng Karena Gendeng adalah tempat tersimpannya benda-benda pusaka
utama, maka Gendeng dianggap “Rumah Pusaka”. Untuk melestarikan benda – benda
wakaf tersebut Yayasan Pangeran Sumedang (YPS) merencanakan untuk mendirikan
sebuah Museum. Karena banyak sekali benda-benda peninggalan tersebut yang dapat
dijadikan untuk tujuan kegiatan museum sebagai upaya pengembangan kegiatan
Yayasan yang dapat bermanfaat bagi para wargi Sumedang khususnya dan masyarakat
Sumedang pada umumnya. Maka pada tanggal 11 Nopember 1973 Gedung Waditra atau
Gedung Gamelan ini diresmikan sebagai bangunan Museum maka berdirilah Museum
Wargi-Yayasan Pangeran Sumedang (YPS) yang pada mulanya dibuka hanya untuk di
lingkungan para wargi keturunan dan seketurunan Leluhur Pangeran Sumedang.
Museum Wargi –YPS ternyata mendapat respon yang baik dari para wargi Sumedang
demikian juga respon yang baik ini datang dari masyarakat Sumedang.
Pada
tanggal 7 – 13 Maret 1974 di Sumedang diadakan Seminar Sejarah Jawa Barat yang
dihadiri oleh para ahli-ahli sejarah Jawa Barat. Pada kesempatan yang baik itu
Sesepuh YPS dan Sesepuh Wargi Sumedang mengusulkan untuk memberi nama Museum
YPS yang disampaikan pada forum Seminar Sejarah Jawa Barat. Dan salah satu
hasil dari Seminar Sejarah Jawa Barat tersebut dapat diputuskan dan ditetapkan
untuk memberi nama Museum YPS, diambil dari nama seorang tokoh yang karismatik
yaitu Raja pertama dan terakhir Kerajaan Sumedanglarang yang bernama “Prabu
Geusan Ulun”. Maka pada tanggal 13 Maret 1974 Museum diberi nama menjadi Museum
“Prabu Geusan Ulun Yayasan Pangeran Sumedang.”
Perkembangan
Museum Prabu Geusan Ulun.
Pada
tahun 1973 didirikan Gedung Gamelan merupakan sumbangan dari Bapak Ali Sadikin
Gubernur DKI Jakarta waktu itu sebagai bangunan pertama Museum Prabu Geusan
Ulun (MPGU). Sebelumnya di area Museum telah berdiri bangunan Srimanganti,Bumi
Kaler dan Gendeng. Bangunan kedua MPGU adalah Gedung Gendeng yang didirikan
pada tahun 1850 kemudian diperbaiki, direnovasi pada tahun 1955 dan di
Rehabilitasi kembali pada tahun 1993.
Pada
tahun 1982, Museum “Prabu Geusan Ulun”-YPS bertambah 2 bangunan, yaitu Gedung
Srimanganti yang didirikan tahun 1706, menjadi gedung utama sebelumnya
digunakan sebagai kantor Pemda Sumedang dan Rehabilitasi dilakukan tahun 1982
dan 1993. Bangunan keempat yaitu Bumi Kaler yang didirikan tahun 1850.
Rehabilitasi bangunan dilaksanakan tahun 1982, 1993 dan 2006, sebelum digunakan
sebagai ruang koleksi museum digunakan sebagai tempat tinggal wargi keturunan
leluhur Sumedang.
Pada
tahun 1997, Museum “Prabu Geusan Ulun”-, bertambah lagi 2 bangunan, yaitu
Gedung Pusaka yang didirikan dari tahun 1990 sampai dengan 1997 atas prakarsa
R.Hj. Ratjih Natawidjaja dan wargi-wargi Sumedang, menjadi gedung kelima dan
Gedung terakhir MPGU adalah Gedung Kereta yang didirikan pada tahun 1996,
menjadi gedung keenam.
Yang
akhirnya Museum Prabu Geusan Ulun memiliki 6 (enam) buah gedung sebagai ruang
pamer koleksi. Museum Prabu Geusan Ulun Yayasan Pangeran Sumedang tercatat
didalam buku ICOM ( International Council Of Museums ) Asia-Pacific
Organisation pada tahun 1993 dengan nomor keanggotaan No. 55 .
Koleksi
Museum “Prabu Geusan Ulun” –berdasarkan Jenis Klasifikasi, yaitu :
Koleksi
Jenis Geologika/ Geografika.
Adalah
benda koleksi yang merupakan objek disiplin ilmu geologi/geografi antara lain
meliputi batuan, mineral dan benda-benda bentukan alam lainnya ( permata,
granit, andesit ), peta dan peralatan pemetaan.
Koleksi
Jenis Biologika.
Adalah
benda koleksi yang masuk katagori benda objek penelitian/dipelajari oleh
disiplin ilmu biologi, antara lain tengkorak atau rangka manusia,
tumbuh-tumbuhan dan hewan baik yang berupa fosil maupun bukan.
Koleksi
Jenis Etnografika.
Adalah
benda koleksi yang menjadi objek penelitian antropologi. Benda-benda tersebut
merupakan hasil budaya atau menggambarkan identitas suatu etnis.
Koleksi
Jenis Arkelogika.
Adalah
benda koleksi yang merupakan hasil budaya manusia masa lampau yang menjadi
objek penelitian arkeologi. Benda-benda tersebut merupakan hasil tinggalan
budaya sejak masa prasejarah sampai masuknya pengaruh budaya barat.
Koleksi
Jenis Historika.
Adalah
benda koleksi yang mempunyai “nilai sejarah”dan menjadi objek penlitian sejarah
serta meliputi kurun waktu sejak masuknya budaya barat sampai sekarang/resen (
maksudnya : sejarah baru ). Benda-benda ini pernah digunakan untuk hal-hal yang
berhubungan dengan suatu peristiwa ( sejarah ) yang berkaitan dengan suatu
organisasi masyarakat ( misal Negara, kelompok, tokoh dan sebagainya ).
Koleksi
Jenis Numismatika/ Heraldika.
Numismatika
dalah setiap mata uang atau alat tukar ( token ) yang sah. Heraldika adalah
setiap tanda jasa, lambang dan tanda pangkat resmi ( termasuk cap/stempel ).
Koleksi
Jenis Filologika.
yang
menjadi penelitian filologi, berupa naskah kuno yang ditulis tangan yang
menguraikan sesuatu hal Adalah benda koleksi atau peristiwa.
Koleksi
Jenis Keramologika.
Adalah
benda koleksi yang dibuat dari bahan tanah liat yang dibakar (baked clay )
berupa barang pecah belah.
Koleksi
Jenis Seni Rupa.
Adalah
benda koleksi seni yang mengekspresikan pengalaman artistic manusia melalui
objek-objek dua atau tiga dimensi. (nanti dapat dilihat di "Koleksi Museum
Prabu Geusan Ulun Sumedang")
Sejarah
Sumedanglarang
I.
ASAL KATA “SUMEDANG”
Kata
Sumedang berasal dari “inSUn MEdal insun maDANGan”, Insun artinya saya Medal
artinya lahir Madangan artinya memberi penerangan jadi kata Sumedang bisa
berarti “Saya lahir untuk memberi penerangan”. Kalimat “Insun Medal Insun
Madangan” terucap ketika Prabu Tajimalela raja Sumedang Larang I melihat ketika
langit menjadi terang-benderang oleh cahaya yang melengkung mirip selendang
(malela) selama tiga hari tiga malam. Kata Sumedang dapat juga diambil juga
dari kata Su yang berarti baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon,
Litsia Chinensis sekarang dikenal sebagai pohon Huru, dulu pohon medang banyak
tumbuh subur di dataran tinggi sampai ketinggi 700 m dari permukaan laut
seperti halnya Sumedang merupakan dataran tinggi.
II.
ASAL MULA SUMEDANG
Asal
mula Sumedang berasal dari Kerajaan Tembong Agung yang didirikan oleh Prabu
Guru Aji Putih ( 678 - 721 M ) putra Aria Bima Raksa / Ki Balagantrang Senapati
Galuh cucu dari Wretikandayun pendiri Kerajaan Galuh. Kerajaan Tembong Agung
berada di Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung
Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Pada masa Prabu Tajimalela ( 721
- 778 M ) putra dari Guru Aji Putih di bekas Kerajaan Tembong Agung didirikan
Kerajaan Sumedang Larang. Sumedang Larang berarti tanah luas yang jarang
bandingnya” (Su= bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya).
Masa
kejayaan Sumedang Larang pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601
M) ketika pada masa pemerintahan Pangeran Santri / Pangeran Kusumahdinata I
raja Sumedang Larang ke-8 ayah dari Prabu Geusan Ulun pada tanggal 22 April
1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya
Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh
Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan),
Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka
Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang
pada waktu itu dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran
Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu
Geusan Ulun sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda Padjajaran dan Raja
Sumedang Larang ke-9. Ketika dinobatkan sebagai raja Prabu Geusan Ulun berusia
+ 23 tahun menggantikan ayahnya Pangeran Santri yang telah tua dan pada tanggal
11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M kerajaan
Pajajaran “Sirna ing bumi” Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan pasukan
Kesultanan Surasowan Banten
Yang
akhirnya Sumedang mewarisi wilayah bekas wilayah Padjajaran dengan wilayahnya
meliputi seluruh Padjajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa dengan
batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes sekarang) di sebelah timur,
Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa
sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedang Larang yaitu
Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah
kekuasaannya, wilayah Sumedang Larang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa
Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah
Cirebon sekarang menjadi bagian Jawa Barat. sehingga Prabu Geusan Ulun mendapat
restu dari 44 penguasa daerah Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante,
Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada
Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi. Pemberian pusaka
Padjajaran pada tanggal 22 April 1578 akhirnya ditetapkan sebagai hari jadinya
Kabupaten Sumedang.
Peristiwa
penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Cakrawarti atau Nalendra merupakan
kebebasan Sumedang untuk mengsejajarkan diri dengan kerajaan Banten dan
Cirebon. Arti penting yang terkandung dalam peristiwa itu ialah pernyataan
bahwa Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan
Kerajaan Pajajaran di Bumi Parahiyangan. Pusaka Pajajaran dan beberapa atribut
kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jaya Perkosa dari Pakuan dengan sendirinya
dijadikan bukti dan alat legalisasi keberadaan Sumedang, sama halnya dengan
pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak dan Mataram.
III.
DARI MASA KERAJAAN KE MASA KABUPATEN
Pada
tahun 1601 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Pangeran Aria
Soeriadiwangsa, pada masa Aria Soeriadiwangsa kekuasaan Sumedang Larang di
daerah sudah menurun dan Mataram melakukan perluasan wilayah ke segala penjuru
tanah air termasuk ke Sumedang. Pada waktu itu Sumedang Larang sudah tidak
mempunyai kekuatan untuk melawan yang akhirnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa
pergi ke Mataram untuk menyatakan Sumedang menjadi bagian wilayah Mataram pada
tahun 1620. Wilayah bekas kerajaan Sumedang Larang diganti nama menjadi
Priangan yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti daerah yang berasal
dari pemberian yang timbul dari hati yang ikhlas dan Pangeran Aria
Soeriadiwangsa diangkat menjadi Bupati Sumedang pertama dan diberi gelar Rangga
Gempol I (1601 – 1625 M). Sumedang menjadi bagian dari wilayah Mataram karena
Pangeran Aria Soeriadiwangsa I mengganggap ; 1. Sumedang sudah lemah dari segi
kemiliteran, 2. menghindari serangan dari Mataram karena waktu itu Mataram
memperluas wilayah kekuasaannya dari segi kekuatan Mataram lebih kuat daripada
Sumedang dan 3. menghindari pula serangan dari Cirebon dan VOC. Sultan Agung
kemudian membagi-bagi wilayah Priangan menjadi beberapa Kabupaten yang
masing-masing dikepalai seorang Bupati, untuk koordinasikan para bupati
diangkat seorang Bupati Wadana. Pangeran Rangga Gempol I adalah Bupati Sumedang
yang merangkap sebagai Bupati Wadana Priangan pertama (1601 – 1625 M).
Yang
akhirnya wilayah Sumedang Larang pada masa Prabu Geusan Ulun menjadi wilayah
Sumedang sekarang. Berakhirlah sudah kerajaan Sunda terakhir Sumedang Larang di
Jawa Barat Sumedang memasuki era baru yaitu Kabupaten pada tahun 1620 sampai
sekarang. Sejak menjadi Kabupaten, Bupati yang memimpin Sumedang sampai tahun
1949 merupakan keturunan langsung dari Prabu Geusan Ulun (lihat masa
pemerintahan) tetapi pada tahun 1773 – 1791 yang menjadi Bupati Sumedang adalah
Bupati penyelang / sementara dari Parakan Muncang. Menggantikan putra Bupati
Surianagara II yang belum menginjak dewasa Rd. Djamu atau terkenal sebagai
Pangeran Kornel.
IV.
LETAK IBUKOTA KERAJAAN DAN KABUPATEN ( 678 – 1706 M )
BEKAS
IBUKOTA KERAJAAN
1.
Tembong
Agung - Leuwi Hideung Darmaraja
678
– 893
-
Prabu Guru Aji Putih
-
Prabu Tajimalela.
-
Prabu Lembu Agung
-
Raja Tembong Agung.
-
Raja Sumedang Larang 1
-
Raja Sumedang Larang 2
2.
Ciguling
– Pasanggrahan Sumedang Selatan
893
– 1530
-
Prabu Gajah Agung.
-
Prabu Pagulingan.
-
Sunan Guling.
-
Prabu Tirtakusumah.
-
Nyi Mas Patuakan
-
Raja Sumedang Larang 3
-
Raja Sumedang Larang 4
-
Raja Sumedang Larang 5
-
Raja Sumedang Larang 6
-
Raja Sumedang Larang 7
3.
Kutamaya
- Padasuka
1530
– 1578
Ratu
Pucuk Umum / Pangeran Santri
-
Raja Sumedang Larang 8
4.
Dayeuh
Luhur - Ganeas
1578
- 1601
Prabu
Geusan Ulun
-
Raja Sumedang Larang 9
BEKAS
IBUKOTA KABUPATIAN
No.
NAMA
TEMPAT
TAHUN
MASA
PEMERINTAHAN
1.
Tegal
Kalong – Sumedang Utara
1601
– 1625
Rangga
Gempol I.
2.
Canukur
Sukatali - Situraja
1601
- 1625
Rangga
Gede
3.
Parumasan
1625
- 1633
Rangga
Gede.
4.
Tenjo
Laut Cidudut - Conggeang
1633
- 1656
Rangga
Gempol II
5.
Sulambitan
– Sumedang Selatan
1656
- 1706
Pangeran
Panembahan
6.
Regol
Wetan – Sumedang Selatan
1706
- sekarang
Dalem
Adipati Tanumadja
MASA
PEMERINTAHAN
RAJA
DAN BUPATI SUMEDANG
MASA
KERAJAAN.
Prabu
Guru Aji Putih (Raja Tembong Agung) 678 - 721
Batara
Tuntang Buana / Prabu Tajimalela. 721 - 778
Jayabrata
/ Prabu Lembu Agung 778 - 893
Atmabrata
/ Prabu Gajah Agung. 893 - 998
Jagabaya
/ Prabu Pagulingan. 998 - 1114
Mertalaya
/ Sunan Guling. 1114 – 1237
Tirtakusuma
/ Sunan Tuakan. 1237 – 1462
Sintawati
/ Nyi Mas Ratu Patuakan. 1462 – 1530
Satyasih
/ Ratu Inten Dewata Pucuk Umum 1530 – 1578
(
kemudian digantikan oleh suaminya Pangeran Kusumadinata I / Pangeran Santri )
Pangeran
Kusumahdinata II / Prabu Geusan Ulun 1578 – 1601
MASA
BUPATI PENGARUH MATARAM.
11.
Pangeran Suriadiwangsa / Rangga Gempol I 1601 – 1625
12.
Pangeran Rangga Gede / Kusumahdinata IV 1625 – 1633
13.
Raden Bagus Weruh / Pangeran Rangga Gempol II. 1633 – 1656
14.
Pangeran Panembahan / Rangga Gempol III 1656 - 1706
MASA
PENGARUH KOMPENI VOC.
15.
Dalem Adipati Tanumadja. 1706 – 1709
16.
Pangeran Karuhun / Rangga Gempol IV 1709 – 1744
17.
Dalem Istri Rajaningrat 1744 – 1759
18.
Dalem Adipati Kusumadinata VIII / Dalem Anom. 1759 - 1761 19. Dalem Adipati
Surianagara II 1761 - 1765 20. Dalem Adipati Surialaga. 1765 – 1773
IV.
MASA BUPATI PENYELANG / SEMENTARA
21.
Dalem Adipati Tanubaya 1773 – 1775
22.
Dalem Adipati Patrakusumah 1775 – 1789
23.
Dalem Aria Sacapati. 1789 – 1791
MASA
PEMERINTAHAN BELANDA.
Merupakan
Bupati Keturunan Langsung leluhur Sumedang.
24.
Pangeran Kusumadinata IX / Pangeran Kornel. 1791 – 1828
25.
Dalem Adipati Kusumayuda / Dalem Ageung. 1828 – 1833
26.
Dalem Adipati Kusumadinata X / Dalem Alit. 1833 – 1834
27.
Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja 1834 – 1836
28.
Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Sugih. 1836 – 1882
29.
Pangeran Aria Suriaatmadja / Pangeran Mekkah. 1882 – 1919
30.
Dalem Adipati Aria Kusumadilaga / Dalem Bintang. 1919 – 1937
31.
Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria. 1937 – 1946
MASA
REPUBLIK INDONESIA
32.
Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria. 1945 – 1946
33.
R. Hasan Suria Sacakusumah. 1946 – 1947
34.
R. Tumenggung Mohammad Singer. 1947 – 1949
35.
R. Hasan Suria Sacakusumah. 1949 – 1950
(Bupati
terakhir keturunan langsung leluhur Sumedang)
SEJARAH
MUSEUM PRABU GEUSAN ULUN.
Awal
berdirinya Museum Prabu Geusan Ulun, diawali berdirinya “Yayasan Pangeran Aria
Soeria Atmadja (YAPASA)”, yayasan yang mengurus, memelihara dan mengelola
barang – barang wakaf Pangeran Aria Soeria Atmadja Bupati Sumedang 1882 – 1919.
Untuk melestarikan benda – benda wakaf tersebut YAPASA merencanakan untuk
mendirikan Museum. Pada tahun 1973 YAPASA berubah nama menjadi Yayasan Pangeran
Sumedang (YPS) dan didirikan sebuah Museum yang bernama Museum Yayasan Pangeran
Sumedang yang pada mulanya dibuka hanya untuk di lingkungan para wargi
keturunan dan seketurunan Leluhur Pangeran Sumedang.
Pada
tanggal 7 – 13 Maret 1974 di Sumedang diadakan Seminar Sejarah Jawa Barat yang
dihadiri oleh para ahli-ahli sejarah Jawa Barat. Pada kesempatan yang baik itu
Sesepuh YPS dan Sesepuh Wargi Sumedang mengusulkan untuk mengganti nama Museum
YPS. Dan salah satu hasil dari Seminar Sejarah Jawa Barat tersebut dapat diputuskan
dan ditetapkan untuk memberi nama Museum YPS, diambil dari nama seorang tokoh
yang karismatik yaitu Raja pertama dan terakhir Kerajaan Sumedanglarang yang
bernama “Prabu Geusan Ulun”. Maka pada tanggal 13 Maret 1974 Museum YPS diberi
nama menjadi Museum “Prabu Geusan Ulun” .
Gedung
pertama yang dipakai sebagai Museum adalah Gedung Gendeng
Pada
tanggal 7 – 13 Maret 1974 di Sumedang diadakan Seminar Sejarah Jawa Barat yang
dihadiri oleh para ahli-ahli sejarah Jawa Barat. Pada kesempatan yang baik itu
Sesepuh YPS dan Sesepuh Wargi Sumedang mengusulkan untuk memberi nama Museum
YPS yang disampaikan pada forum Seminar Sejarah Jawa Barat. Dan salah satu
hasil dari Seminar Sejarah Jawa Barat tersebut dapat diputuskan dan ditetapkan
untuk memberi nama Museum YPS, diambil dari nama seorang tokoh yang karismatik
yaitu Raja pertama dan terakhir Kerajaan Sumedanglarang yang bernama “Prabu
Geusan Ulun”. Maka pada tanggal 13 Maret 1974 Museum YPS diberi nama menjadi
Museum “Prabu Geusan Ulun” –
Sumedang
Dari Masa Ke Masa
INSUN
MEDAL DARI MASA KE MASA
I.
MASA KERAJAAN.
SUMEDANG
LARANG
“Insun
Medal Insun Madangan”
Dalam
Carita Parahiyangan dan catatan Bujangga Manik bahwa sekitar kaki Gunung Tompo
Omas (Tampomas) terdapat sebuah Kerajaan Medang Kahiyangan (252 – 290 M), dan
menurut catatan Bujangga Manik juga bahwa posisi Sumedang Larang berada di
Cipameungpeuk, dilihat dari posisi Sumedang Larang (998 – 1114 M) bahwa yang
memegang kekuasaan waktu itu adalah Prabu Pagulingan. Dilihat dari masa kedua
kerajaan tersebut sangat berjauhan dan tidak ada hubungan sama sekali,
berdasarkan penyelusuran penyusun bahwa keturunan dari Medang Kahiyangan
merupakan keturunan Raja Salakanagara ke 5 dari Prabu Dharma Satya Jaya Waruna
Dewawarman menantu Dewawarman IV, sedangkan menurunkan keturunan Sumedang
Larang berasal Manikmaya Kerajaan Kendan menantu Suryawarman raja Tarumanagara
ke 7 yang kemudian juga menurunkan raja-raja Galuh dan Sunda
Cikal
bakal berdirinya kerajaan Sumedang Larang berawal dari kerajaan Tembong Agung.
Berdirinya kerajaan Tembong Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh
Pakuan yang didirikan oleh Wretikandayun 612 M, sedangkan kerajaan Tembong
Agung didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih 678 M di Citembong Girang Kecamatan
Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan
Darmaraja. Prabu Guru Aji Putih merupakan putra Ratu Komara keturunan dari
Wretikandayun. Prabu Guru Aji Putih hasil pernikahan dengan Dewi Nawang Wulan
(Ratna Inten) memiliki empat orang putra; yang sulung bernama Batara Kusuma
atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, yang
kedua Sakawayana alias Aji Saka, yang ketiga Haris Darma dan yang terakhir
Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana. Dalam kropak 410 disebutkan pula bahwa
Tajimalela itu adalah Panji Romahyang putera Demung Tabela Panji Ronajaya dari
Dayeuh Singapura. Tajimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340 - 1350)
penguasa di Kawali dan Suryadewata ayah Batara Gunung Bitung di Majalengka.
Dalam masa pemerintahan Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475), Singapura
diperintah oleh putranya yang kedua Surawijaya Sakti yang kemudian digantikan
oleh adiknya Ki Gedeng Sindangkasih, putra Wastu Kancana yang ketiga yang
disebut Mangkubumi Sumedang Larang karena waktu itu Sumedang Larang menjadi
kerajaan bawahan Galuh. Kemunculan Sumedang Larang tentu sejalan dengan kasus
kemunculan kerajaan Talaga yang dirintis oleh tokoh Praburesi yang tetap berada
di bawah Galuh.
Ketika
Batara Kusuma sedang bertapa , terjadi suatu keajaiban alam di kaki Gunung
Cakrabuana, ketika langit menjadi terang-benderang oleh cahaya yang melengkung
mirip selendang (malela) selama tiga hari tiga malam sehingga Batara Kusuma
berucap “ In(g)sun Medal In(g)sun Madangan” (In(g)sun artinya “saya”, Medal artinya
lahir dan Madangan artinya memberi penerangan) maksudnya “Aku lahir untuk
memberikan penerangan” dari kata-kata tersebut terangkailah kata Sumedang, kata
Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang
bandingnya” (Su= bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya),
sehingga Batara Kusuma dikenal pula sebagai Tajimalela dan kata Sumedang bisa
diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan Medang adalah nama
sejenis pohon, Litsia Chinensis sekarang dikenal sebagai pohon Huru, dulu pohon
medang banyak tumbuh subur di dataran tinggi sampai ketinggi 700 m dari
permukaan laut seperti halnya Sumedang merupakan dataran tinggi. Selain itu
Tajimalela menciptakan ilmu Kasumedangan terdiri dari 33 pasal “Sideku Sinuku
Tunggal Mapat Pancadria” ilmu yang berisikan hubungan manusia dengan Sang
Pecipta dan Antara manusia dengan manusia, seperti yang terpancar dalan tembang
Sinom berikut :
Sumanget
ka Sumedangan
Tara
ngukut kanti risi
Tara
reuwas ku beja
Sikepna
titih carincing
Jauh
tina hiri dengki
Nyekel
tetekon nu luhung
Gagah
bedas tanpa lawan
Handap
asor hade budi
Kasabaran
nyata elmu katunggalan
Prabu
Tajimalela merupakan raja pertama Kerajaan Sumedang Larang (721 – 778 M) yang
berkedudukan Tembong Agung Darmaraja dibekas kerajaan Prabu Guru Aji Putih.
Prabu Tajimalela mempunyai tiga orang putra yaitu ; yang pertama Jayabrata atau
Batara Sakti alias Prabu Lembu Agung, yang kedua Atmabrata atau Bagawan Batara
Wirayuda yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung, dan yang terakhir Mariana Jaya
atau Batara Dikusuma dikenal sebagai Sunan Ulun, yang pertama menjadi raja
kedua Sumedang Larang adalah Lembu Agung (778 – 893 M) kemudian digantikan oleh
Gajah Agung . Kisah awal Prabu Gajah Agung sangat mirip kisah awal Kerajaan
Mataram menurut versi Babad Tanah Jawi tetapi melihat masa pemerintahannya
Prabu Gajah Agung pada tahun 839 M sedangkan Ki Ageng Pamanahan tahun 1582 M
jelas terlihat waktu yang sangat berbeda. Menurut kisah Babad Tanah Jawi itu Ki
Ageng Sela memetik dan menyimpan buah kelapa muda sementara Ki Ageng Sela
pergi, datanglah Ki Ageng Pamanahan yang kemudian meminumnya, yang akhirnya Ki
Ageng Pamanahan menjadi Raja Mataram sedangkan dalam Babad Darmaraja ketika
Prabu Tajimalela menunjuk Lembu Agung untuk menjadi raja Sumedang Larang yang
kedua, Lembu Agung menolaknya, Lembu Agung memilih untuk menjadi resi daripada
menjadi seorang raja sepertinya adiknya Sunan Ulun menjadi resi demikian pula
dengan Gajah Agung menolak, akhirnya Tajimalela memanggil kedua putera
kembarnya yaitu Lembu Agung dan Gajah Agung, ketika kedua puteranya datang
Prabu Tajimalela menyuruh kedua puteranya untuk menunggui sebuah kelapa muda
dan sebilah pedang di tengah lapangan berapa saat kemudian Prabu Tajimalela
pergi meninggalkan mereka berdua, setelah menunggu berapa lama kemudian Prabu
Lembu Agung pergi sementara tinggallah Prabu Gajah Agung seorang diri akhirnya
Prabu Gajah Agung tak kuat menahan haus kemudian meminumnya buah kelapa
tersebut, akhirnya Prabu Tajimalela menunjuk Atmabrata yang dikenal sebagai
Prabu Gajah Agung (893 – 998 M) sebagai raja Sumedang Larang kedua, periode
pemerintahan kedua keturunan Prabu Tajimalela lebih kepada karesian dari pada
keprabuan dan mulai dari sini pusat pemerintahan dipindah dari Darmaraja ke
Ciguling Pasanggrahan Sumedang Selatan. Prabu Gajah Agung mempunyai putra
bernama Wirajaya atau Jagabaya atau dikenal sebagai Prabu Pagulingan (998 –
1114 M) kemudian menjadi raja Sumedang Larang keempat. Setelah wafatnya Prabu
Pagulingan digantikan oleh Mertalaya yang putra; Tirta Kusuma dikenal sebagai
Sunan Tuakan, Jayadinata dan Kusuma Jayadiningrat. Setelah Sunan Guling wafat
digantikan oleh puteranya bernama Tirtakusuma atau Sunan Tuakan (1237 – 1462 M)
sebagai raja Sumedang Larang yang keenam. Sunan Tuakan memiliki tiga putri;
yang sulung Ratu Ratnasih alias Nyi Rajamatri diperistri oleh Sri Baduga
Maharaja Jaya Dewata Pakuan Pajajaran, yang kedua Ratu Sintawati alias Nyi Mas
Ratu Patuakan dan yang ketiga Sari Kencana diperisteri oleh Prabu Liman Sanjaya
keturunan Prabu Jaya Dewata.
Situs
bekas Benteng Keraton Sumedang Larang di Ciguling – Ds. Pasanggrahan
Sumedang
Selatan.
Kemudian
Sunan Tuakan digantikan oleh putrinya yang kedua yang bernama Ratu Sintawati
alias Nyai Mas Patuakan (1462 – 1530 M) sebagai raja Sumedang Larang ketujuh,
Ratu Sintawati menikah dengan Sunan Corenda raja Talaga putera Ratu Simbar
Kancana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala penguasa Galuh. Dari Ratu Sintawati
dan Sunan Corenda mempunyai putri bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu
Inten Dewata setelah menjadi penguasa Sumedang yang kedelapan bergelar Ratu
Pucuk Umum (1530 – 1578 M). Pada
masa Ratu Sintawati agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529 M.
Agama Islam disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Pangeran Palakaran putera Maulana
Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Pangeran Palakaran menikah dengan Nyi
Armilah seorang puteri Sindangkasih Majalengka dan hasil pernikahan tersebut
pada tanggal 6 bagian gelap bulan jesta tahun 1427 saka (+ 29 Mei 1505 M)
lahirlah seorang putra bernama Rd. Solih atau Ki Gedeng Sumedang alias Pangeran
Santri. Kemudian Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum, yang akhirnya
Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang,
Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Pangeran
Kusumadinata I pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 saka (+ 21
Oktober 1530 M), Pangeran Santri merupakan murid Sunan Gunung Jati.
Pangeran
Santri merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan
di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru, sampai sekarang
di sekitar situs Kutamaya dapat dilihat batu bekas fondasi tajug keraton
Kutamaya. Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka (+ 19 Juli
1558 M) lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun
putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umum. Pada masa pemerintahan
Pangeran Santri kekuasaan Pajajaran sudah menurun di beberapa daerah termasuk
Sumedang dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal
8 Mei 1579 M Pajajaran “Sirna ing bumi” Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan
pasukan Kesultanan Surasowan Banten . Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at
legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di
Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante
yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya
(Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa
pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang
Larang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II
dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 –
1610) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah
Pajajaran, sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (h. 69) yang
berbunyi; “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya
ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya
ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah
runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak
di Kutamaya dalam daerah Sumedang) selanjutnya diberitakan “Rakyan Samanteng
Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain
di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun). “Anyakrawartti” biasanya
digunakan kepada pemerintahan seorang raja yang merdeka dan cukup luas
kekuasaannya. Dalam hal ini istilah “nyakrawartti” maupun “samanta” sebagai
bawahan, cukup layak dikenakan kepada Prabu Geusan Ulun, hal ini terlihat dari
luas daerah yang dikuasainya, dengan wilayahnya meliputi seluruh Padjajaran
sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali
(daerah Brebes sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat,
Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak
termasuk wilayah Sumedang Larang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan
Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedang Larang dulu
hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten
dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian Jawa Barat. Pada
saat penobatannya Pangeran Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4 bulan.,
sebenarnya Pangeran Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja sedangkan
tradisi yang berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun tetapi Pangeran
Angkawijaya mendapat dukungan dari empat orang bersaudara bekas Senapati dan
pembesar Pajajaran, keempat bersaudara tersebut merupakan keturunan dari Prabu
Bunisora Suradipati. Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 menceritakan keempat
bersaudara itu “Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala,
sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya” (Mereka mengabdi kepada Prabu
Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur
pemerintahan dan lain-lainnya), sehingga mendapat restu dari 44 penguaa daerah
Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam
Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul
dengan cacah sebanyak + 9000 umpi, untuk menjadi nalendra baru pengganti
penguasa Pajajaran yang telah sirna. Tidak semuanya bekas kerajaan bawahan
Pajajaran mengakui Prabu Geusan Ulun sebagai nalendra , sehingga terpaksa Prabu
Geusan Ulun menaklukan kembali kerajaan-kerajaan tersebut seperti Karawang,
Ciasem, dan Pamanukan.
HANJUANG
DI KUTAMAYA.
Pada
masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun ada suatu peristiwa penting, menurut
Pustaka Kertabhumi I/2 (h.70) peristiwa Harisbaya terjadi tahun 1507 saka atau
1585 M. Peristiwa ini dimulai ketika Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari
Demak dan Pajang, singgah di Keraton Panembahan Ratu penguasa Cirebon ketika
Prabu Geusan Ulun sedang bertamu di Cirebon, sang Prabu bertemu dengan Ratu
Harisbaya isteri kedua Panembahan Ratu yang masih muda dan cantik. Harisbaya
merupakan puteri Pajang berdarah Madura yang di “berikan” oleh Arya Pangiri
penguasa Mataram kepada Panembahan Ratu. Pemberian Harisbaya ke Panembahan Ratu
oleh Arya Pangiri agar Panembahan Ratu bersikap netral karena setelah
Hadiwijaya raja Pajang wafat terjadilah perebutan kekuasaan antara keluarga
keraton Pajang yang didukung oleh Panembahan Ratu menghendaki agar yang
menggantikan Hadiwijaya adalah Pangeran Banowo putra bungsunya, tetapi pihak
keluarga Trenggono di Demak menghendaki Arya Pangiri putra Sunan Prawoto dan
menantu Hadiwijaya sebagai penggantinya yang akhirnya Arya Pangirilah yang
meneruskan kekuasaan di Pajang. Selama
berguru di Demak Prabu Geusan Ulun belajar ilmu keagamaan, sedangkan di Pajang
berguru kepada Hadiwijaya belajar ilmu kenegaraan dan ilmu perang, selama di
Pajang inilah Prabu Geusan Ulun berjumpa dengan Harisbaya dan menjalin hubungan
kekasih yang akhirnya hubungan kekasih ini terputus karena Ratu Harisbaya di
paksa nikah dengan Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri. Ada kemungkinan setelah
pulang berguru dari Demak dan Pajang Prabu Geusan Ulun singgah di Cirebon untuk
memberikan ucapan selamat kepada Panembahan Ratu atas pernikahannya dengan
Harisbaya dan sekalian melihat mantan kekasih. Melihat mantan kekasihnya datang
rasa rindu dan cintanya Harisbaya ke Geusan Ulun makin mengebu-gebu, setelah
Panembahan Ratu tidur Harisbaya mengedap-edap mendatangi tajug keraton dimana
Prabu Geusan Ulun beristirahat dan Harisbaya datang membujuk Geusan Ulun agar
membawa dirinya ke Sumedang ketika itu Geusan Ulun bingung karena Harisbaya
adalah istri pamanya sendiri sedangkan Harisbaya mengancam akan bunuh diri
apabila tidak dibawa pergi ke Sumedang, setelah meminta nasehat kepada empat
pengiringnya akhirnya malam itu juga Harisbawa dibawa pergi ke Sumedang.
Keesokan paginya keraton Cirebon gempar karena permaisuri hilang beserta tamunya,
melihat istrinya hilang Panembahan Ratu memerintahkan prajuritnya untuk
mengejar tetapi prajurit bayangkara Cirebon yang mengusul Geusan Ulun rombongan
dapat dipukul mundur oleh empat pengiring sang prabu. Akibat peristiwa
Harisbaya tersebut terjadilah perang antara Sumedang dan Cirebon, sebelum
berangkat perang Jaya Perkosa berkata kepada Prabu Geusan Ulun, ia akan menanam
pohon Hanjuang di Ibukota Sumedang Larang (Kutamaya) sebagai tanda apabila ia
kalah atau mati pohon hanjuang pun akan mati dan apabila ia menang atau hidup
pohon hanjuang pun tetap hidup, sampai sekarang pohon hanjuang masih hidup?
Setelah berkata Jaya Perkosa berangkat bertempur karena pasukan Cirebon sangat
banyak maka perangpun berlangsung lama dalam perang tersebut dimenangkan oleh
Jaya Perkosa, dipihak lain Nangganan, Kondang Hapa dan Terong Peot kembali ke
Kutamaya sedangkan Jayaperkosa terus mengejar pasukan Cirebon yang sudah cerai
berai. Di Kutamaya Prabu Geusan Ulun menunggu Jaya Perkosa dengan gelisah dan
cemas, karena anjuran Nangganan yang mengira Senapati Jaya Perkosa gugur dalam
medan perang agar Prabu Geusan Ulun segera mengungsi ke Dayeuh Luhur tanpa
melihat dulu pohon hanjuang yang merupakan tanda hidup matinya Jaya Perkosa.
Maka sejak itu Ibukota Sumedang Larang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur.
Keputusan Geusan Ulun memindahkan pusat pemerintahan ke Dayeuh Luhur
sesungguhnya merupakan langkah logis dan mudah difahami. Pertama, dalam situasi
gawat menghadapi kemungkinan tibanya serangan Cirebon, kedua benteng Kutamaya
yang mengelilingi Ibukota belum selesai dibangun, ketiga, Dayeuh Luhur di
puncak bukit merupakan benteng alam yang baik dan terdapat kabuyutan kerajaan. Jayaperkosa
kembali ke Kutamaya dengan membawa kemenangan tetapi ia heran karena Ibukota
telah kosong sedang pohon hanjuang tetap hidup akhirnya Jaya Perkosa menyusul
ke Dayeuh Luhur dan setelah bertemu dengan Prabu Geusan Ulun, ia marah kepada
Nangganan bahkan membunuhnya dan meninggalkan rajanya sambil bersumpah tidak
akan mau mengabdi lagi kepada siapapun juga.Terdengar kabar dari Cirebon
terdengar bahwa Panembahan Ratu akan menceraikan Harisbaya sebagai ganti
talaknya daerah Sindangkasih. Akhirnya Prabu Geusan Ulun menikah dengan
Harisbaya dan berputra dua, Raden Suriadiwangsa dan Pangeran Kusumahdinata,
sedangkan dari istri pertamanya Nyi Gedeng Waru berputra Rangga Gede. Setelah
Prabu Geusan Ulun wafat merupakan akhir dari nalendra kerajaan Sunda Sumedang
Larang dan Sumedang memasuki masa kebupatian ketika dipimpin oleh Raden
Suriadiwangsa / Rangga Gempol dan menjadi bawahan Mataram. Peristiwa
penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Cakrawarti atau Nalendra merupakan
kebebasan Sumedang untuk mengsejajarkan diri dengan kerajaan Banten dan
Cirebon. Arti penting yang terkandung dalam peristiwa itu ialah pernyataan
bahwa Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan
Kerajaan Pajajaran di Bumi Parahiyangan. Pusaka Pajajaran dan beberapa atribut
kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jaya Perkosa dari Pakuan dengan sendirinya
dijadikan bukti dan alat legalisasi keberadaan Sumedang, sama halnya dengan
pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak dan Mataram.
II.
MASA KEBUPATIAN.
1.
RANGGA GEMPOL / PANGERAN SURIADIWANGSA
Pada
tahun 1610 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Pangeran Aria
Soeriadiwangsa I dari Ratu Harisbaya istri kedua Geusan Ulun. Setelah wafatnya
Geusan Ulun negeri-negeri bawahan Sumedang Larang dahulu, seperti Karawang,
Ciasem, Pamanukan dan Indramayu dan lain-lain melepaskan diri dari Sumedang
Larang sehingga wilayah kekuasaan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I menjadi lebih
kecil meliputi Parakanmuncang, Bandung dan Sukapura (Tasikmalaya). Setelah
menjadi Bupati Pangeran Aria Suriadiwangsa memakai gelar Dipati Kusumadinata
III dengan Ibukota pemerintahan dipindahkan dari Dayeuh Luhur ke Tegal Kalong,
sedangkan putra Geusan Ulun dari Nyai Mas Gedeng Waru, Pangeran Rangga Gede
diangkat menjadi bupati Sumedang dan berkedudukan di Canukur, pada masa itu
Sumedang di bagi menjadi dua pemerintahan, setelah wafatnya Pangeran Aria
Soeriadiwangsa di Mataram, Sumedang disatukan kembali oleh Rangga Gede dengan
Ibukota di Parumasan Kecamatan Conggeang Sumedang.
Pada
masa Pangeran Aria Soeriadiwangsa, Mataram melakukan perluasan wilayah ke
segala penjuru tanah air termasuk ke Sumedang. Pada waktu itu Sumedang Larang
sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan yang akhirnya Pangeran Aria
Soeriadiwangsa I pergi ke Mataram untuk menyatakan penyerahan Sumedang Larang
menjadi bagian wilayah Mataram pada tahun 1620. Wilayah bekas Sumedang Larang
diganti nama menjadi Priangan yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti
daerah yang berasal dari pemberian dan tugas yang timbul dari hati yang ikhlas
dan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I diangkat menjadi Bupati Wadana dan diberi
gelar Rangga Gempol atau Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. Penyerahan
Sumedang ke Mataram karena Pangeran Aria Soeriadiwangsa I mengganggap Sumedang
sudah lemah dari segi kemiliteran, menghindari serangan dari Mataram karena
waktu itu Mataram memperluas wilayah kekuasaannya dari segi kekuatan Mataram
lebih kuat daripada Sumedang dan menghindari pula serangan dari Cirebon. Sultan
Agung kemudian membagi-bagi wilayah Priangan menjadi beberapa Kabupaten yang
masing-masing dikepalai seorang Bupati, untuk koordinasikan para bupati
diangkat seorang Bupati Wadana. Pangeran Rangga Gempol adalah Bupati Sumedang
yang pertama merangkap Bupati Wadana Prayangan (1620 – 1625). Pada tahun 1614
Sultan Agung mengemukakan pengakuan atas seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten
dan Cirebon kepada VOC . Pada tahun 1624 Rangga Gempol diminta Sultan Agung
untuk membantu menaklukan Sampang Madura. Jabatan Bupati di Sumedang sementara
dipegang oleh Rangga Gede . Penaklukan Sampang oleh Rangga Gempol tidak melalui
peperangan tetapi melalui jalan kekeluargaan karena Bupati Sampang masih
berkerabat dengan Rangga Gempol dari garis keturunan ibunya Harisbaya, sehingga
Bupati Madura menyatakan taat kepada Pangeran Rangga Gempol. Atas keberhasilnya
Rangga Gempol tidak diperkenankan kembali ke Sumedang oleh Sultan Agung, sampai
sekarang ada kampung bernama Kasumedangan yang dahulunya merupakan tempat
menetap para bekas prajurit Rangga Gempol dari Sumedang. Sejak Rangga Gempol
menetap di Mataram, pemerintahan di Sumedang dipegang oleh Pangeran Rangga Gede
(1625 – 1633). Pangeran Rangga Gempol wafat di Mataram dimakamkan di
Lempuyanganwangi. Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata meninggalkan 5
putera – putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden
Soeriadiwangsa II menuntut haknya sebagai putra mahkota akan tetapi Rangga Gede
menolaknya sehingga Raden Soeriadiwangsa II meminta bantuan kepada Sultan
Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Pangeran Rangga Gede, meskipun
Banten memenuhi permintaan Raden Suriadiwangsa tetapi serangan langsung tentara
Banten ke Sumedang pada masa Pangeran Panembahan (1656 – 1706). Pada tahun 1641
wilayah Sumedang Larang meliputi Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura,
Limbangan, Bandung dan Cianjur dibagi menjadi empat Kabupaten yaitu Sumedang,
Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung dan pada tahun 1645 dibagi lagi menjadi 12
ajeg (setaraf Kabupaten) yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura,
Karawang, Imbanagara, Wirabaya, Kawasen, Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar.
Pada tahun 1656 jabatan Bupati Wadana dihapuskan dan setiap bupati langsung
dibawah Mataram. Sejak wafatnya Rangga Gede digantikan oleh puteranya Raden
Bagus Weruh /Rangga Gempol II (1633 – 1656) menjadi Bupati Sumedang sedangkan
jabatan Bupati Wadana dipegang oleh Dipati Ukur / Raden Wangsanata Bupati
Purbalingga dengan tempat pemerintahan di Bandung. Jabatan Bupati Wadana
diberikan ke Dipati Ukur dari Rangga Gede karena Rangga Gede dianggap tidak
mampu menjaga wilayah Mataram dari tentara Banten memasuki daerah yang dikuasai
Mataram yaitu Pamanukan dan Ciasem (peristiwa Raden Suriadiwangsa II).
2.
PANGERAN RANGGA GEDE.
Seperti
di cerita diatas, sejak Pangeran Rangga Gempol III pergi ke Mataram,
pemerintahan di Sumedang dipegang oleh saudaranya Pangeran Rangga Gede /
Kusumahdinata IV (1625 – 1633).
3.
PANGERAN RANGGA GEMPOL II
Setelah
wafatnya Rangga Gede digantikan oleh putranya Raden Bagus Weruh setelah menjadi
bupati memakai nama Pangeran Rangga Gempol II / Kusumahdinata V (1633 – 1656),
Pangeran Rangga Gempol II tidak diangkat menjadi Bupati Wadana tetapi hanya
Dipati Sumedang saja.
Bupati
Wadana, sejak Amangkurat I menjadi Sultan Mataram tidak ada lagi, dengan
demikian Rangga Gempol II hanya menjadi Bupati Sumedang. Pada tahun 1655
pembagian kabupatian – kabupatian bukanlah pada wilayah kabupatian tetapi
cacahnya. Demikian pula batas kekuasaan bukan batas teritorial tetapi batas
sosial, tiap kabupaten mendapat + 300 umpi. Sumedang dengan cacah satu perempat
dari cacah Sumedang pada masa Rangga Gede. Setelah Rangga Gempol II wafat
digantikan oleh putra Pangeran Panembahan.
4.
PANGERAN PANEMBAHAN / RANGGA GEMPOL III
Pangeran
Rangga Gempol III (1656 – 1706) adalah bupati yang cerdas, lincah, loyal,
berani dan perkasa. Pada masa pemerintahannya penuh dengan perjuangan dan
patriotisme beringinan mengembalikan kejayaan masa Sumedang Larang. Pangeran
Rangga Gempol III / Kusumahdinata VI dikenal juga sebagai Pangeran Panembahan,
gelar Panembahan diberikan oleh Susuhunan Amangkurat I Mataram karena atas
bakti dan kesetiaannya kepada Mataram. Kekuatan dan kekuasaan Pangeran
Panembahan adalah paling besar di seluruh daerah yang dikuasai oleh Mataram di
Jawa Barat berdasarkan pretensi Mataram tahun 1614. Pada masa Pangeran
Panembahan pula di Sumedang dibuka areal persawahan sehingga waktu itu
kebutuhan pangan rakyat tercukupi . Pada
tahun 1614 Mataram mengemukakan pretensi (pengakuan) bawah seluruh Jawa Barat
kecuali Banten dan Cirebon dibawah kekuasaan Sultan Agung. Berdasarkan pretensi
inilah Mataram menganggap Batavia sebagai perebutan wilayah Mataram. Pangeran
Panembahan adalah bupati pertama yang berani menentang dan mampu memperalat
kompeni VOC. Pangeran Panembahan berani menentang dan melepaskan diri dari
Mataram dan berani dan mampu menghadapi Banten.
Setelah
wafatnya Sultan Agung Mataram (1645) digantikan oleh puteranya Susuhunan
Amangkurat I (1645 – 1677). Pada tahun 1652 Mataram mengadakan kontrak dengan
VOC secara lisan, VOC diberi hak pakai secara penuh oleh Mataram atas daerah
sebelah barat Sungai Citarum dengan demikian Sumedang tidak termasuk daerah
yang diserahkan kepada kompeni oleh Mataram yang waktu itu Sumedang dibawah
pemerintahan Raden Bagus Weruh / Rangga Gempol II, atas perjanjian tersebut VOC
tidak puas maka pada tahun 1677 VOC kembali mengadakan perjanjian secara tertulis,
perjanjian tersebut disaksikan oleh Pangeran Panembahan. Salah satu butir dalam
perjanjian tersebut bahwa batas sebelah barat antara Cisadane dan Cipunagara
harus diserahkan mutlak oleh Mataram kepada VOC dan menjadi milik penuh VOC,
kemudian dari hulu Cipunagara ditarik garis tegak lurus sampai pantai selatan
dan laut Hindia. Permintaan VOC tersebut oleh Susuhunan Amangkurat I ditolak
dan Susuhunan Amangkurat I mengatakan bahwa daerah antara Citarum dan
Cipunagara bahwa daerah tersebut merupakan kekuasaan kebupatian Sumedang yang
dipimpin oleh Pangeran Panembahan bukan daerah kekuasaan Mataram. Daerah antara
Citarum dan Cipunagara merupakan bekas daerah kekuasaan Sumedang Larang ketika
dipimpin oleh Prabu Geusan Ulun. Penolakan tersebut diterima dengan baik oleh
VOC, sedangkan butir perjanjian lain disetujui oleh Mataram. Dengan demikian
VOC menyetujui perjanjian tersebut dengan catatan daerah yang diserahkan pada
tahun 1652 menjadi milik VOC .
di
Gunung Puyuh Kecamatan Sumedang Selatan. Cita
– cita Pangeran Panembahan untuk menguasai kembali bekas wilayah kerajaan
Sumedang Larang bukan perkara yang mudah karena beberapa daerah sudah merupakan
wilayah dari Banten, Cirebon, Mataram dan VOC. Sebagai sasaran penaklukan
kembali adalah pantai utara Jawa seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan
Indramayu yang merupakan kekuasaan dari Mataram. Pangeran Panembahan meminta
bantuan kepada Banten karena waktu itu Banten sedang konflik dengan Mataram
tetapi setelah dipertimbangkan langkah tersebut kurang bijaksana karena masalah
Raden Suriadiwangsa II, sedangkan permohonan bantuan Pangeran Panembahan
tersebut diterima dengan baik oleh Banten dan mengajak Sumedang untuk berpihak
kepada Banten dalam menghadapi VOC dan Mataram. Ajakan dari Banten tersebut
ditolak oleh Pangeran Panembahan dan menyadari sepenuhnya Sultan Agung akan
menyerang Sumedang, yang akhirnya Banten menyerang Sumedang. Oleh karena itu
Pangeran Panembahan mengirim surat kepada VOC pada tanggal 25 Oktober 1677 yang
isinya memohon kepada VOC menutup muara sungai Cipamanukan dan pantai utara
untuk mencegat pasukan Banten sedangkan penjagaan di darat ditangani oleh
Sumedang. Sebagai imbalan VOC diberi daerah antara Batavia dan Indramayu,
sebenarnya daerah tersebut sudah diberikan oleh Mataram kepada VOC berdasarkan
kontrak tahun 1677 kenyataannya Sumedang tidak memberikan apa-apa kepada VOC .
Sebenarnya dalam perjanjian kontrak antara Mataram dengan VOC pada 25 Februari
1677 dan 20 Oktober 1677 yang diuntungkan adalah Sumedang karena secara tidak
langsung VOC akan menempatkan pasukan untuk menjaga wilayahnya dan akan
menghambat pasukan Banten untuk menyerang Sumedang sehingga Pangeran Panembahan
dapat memperkuat kedudukan dan pertahanannya di Sumedang. Meskipun demikian VOC
bersedia membantu Sumedang dan Kecerdikan Pangeran Panembahan tidak disadari
oleh VOC dan VOC menganggap Sumedang sebagai kerajaan yang berdaulat dan
merdeka. Pangeran Panembahan juga mengadakan hubungan dengan Kepala Batulajang
(sebelah selatan Cianjur) Rangga Gajah Palembang merupakan cucu Dipati Ukur. Serangan
pertama Sumedang di pantai utara adalah daerah Ciasem, Pamanukan dan Ciparagi
dengan mudah dikuasai oleh Pangeran Panembahan. Di Ciparigi Sumedang
menempatkan pasukannya sebagai persiapan menyerang Karawang. Setelah
daerah-daerah tersebut dikuasai oleh Pangeran Panembahan, pasukan Sumedang
bersiap untuk menaklukan Indramayu tetapi Indramayu tidak diserang karena
keburu mengakui Pangeran Panembahan sebagai pimpinannya. Dengan demikian daerah
pantai utara Jawa antara Batavia dan Indramayu merupakan kekuasaan mutlak
Sumedang. Ketika Pangeran Panembahan sibuk menaklukan pantai utara, Sultan
Banten bersiap untuk menyerang Sumedang .Pada
tahun 10 Maret 1678 pasukan Banten bergerak untuk menyerang Sumedang melalui
Muaraberes /Bogor, Tangerang ke Patimun Tanjungpura dan berhasil melalui
penjagaan VOC, awal Oktober pasukan Banten telah datang di Sumedang tetapi
pasukan Banten tidak bisa masuk ke Ibukota karena Pangeran Panembahan bertahan
dengan gigih. Pada serangan pertama ini Banten mengalami kegagalan karena tepat
waktu Ibukota Sumedang diserang, di Banten terjadi perselisihan antara Sultan
Agung Tirtayasa dan Sultan Haji Surasowan,. Selama sebulan lamanya tentara
Banten yang dipimpin oleh Raden Senapati bertempur dan Raden Senapati tewas dalam
pertempuran tersebut sehingga pasukan Banten ditarik mundur karena Sultan Agung
memerlukan pasukan untuk menghadapi puteranya Sultan Haji. Pangeran Panembahan
akhirnya menguasai seluruh daerah pantai utara dan Pangeran Panembahan berkata
kepada VOC akan taat dan patuh asalkan terus membantunya terutama pengiriman
senjata dan mesiu tetapi Pangeran Panembahan tidak taat bahkan menentang
kompeni VOC dan tidak pernah datang ke Batavia dan tidak pernah pula memberi
penghormatan atau upeti kepada VOC, yang akhirnya VOC menarik pasukannya dari
pantai utara.. Setelah menguasai pantai utara Pangeran Panembahan menguasai
daerah kebupatian yang dibentuk oleh Mataram pada tahun 1641 seperti Bandung,
Parakan muncang, dan Sukapura . Dengan demikian Pangeran Panembahan menguasai
kembali seluruh daerah bekas Sumedang Larang kecuali antara Cisadane dan
Cipunagara yang telah diserahkan oleh Mataram kepada VOC tahun 1677. Sehingga
Sumedang mencapai puncak kejayaannya kembali setelah pada masa Prabu Geusan
Ulun. Penarikan pasukan VOC dari pantai utara membuka peluang bagi Banten
dengan mudah untuk masuk wilayah Sumedang. Dalam melakukan penaklukan
daerah-daerah di pantai utara dan menghadapi Banten, Pangeran Panembahan
dilakukan sendiri berserta pasukan Sumedang tanpa ada bantuan dari VOC sama
sekali, bantuan VOC hanya menjaga batas luar wilayah Sumedang dan selama
menjaga VOC tidak pernah terlibat perang secara langsung di wilayah kekuasaan
Pangeran Panembahan, bantuan lain dari VOC berupa pengiriman beberapa pucuk
senjata dan meriam setelah Sumedang pertama kalinya diserang oleh Banten. Pada
awal oktober 1678 pasukan Banten kedua kalinya kembali menyerang Sumedang,
serangan pertama pasukan Banten merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai
oleh Sumedang di pantai utara, Ciparigi, Ciasem dan Pamanukan akhirnya jatuh ke
tangan pasukan Banten sedangkan pasukan kompeni yang dahulu menjaga daerah
tersebut telah ditarik . Akhirnya pasukan Bali dan Bugis bergabung dengan
pasukan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang. Pada awal bulan puasa pasukan
gabungan tersebut telah mengepung Sumedang, pada tanggal 18 Oktober 1678 hari
Jumat pasukan Banten di bawah pimpinan Cilikwidara dan Cakrayuda menyerang
Sumedang tepat Hari Raya Idul Fitri dimana ketika Pangeran Panembahan beserta
rakyat Sumedang sedang melakukan Sholat Ied di Mesjid Tegalkalong, serangan
pasukan Banten ini tidak diduga oleh Pangeran Panembahan karena bertepatan
dengan Hari Raya dimana ketika Pangeran Panembahan dan rakyat Sumedang sedang
beribadah kepada Allah. Akibat serangan ini banyak anggota kerabat Pangeran
Panembahan yang tewas termasuk juga rakyat Sumedang. Pangeran Panembahan
sendiri berhasil meloloskan diri ke Indramayu dan tiba pada bulan Oktober 1678.
Serangan pasukan Banten ini dianggap pengecut oleh rakyat Sumedang karena pada
serangan pertama Banten, Sumedang sanggup memukul mundur dan mengalahkan
Banten. Oleh Sultan Banten, Cilikwidara diangkat menjadi wali pemerintahan
dengan gelar Sacadiparana sedangkan yang menjadi patihnya adalah Tumenggung
Wiraangun-angun dengan gelar Aria Sacadiraja. Selama di Indramayu Pangeran
Panembahan menggalang kekuatan kembali dengan bantuan dari Galunggung, pasukan
Pangeran Panembahan dapat merebut kembali Sumedang setelah enam bulan berada di
Sumedang, pada bulan Mei 1679 Cilikwidara menyerang kembali dengan pasukan
lebih besar, yang akhirnya Sumedang jatuh kembali ke tangan Cilikwidara,
Pangeran Panembahan terpaksa mundur kembali ke Indramayu. Pendudukan Sumedang
oleh Cilikwidara tak berlangsung lama pada bulan Agustus 1680 pasukan
Cilikwidara ditarik kembali ke Banten karena terjadi konflik antara Sultan
Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji yang didukung oleh VOC, dalam konflik
tersebut dimenangkan Sultan Haji. Sejak itu kejayaan Sultan Banten berakhir.
Sultan Haji berkata kepada VOC bahwa Banten tidak akan mengganggu lagi Cirebon
dan Sumedang, yang pada akhirnya berakhirlah kekuasaan Banten di Sumedang. Pada
tanggal 27 Januari 1681 Pangeran Panembahan kembali ke Sumedang dan bulan Mei
1681 memindahkan pemerintahan dari Tegalkalong ke Regolwetan (Sumedang
sekarang) dan membangun gedung kebupatian yang baru Srimanganti sekarang
dipakai sebagai Museum Prabu Geusan Ulun Yayasan Pangeran Sumedang, pembangunan
Ibukota Sumedang yang baru tidak dapat disaksikan oleh Pangeran Panembahan, pada
tahun 1706 Pangeran Panembahan wafat dan dimakamkan di Gunung Puyuh di samping
makam ayahnya Pangeran Rangga Gempol II. Pada tahun 1705 seluruh wilayah Jawa
Barat dibawah kekuasaan kompeni VOC Setelah wafatnya Pangeran Panembahan
digantikan oleh putranya Raden Tanumaja dengan gelar Adipati, bupati pertama
kali yang diangkat oleh VOC. Pangeran Rangga Gempol III Panembahan merupakan
bupati paling lama masa pemerintahannya hampir 50 tahun dari tahun 1656 sampai
tahun 1705 dibandingkan dengan bupati – bupati Sumedang lainnya.
Setelah
peristiwa penyerbuan pasukan Banten ke Sumedang, Pangeran Panembahan membentuk
sistem keamanan lingkungan yang disebut Pamuk terdiri dari 40 orang pilihan,
setiap pamuk mendapatkan sawah dari Pangeran Panembahan, sawah tersebut boleh
digarap dan diterima hasilnya oleh pamuk yang bersangkutan selama ia masih
bekerja sebagai pamuk. Sawah tersebut dinamakan Carik, suatu sistem gaji yang
bekerja untuk kebupatian. Carik disebut juga Bengkok di daerah lain yang
akhirnya sistem pemberian gaji ini untuk Pamong Desa.
Pangeran
Rangga Gempol III Panembahan menyisihkan sebagaian tanahnya miliknya sebagai
sumber penghasilan bupati, agar penghasilan bupati tidak lagi menjadi beban
rakyat. Tanah tersebut tidak boleh dibagi waris jika Pangeran Panembahan wafat
tetapi diturunkan lagi kepada bupati berikutnya secara utuh dan lengkap.
5.
TUMENGGUNG TANUMADJA.
Pengganti
Pangeran Panembahan adalah putranya Raden Tanumadja (1706 – 1709), Raden
Tanumadja adalah bupati pertama yang diangkat oleh kompeni. Pengangkatannya pun
disertai syarat, yaitu harus menempuh masa percobaan, kesetiaan dan ketaatan
Raden Tanumadja terhadap pemerintah kompeni dan Raden Tanumadja dibawah
Pangeran Aria Cirebon sebagai atasannya karena Pangeran Aria Cirebon diangkat
menjadi Gubernur di Priangan.
Seperti
di ceritakan di atas pada tahun 1681 Ibukota Sumedang dipindahkan dari Tegal
Kalong ke Regolwetan oleh Pangeran Panembahan. Dalam membangun Ibukota sumedang
yang baru Pangeran Panembahan tidak sempat menyaksikan karena keburu wafat maka
pembangunan dilanjutkan oleh Putranya Raden Tanumadja, pada masa Pangeran
Panembahan membangun gedung kabupatian baru bernama Srimanganti yang
selanjutnya pembangunan gedung Srimanganti diselesaikan oleh Raden Tanumadja.
6.
PANGERAN KARUHUN.
Setelah
Tumenggung Tanumadja wafat, putranya menggantikannya Raden Kusumahdinata VII
(1709 – 1744) diangkat menjadi bupati. Raden Kusumadinata memohon memakai gelar
Rangga Gempol IV seperti kakeknya. Pangeran Kusumadinata VII juga memusuhi
Pangeran Aria Cirebon karena Kusumadinata tidak ingin dibawah perintahnya.
Sebelum wafat Pangeran Kusumadinata menginginkan kabupatian-kabupatian di laut
Jawa dan Hindia di bawah kekuasaannya tetapi sebelum keinginannya tercapai
keburu wafat, setelah wafat dikenal sebagai Pangeran Karuhun. Pangeran
Kusumadinata terkenal sebagai bupati yang memajukan persawahan.
7.
DALEM ISTRI RADJANINGRAT.
Menggantikan
Pangeran Karuhun adalah puteri sulungnya Dalem Istri Radjaningrat (1744 – 1759)
karena para putera Pangeran Karuhun belum ada yang dewasa. Dalem Istri
Radjaningrat menikah dengan Dalem Soerianegara putera Bupati Limbangan. Dalem
Istri Radjaningrat mempunyai putera sulung Raden Kusumadinata yang biasa
disebut Dalem Anom yang kelak menjadi bupati menggantikan kakeknya . Para
putera Pangeran Karuhun oleh kompeni dipandang tidak cukup cakap untuk menjadi
bupati.
8.
ADIPATI KUSUMADINATA / DALEM ANOM
Raden
Kusumadinata VIII (1759 – 1761) diangkat menjadi bupati tetapi tidak lama hanya
dua tahun karena keburu wafat.
9.
ADIPATI SURIANAGARA.
Adipati
Kusumadinata wafat maka digantikan oleh saudaranya Raden Surianagara setelah
menjadi bupati bergelar Adipati Surianagara (1761 – 1765). Adipati Surianagara
mempunyai seorang putra bernama Raden Kusumadinata / Djamu setelah menjadi
bupati dikenal sebagai Pangeran Kornel.
10.
ADIPATI SURIALAGA
Setelah
Adipati Surianagara wafat tidak digantikan oleh puteranya Raden Djamu karena
masih anak-anak maka digantikan oleh saudaranya Raden Surialaga (1765 – 1773)
yang bergelar Adipati Kusumadinata. Wafatnya Raden Surialaga meninggalkan 6
orang putera dan puteri,putra sulungnya Raden Ema ketika itu masih berusia 9
tahun. Maka timbullah masalah mengenai penggantian bupati, putera Raden
Surianagara yaitu Raden Djamu ketika itu belum dewasa baru berusia 11 tahun. Oleh
karena itu kompeni mengangkat Raden Adipati Tanubaya Bupati Parakanmuncang
menjadi bupati Sumedang. Sejak itu Sumedang memasuki masa bupati penyelang
selama tiga periode, sampai akhirnya kelak Raden Djamu menjadi bupati.
12.
ADIPATI TANUBAYA (Bupati Penyelang)
Pengangkatan
Adipati Tanubaya (1773 – 1775) dari Parakanmuncang menjadi bupati Sumedang
karena memungkinkan, memang keadaan tidak mungkin mengangkat bupati dari
keturunan Sumedang dikarenakan pengganti dari Sumedang belum menginjak dewasa.
13.
TUMENGGUNG PATRAKUSUMA (Bupati Penyelang)
Pengganti
Adipati Tanubaya adalah menantunya Tumenggung Patrakusuma (1775 – 1789) yang
waktu itu menjabat sebagai Bupati Parakanmuncang, pengangkatan Tumenggung
mendapat dukungan dari 4 umbul terutama di Sumedang dan setelah mendapat
dukungan Patrakusuma berhenti menjadi Bupati Parakanmuncang. Mengenai cerita
Raden Djamu menikah dengan putri Tumenggung Patrakusuma di cerita di bab
Pangeran Kornel selanjutnya.
Pada
masa pemerintahannya Tumenggung Patrakusuma melakukan pelanggaran maka ia
diberhentikan oleh kompeni dari kedudukan Bupati Sumedang kemudian diasingkan
ke Batavia.
14.
ARIA SATJAPATI
Sebagai
pengganti Patrakusuma maka diangkat Raden Satjapati (1789 – 1791) yang waktu
itu menjabat sebagai patih Sumedang, setelah diangkat menjadi bupati memakai
gelar Adipati. Posisi Satjapati menjadi bupati tidak berlangsung lama karena
oleh kompeni dianggap kurang cakap maka diturunkan pangkatnya menjadi patih
kembali. Untuk
mengisi kekosongan bupati, Satjapati mengirim surat ke Bupati Cianjur
Wiratanudatar IV memohon agar Raden Surianagara / Djamu waktu itu menjabat
sebagai Wadana Cikalong diusulkan untuk menjadi Bupati Sumedang, yang akhirnya
usul tersebut di terima oleh kompeni dan Raden Surianagara / Raden Djamu
diangkat menjadi Bupati Sumedang.
15.
PANGERAN KORNEL /ADIPATI SURIANAGARA III
Setelah
wafatnya Bupati Sumedang Adipati Surianagara II (1765 – 1773), posisi bupati
Sumedang diisi oleh bupati penyelang dari Parakanmuncang Adipati Tanubaya (1773
– 1775) yang diangkat oleh kompeni karena putra Adipati Surianagara II, Raden
Jamu masih kecil. Setelah wafatnya Adipati Tanubaya digantikan oleh Tumenggung
Patrakusuma putranya Setelah menjadi bupati Tumenggung Patrakusuma (1775 –
1789) memakai gelar Adipati Tanubaya II. Setelah menginjak dewasa Raden Djamu
dinikahkan dengan putri Adipati Tanubaya II Nyi Raden Radja Mira mempunyai
seorang puteri bernama Nyi Raden Kasomi. Adipati Tanubaya II mendapat hasutan
dari Demang Dongkol yang berambisi untuk mempunyai anak atau cucu menjadi bupati.
Akhirnya Raden Djamu mengetahui niat buruk mertuanya ingin membunuhnya, segera
Raden Djamu meloloskan diri ke Limbangan karena bupati Limbangan merupakan
saudaranya, di limbangan posisi Raden Djamu tidak aman terus melanjutkan
perjalanan ke Cianjur untuk bertemu dengan kerabat ayahnya Bupati Cianjur
Adipati Aria Wiratanudatar IV dan Raden Djamu diangkat sebagai Kepala Cutak
(Wedana) Cikalong dengan nama Raden Surianagara III. Setelah Adipati Tanubaya
II diasingkan ke Batavia oleh kompeni ditunjuk sebagai pengganti sementara
kepala pemerintahan Sumedang dipegang oleh Patih Sumedang Aria Satjapati (1789
– 1791). Aria Satjapati mengirim surat kepada Adipati Aria Wiratanudatar IV
memohon agar mengusulkan Raden Djamu atau Surianagara III diangkat menjadi bupati
Sumedang kepada kompeni. Usul dari Wiratanudatar IV diterima oleh kompeni dan
diangkatlah Raden Djamu / Surianagara III menjadi bupati Sumedang dengan gelar
Pangeran Kusumadinata IX (1791 – 1828).
Pada
tahun 1811 masa pemerintahan Gubernur Jenderal William Daendels, merintahkan
semua bupati di tanah Jawa untuk membantu pembangunan jalan pos antara Anyer
dan Banyuwangi. Di Sumedang jalan pos tersebut harus melalui gunung cadas yang
keras. Pangeran Kusumadinata menghadapi pekerjaan yang berat mau tidak mau
harus dilaksanakan oleh rakyatnya dan tanggung jawabnya sebagai bupati, setelah
mengumpulkan rakyatnya Pangeran Kusumadinata menganjurkan dan mengajak
rakyatnya untuk membantu pelaksanaan pembuatan jalan pos tersebut, rakyat
Sumedang menyatakan kesanggupannya melaksanakan tugas itu.. Pada tanggal 26
November 1811 mulailah pembobokan gunung cadas, rakyat Sumedang pun menjadi
korban “kerja paksa” Belanda, banyak rakyat menjadi korban akibat sulitnya
medan jalan yang dibuat, rakyat dipaksa untuk menembus bukit cadas dengan
peralatan seadanya. Pembangunan jalan pun tidak selesai pada waktunya. Daendels
meminta bupati agar rakyat dikerahkan habis-habisan untuk menyelesaikan,
Pangeran Kusumadinata
menolak karena tidak tega melihat rakyatnya menderita.
Ketika
Daendels memeriksa pembuatan jalan tersebut, Pangeran Kusumadinata menunggunya.
Sewaktu Daendels menyodorkan tangan kanannya untuk mengajak bersalam, Pangeran
Kusumadinta menyambutnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang
keris Nagasastra siap menghadapi segala kemungkinan, semula Daendels marah
karena sikap bupati dianggap kurang ajar. Akan tetapi setelah mendengar
penjelasan dari Pangeran Kusumadinata bahwa ia berani membantah perintahnya
(simbolis ditunjukan dengan menyalami memakai tangan kiri) demi membela
rakyatnya yang menjadi korban kerja paksa Daendels dan Daendels pun salut atas
keberanian Pangeran Kusumadinata. Akhirnya Daendels merintahkan pasukan zeni
Belanda untuk membantu menyelesaikan pembuatan jalan dengan mengunakan dinamit
membobok gunung cadas, akhirnya 12 Maret 1812 pembangunan jalan pos di Sumedang
selesai, sehingga daerah itu disebut “Cadas Pangeran”. Pada
masa pemerintahan Gubernur Jenderal G.A. Baron Van Der Capllen (1826 – 1830)
Pangeran Kusumadinata mendapat pangkat militer sebagai Kolonel dari pemerintah
Belanda atas jasanya mengamankan daerah perbatasan dengan Cirebon dan menumpas
para perampok dan pemberontak terutama yang mencoba masuk ke Sumedang dari
Cirebon., sebutan kolonel dalam lidah rakyat berubah menjadi “Kornel” sehingga
terkenal sebagai Pangeran Kornel .
Wilayah
Sumedang waktu itu hampir sama dengan wilayah pada masa Rangga Gempol III,
wilayah Sumedang berbatasan dengan Parakanmuncang, Limbangan, Sukapura, Talaga
dan kabupatian – kabupatian Cirebon, kemudian menyusuri kali Cipunagara sampai
laut Jawa sepanjang pantai utara sampai Pamanukan.
Selain
keberaniannya menentang perintah Daendels dan pemerintah Kerajaan Belanda /
Inggris, Pangeran Kusumadinata adalah bupati yang jujur, berani, cerdas, paling
pandai dan paling aktif dari semua para bupati di Priangan. Keadilan,
kejujuran, kecerdasan, keberanian, kebijaksanaan dan kegagahan Pangeran Kornel
dalam melaksanakan kewajibannya penuh rasa tanggung jawab dan mengabdi kepada
rakyat sepenuh jiwa raganya. Ia pun tempat meminta nasehat bupati lainnya.
Pangeran Kusumadinata sewaktu mulai menjabat bupati membuka lahan hutan menjadi
areal perkebunan kopi yang subur dan berhasil, sehingga keadaan Sumedang lebih
baik dibandingkan masa bupati-bupati sebelumnya (penyelang). Residen Priangan
Van Motman menyatakan Pangeran Kusumadinata adalah bupati pangkatnya paling
tinggi antara para bupati di Priangan. Atas jasa dan kesetiaannya pemerintahan
Belanda memberi bintang jasa dari mas.
16.
ADIPATI KUSUMAYUDA
Pangeran
Kornel digantikan oleh puteranya Adipati Kusumayuda (1828 – 1833). Adipati
Kusumayuda menuruni watak ayahnya Pangeran Kornel, bupati sering turut
bertempur berserta saudaranya Adipati Adiwijaya melawan para pengacau atau
perampok di Sumedang . Perawakan Adipati Kusumayuda yang tinggi besar oleh
karena itu disebut pula sebagai Dalem Ageung.
17.
ADIPATI KUSUMADINATA / DALEM ALIT.
Wafatnya
Adipati Kusumayuda tidak digantikan oleh puteranya Raden Somanagara karena
menunggu dewasa. Maka putera Adipati Adiwijaya, Adipati Kusumadinata X (1833 -
1834) menggantikannya tetapi tidak berlangsung lama karena keburu wafat.
18.
TUMENGGUNG SURIALAGA.
Sebagai
penggantinya sementara diangkat Tumenggung Surialaga (1834 – 1836) ketika itu
menjadi Patih Polisi tetapi tidak berlangsung lama juga baru satu tahun
menjabat bupati meminta pensiun.
19.
PANGERAN ARIA SURIA KUSUMAH ADINATA
Pada
tangggaraal 20 Januari 1836 Raden Somanagara dilantik menjadi Bupati Sumedang
dengan gelar Tumenggung Suria Kusumah Adinata (1836 – 1882).
Kecerdasan,
kepemimpinan dan kesetiaannya pengabdian kepada rakyat terlihat dengan jelas.
Kebutuhan masyarakat diutamakan seperti pembuat jalan, pengairan, pertanian dan
sebagainya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Segala bentuk kewajiban
rakyat yang memberatkan di bidang pertanian dihapuskan pada 1885 oleh
pemerintah seperti peraturan penanaman nila.
Makam
Pangeran Sugih di Gunung Puyuh
Pada
tanggal 14 Agustus 1841 Surat Keputusan pemerintah Kerajaan Belanda no. 24
Tumenggung Suria Kusumah Adinata mendapat gelar Adipati dan berdasarkan Surat
Keputusan tanggal 31 Oktober 1850 mendapat gelar Pangeran.
Pangeran
Aria Suria Kusumah Adinata wafat pada tanggal 22 September 1882 dimakamkan di
Gunung Puyuh, Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata dikenal juga sebagai Pangeran
Sugih karena sugih harta, kekayaan dan putera.
20.
PANGERAN ARIA SURIA ATMADJA
Setelah
Pangeran Suria Kusumah Adinata wafat digantikan oleh putranya Raden Sadeli
dilahirkan di Sumedang tanggal 11 Januari 1851 . Sebelum menjadi bupati
Sumedang Raden Sadeli menjadi Patih Afdeling Sukapura – kolot di Mangunreja.
Pada tanggal 31 Januari 1883 diangkat menjadi bupati memakai gelar Pangeran
Aria Suria Atmadja (1883 – 1919). Pangeran Aria Suria Atmadja merupakan
pemimpin yang adil, bijaksana, saleh dan taqwa kepada Allah. Raut mukanya
tenang dan agung, memiliki displin pribadi yang tinggi dan ketat.
Wibawa
Pangeran Aria Suria Atmadja sangat besar yang memancar dari 4 macam sumber :
-
Kedudukannya sebagai bupati.
-
Patuh dan taqwa dalam agama.
-
Kepemimpinannya yang tinggi.
-
Displin yang tinggi.
Pangeran
Aria Suria Atmadja memiliki jasa dalam pembangunan Sumedang di beberapa bidang,
antara lain :
• BIDANG PERTANIAN
Membangun
aliran irigasi di sawah-sawah, penanaman sayuran, melakukan penghijauan di
tanah gundul dan membangun lumbung desa. Pangeran Aria Suria Atmadja memberi
ide bagaimana meningkatkan daya guna dan hasil guna pengolahan tanah, pembuatan
sistem tangga (Terasering) pada bukit-bukit.
• BIDANG PERTERNAKAN
Untuk
meningkatkan hasil ternak yang baik di Sumedang, di datangkan sapi dari Madura
dan Benggala dan kuda dari Sumba atau Sumbawa untuk memperoleh bibit unggul.
• BIDANG PERIKANAN
Pelestarian
ikan di sungai diperhatikan dengan khusus, jenis jala ikan ditentukan ukurannya
dan waktu penangkapannya agar ikan di sungai selalu ada. Penangkapan ikan
dengan racun atau peledak di larang.
• BIDANG KEHUTANAN.
Daerah-daerah
gunung yang gundul ditanami pohon-pohon agar tidak longsor., selain dibuat
hutan larangan / tertutup yaitu hutan yang tidak boleh diganggu oleh masyarakat
demi kelestarian tanaman dan binatangnya. Binatang dan pohon langka mendapat
pelindungan khusus.
• BIDANG KESEHATAN.
Penjagaan
dan pemberantasan penyakit menular mendapat perhatian besar. Bayi dan anak-anak
diwajibkan mendapatkan suntikan anti cacar diadakan sampai ke desa-desa.
Masyarakat dianjurkan menanam tanaman obat-obatan di perkarangan rumahnya.
• BIDANG PENDIDIKAN
Pada
tahun 1914 mendirikan Sekolah Pertanian di Tanjungsari dan wajib belajar
diterapkan pertama kalinya di Sumedang. Pada tahun 1915 di Kota Sumedang telah
ada Hollandsch Inlandsche School , mendirikan sekolah rakyat di berbagai tempat
Sumedang dan membangun kantor telepon.
• BIDANG PEREKONOMIAN
Pada
tahun 1901 membangun “Bank Prijaji” dan pada tahun 1910 menjadi “Soemedangsche
Afdeeling Bank”. Pada tahun 1915 mendirikan Bank Desa untuk menolong rakyat
desa.
• BIDANG POLITIK
Pada
tahun 1916 mengusulkan kepada pemerintah kolonial agar rakyat diberi pelajaran
bela negara / mempergunakan senjata agar dapat membantu pertahanan nasional.
Ide ini dituangkan dalam buku ‘Indie Weerbaar” / Ketahanan Indonesia, tapi usul
ini ditolak pemerintah Belanda. Pangeran Aria Suria Atmadja tidak mengurangi
cita-citanya, disusunlah sebuah buku yang berjudul ‘ Ditiung Memeh Hujan” dalam
buku itu dikemukakan lebih jauh lagi agar Belanda kelak perlu mempertimbangkan
dan mengusahakan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia. Pemerintah kerajaan Belanda
memberi reaksi hingga dibuat benteng di kota Sumedang, benteng gunung kunci dan
Palasari.
• BIDANG KEAGAMAAN
Bidang
keagamaan mendapat perhatian yang besar dari Pangeran Aria Suria Atmadja.
Mesjid dan pesantren mendapat bantuan penuh, peningkatan pendidikan agama mulai
dini
• BIDANG KEBUDAYAAN
Bidang
kebudayaan dapat perhatian besar dari Pangeran Aria Suria Atmadja khususnya
Tari Tayub dan Degung. Selain ahli dalam sastra sunda, Pangeran Aria Suria
Atmadja pun membuat buku dan menciptakan lagu salah satunya Lagu Sonteng.
• BIDANG LAINNYA
Membangun
rumah untuk para kepala Onderdistrik, dibangunnya balai pengobatan gratis, dan
menjaga keamanan diadakan siskamling.
Masih
banyak jasa lainnya dan atas segala jasanya dalam membangun Sumedang, baik itu
pembangunan sarana fisik tetapi juga pembangunan manusianya. Pangeran Aria
Suria Atmadja mendapat berbagai penghargaan atau tanda jasa dari pemerintah
kolonial Belanda salah satunya tanda jasa Groot Gouden Ster (1891) dan
dianugerahi beberapa bintang jasa tahun 1901, 1903, 1918, Payung Song-song
Kuning tahun 1905, Gelar Adipati 1898, Gelar Aria 1906 dan Gelar Pangeran 1910.
Pada
masa pemerintahan Pangeran Aria Suria Atmadja mendapatkan warisan pusaka-pusaka
peninggalan leluhur dari ayahnya Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata , Pangeran
Aria Suria Atmadja mempunyai maksud untuk mengamankan, melestarikan dan menjaga
keutuhan pusaka. Selain itu agar pusaka merupakan alat pengikat kekeluargaan,
kesatuan dan persatuan wargi Sumedang, maka diambil langkah sesuai agama Islam
Pangeran Aria Suria Atmadja mewakafkan pusaka ia namakan sebagai “barang-barang
banda”, “kaoela pitoein”, “poesaka ti sepuh”, dan “asal pusaka ti sepuh-sepuh”
kepada Tumenggung Kusumadilaga pada tanggal 22 September 1912, barang yang
diwakafkannya itu tidak boleh diwariskan, tidak boleh digugat oleh siapa pun
juga, tidak boleh dijual, tidak boleh dirobah-robah, tidak boleh ditukar dan
diganti. Dengan demikian keutuhan, kebulatan dan kelengkapan barang pusaka
terjamin. Wakaf mulai berlaku jika Pangeran Aria Suria Atmadja berhenti sebagai
bupati Sumedang atau wafat.
Pada
tahun 1919 Pangeran Aria Suria Atmadja berhenti sebagai bupati Sumedang dengan
mendapat pensiun. Pada tanggal 30 Mei 1919 dilakukan penyerahan barang “Asal
pusaka ti sepuh-sepuh” dan “Tina usaha kaula pribadi” kepada Tumenggung
Kusumadilaga yang menjadi bupati Sumedang menggantikan Pangeran Aria Suria
Atmadja .Tumenggung Kusumadilaga baru menerima barang-barang yang diwakafkan
kepadanya dengan ikhlas dan bersedia mengurusnya dengan baik seperti dalam
suratnya tertanggal 18 Juni 1919. Pangeran
Aria Suria Atmadja wafat pada tanggal 1 Juni 1921 dimakamkan di Ma’la Mekah
ketika menunaikan ibadah haji sehingga di kenal sebagai Pangeran Mekah. Untuk
menghormati jasa-jasanya pada tanggal 25 April 1922 didirikan sebuah monumen
berbentuk Lingga di tengah alun-alun kota Sumedang, yang diresmikan Gubernur Jenderal
D. Fock serta dihadiri para bupati, residen se-priangan serta pejabat-pejabat
Belanda dan pribumi.
21.
TUMENGGUNG ADIPATI KUSUMADILAGA
Pangeran
Aria Suria Atmadja digantikan oleh Tumenggung Aria Kusumadilaga (1919 – 1937)
dikenal juga sebagai Dalem Bintang merupakan saudaranya.. Pada masa
pemerintahannya mengalami perkembangan Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda),
partai politik dan pemberontakan komunis di Jawa Barat.
22.
TUMENGGUNG ARIA SURIA KUSUMAH ADINATA
Tumenggung
Adipati Kusumadilaga digantikan oleh Raden Suria Sumantri atau Dalem Aria,
setelah menjadi bupati memakai gelar Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata
(1937 – 1946) Dalem Aria merupakan bupati tiga jaman, pertama jaman Hindia
Belanda, kedua Jepang dan Republik Indonesia.
24.
RADEN HASAN SURIA SACAKUSUMAH.
Raden
Hasan Suria Sacakusumah / “Bung Hasan” (1946 – 1947) diangkat sebagai bupati
perjuang oleh Republik indonesia. Masa pemerintahannya ditandai perkembangan
gerakan Darul Islam (DI) dan Infansi militer Belanda ke dua ke Indonesia,
bupati dan rakyat Sumedang berangkat mengungsi ke pedalaman. Sehingga gedung
kabupatian dan Srimanganti ditempati tentara Belanda. Pada masa jabatannya
terdapat tiga macam pemerintahan di Sumedang, pemerintahan Belanda,
pemerintahan Negara Pasundan dan Republik Indonesia. Berhubung
Bung Hasan belum kembali dari pengungsian maka pemerintahan Hindia Belanda
mengangkat Tumenggung Muhamad Singer sebagai Bupati Sumedang. Pada masa Muhamad
Singer, Raden Hasan Suria Sacakusumah diangkat kembali menjadi bupati pada
tahun 1949 menggantikan Muhamad Singer berangkat ke Belanda, masa jabatannya
hanya satu tahun kemudian diserahkan kepada Raden Abdulrachman Suriasaputra.
25.
TUMENGGUNG MUHAMAD SINGER
Tumenggung
Muhamad Singer (1947 – 1949) merupakan keponakan dari Pangeran Aria Suria
Atmadja. Sebelum diangkat menjadi Bupati Sumedang tahun 1938 adalah seorang
Pamong Praja yang bertugas di Irian Barat, Australia, Sulawesi dan Kalimantan
Timur di keresidenna. Pada tanggal 5 Desember 1947 diangkat menjadi Bupati
Sumedang. Masa
jabatannya Tumenggung Muhamad Singer banyak menghadapi banyak masalah salah
satunya pemberontak Darul Islam (DI) dan pertempuran antara RI dan Belanda.
Sampai akhirnya terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan akhir masa
jabatannya diberi tugas belajar ke negeri Belanda untuk mengikuti usaha
pembangunan di berbagai negara yang dilanda perang dunia ke-2, sekembalinya
dari Belanda ditempatkan di bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri Republik
Indonesia.
Pada
tahun 1950 merupakan akhir rangkaian para bupati Sumedang keturunan leluhur
Sumedang dari masa Prabu Tajimalela 721 sampai Tumenggung Muhamad Singer 1950.
DAFTAR
PUSTAKA :
- Asikin Widjajakoesoemah, Drs.
- Runcatan Sajarah Sumedang, 1960.
- Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat, Prop. Jawa Barat
- Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat jilid 4, 1983 .
- Bayu Surianungrat, Drs.
- Sejarah Kabupatian I Bhuni Sumedang 1550 – 1950, 1983.
- Buku Sejarah Leluhur Sumedang.
- Babad Sumedang.
Diposkan oleh Notariat Collegium di 10:34
http://nusadwipa.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar