Selasa, 29 Desember 2015

"GHATOTKACA PERLAYA" Oleh : Ki Slamet 42

 Kita Semua Wayang
Selasa, 29 Desember 2015 - 23:28 WIB
 
Ghatotkaca
KAKAWIN BHARATA-YUDHA PUPUH XIX  1 – 6
Transkripsi
Terjemahan Bebas
1
Ngkân tênghâ sang Awangga nâtha lukihat ring megha moghâruhur. Ddêh byaktân si Ghattotkaҫaceki lingireng cittan kapûhan marês.  Sis tambisku kacidra demu ya nimittangku n wulat ring langit.  Ling sang Karnna têhêr makon tumeddunâmûkâprangeng bhûtala.
1
Pada waktu itu Karna, raja Awangga, melihat ke atas dan terlihat olehnya sekonyong-konyong suatu kelompok mega di atas, “ah, ini tentunya si Ghatotkaca!”.  Demikianlah katanya kepada diri sendiri ; hatinya telah ketakutan dan merasa ngeri.  Ah, hampir-hampir saja saya binasa karena kelicikanmu ; maka dari sebab itu saya terus menerus melihat ke arah langit”.  Demikia kata sang Karna ; dengan lekas ia minta kepada Ghatotkaca untuk turun dan mengadakan pertempuran di atas tanah.
2
Ndâ tan dwa n paҫarira sakshanna wibhuh tekang Hiddimbyâtmaja.
Munggwing madhyaning ambrâwugah agûng Iwir antakânginnddarat.
Têkwan matta masinghanâda hibêkan tang bhûr bhuwah swah pêpêt.
Sâkshât Rudra mamûrtti kâla maharêp ri syûhaning rât kabeh.
2
Maka Ghatotkaca, putra Hidimbi, dalam sekejap mata menjelma menjadi raksasa  di angkasa ; ia menjadi demikian besar yang menyerupai Dewa Kematian.  Dewa Rudra dalam bentuk Kala. Ia Seperti orang yang gelap mata mengaum seperti singa yang aumannya menggetarkan langit dan bumi seisinya.
3
Ndah yekân pinanah têkap Rawisuteng brahmâstra muntab murub.
Bhasmibhûta gêsêng rikung khsanna mijil mangkin manengkö langit.
Ping pât rehya makin triwikrama katon tan candrahâsojwah.
Kroddkrâk umasö harêp manugêle tênggêk sang  Anggâdhipa.
3
Ketika itu ia telah ditembaki oleh Karna sampai empat kali dengan panah yang berbentuk Brahma yang menyala-nyala. Tubuh Ghatotkaca mulai nampak terlihat oleh Karna maka Ghatotkaca pun kembali membesarkan tubuhnya, memperlihatkan Candrasa-nya yang menyala-nyala.  Dengan amarah dan suara yang keras bergemuruh Ghatotkaca maju untuk mematahkan leher Raja Awangga Karna.  
4
Kepwan sang nrêpa Karnna deni laruting sarwwâstra tan pamyati.
Hâh wishttyâku pêjah têkapmu linireng twas mâttresâres mulat.
Nâhan marmmaniran panâmbut irikang kontâ sêddêng bhâswara.
Yeki Pânnddawangҫa lingnira têhêr mangduk Hiddimbyâtmaja.

4
Karna semakin merasa kesulitan, karena segala macam panah telah ia tembakkan ke tubuh Ghatotkaca,  tapi tak ada yang bisa melukainya apalagi membunuhnya.  Ada perasaan ngeri dan takut terhadap Ghatotkaca yang semakin mengamuk tak dan tak ada satupun yang bisa mengendalikannya.  Maka dengan terpaksa Karna mengeluarkan senjata pamungkasnya berupa lembing sakti bernama Konta.  “Terimalah ini wahai keturunan Pandawa!” Maka melesatlah lembing sakti Konta dari tangan Karna mengarah tepat ke dada Ghatotkaca, putra Bima dari Hidimbi. 
5
Tan dwâ trus ddadda sang Ghâttotkaca wawang mǔrcchâmangö sakshanna.
Ndah tan jrih mabangun sawega tumêddun mungsir sang  Anggâdhipa.
Singgih Bhimasutânggakâra mahârep mâtyâ mangungsi kiwul.
Nkân lumpat Rawiputra lês curiannâmbonglot matinggal ratha.
5
Lembing Konta tepat mengenai dada Ghatokaca.  Meskipun demikian Ghatotkaca tidak segera tewas Cuma membuatnya pingsan beberapa saat.  Setelah siuman dari pingsannya, ia segera turun dari angkasa mencari Karna.  Sungguh Ghatotkaca bertanggung jawab dengan tugas yang diberikannya untuk bertempur melawan Raja Angga Karna.  Sementara Karna yang melihat Ghatotkaca  semakin murka seperti banteng ketaton, meskipun sudah terluka parah tetapi tandangnya masih mengerikan, membuatnya ketakutan.  Maka ia cepat melompat dari kereta perangnya lalu melarikan dir menghilang meninggalkan keretanya di medan pertempuran.  Suatu perbuatan yang curang menurut aturan perang.
6
Ngkâ ta dyah tumêddun mati rathani sang Karnnâkiwul sarathi.
Yekân garjjita Korweҫwara lawan yodhâ saduyyodhana.
Tan mangkâng para yodha Panddawa tiddêm kapwâlârâҫânangis. Tan waktan wara Bhima Dharmmatanayâdan mangswa mâtyâmuka.
6
Pada waktu itu Ghatotkaca yang sudah mendekati ajal karena luka di dadanya yang begitu parah, menjatuhkan tubuhnya yang besar  ke arah kereta perang Karna yang sudah meninggalkan keretanya.  Kereta perang Karna hancur berantakan bersamaan dengan tewasnya sais kereta perang Karna.  Demi melihat Ghatotkaca putra Bhima telah gugur di medan laga, maka raja Kurupati bersama seluruh pasukan Kurawa teramatlah senang hatinya.  Sementara di pihak Pandawa dan seluruh pasukannya merasa sedih dan menangis .  yudhistira putra Dewa Dharma dan Bhima kembali bersiap-siap untuk kembali mengadakan serangan balasan, tak pedulikan nyawa mereka akan gugur dalam serangan itu.



Pustaka :
Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto
Kakawin Bharata-Yuddha, Bhratara – Jakarta 1968

Bumi Pangarakan, Bogor
Selasa, 29 Desember 2015 – 18:18 WIB


"SENI BUDAYA NUSANTARA": "GHATOTKACA PERLAYA" Oleh : Ki Slamet 42: Seni Budaya Nusantara Selasa, 29 Desember 2015 - 21:33 WIB Wayang Kulit Ghatotkaca KAKAWIN BHARATA-YUDHA PUPUH XIX ...

"SENI BUDAYA NUSANTARA": DUA BUAH SASTRA MAGIS DARI KI WONGSO PANJI INDRAJI...

"SENI BUDAYA NUSANTARA": DUA BUAH SASTRA MAGIS DARI KI WONGSO PANJI INDRAJI...: Ki Slamet 42 “ AJIAN PENGASIHAN ” Ki Slamet 42 Jikalah kita ada miliki mantra aji pengasihan Tentulah kita harus   bersyukur...

Rabu, 23 Desember 2015

"MELANGKAH PASTI" Karya : Ki Slamet 42


Ki Slamet 42

“MELANGKAH PASTI”
Karya : Ki Slamet 42

Meski beta hanya sebutir molekul di alam ini
Dan tiada bisa berbuat banyak untuk negeri
Tapi beta akan tetap melangkah dengan pasti
Berjalan di atas marga berpayung ajaran religi

Meski gerak langkah beta acap kali terhalang
Selalu saja datang cobaan yang aral melintang
Namun beta akan berupaya keras membentang
Segala macam onak duri yang datang merintang

Meski gerak langkah beta banyaklah ditentang
Kebenaran religi harus jadi dasar alas penerang
Dalam setiap langkah tak bolehlah terguncang
Hanyalah karena diganggu bahkan pun diserang

Meskipun raga beta mati jiwa perlaya sirna nyawa
Beta akan tetap terus melangkah bertekad baja
Tebarkan sebarkan dan pancarkan ujar-ujar kata
Mencurah hati maknai hidup dalam karya sastra

Bumi Pangarakan, Bogor
Kamis, 24 Desember 2015 – 05:08 WIB


" SAJAK & PUISI KI SLAMET 42 ": "MELANGKAH PASTI" Karya : Ki Slamet 42: Ki Slamet 42 “MELANGKAH PASTI” Karya : Ki Slamet 42 Meski beta hanya sebutir molekul di alam ini Dan tiada bisa berbuat...

AJARAN IMAN DALAM PERTUNJUKAN WAYANG

Selasa, 23 Desember 2015
Ki Slamet 42 di Pangarakan, Bogor - 15:44 WIB

Ki Slamet 42
Denmas Priyadi Blog : "Wayang Islami" - Sudahlah sama kita ketahui bahwa kesenian wayang yang sudah banyak mengalami perubahan di sana-sini baik secara bentuk fisik wayangnya itu sendiri maupun makna yang terkandung di dalam ajaran-ajaranya yang dibawa oleh para penyebar Islam di Jawa semata-mata adalah untuk da’wah Islam.  Oleh karena itu tentu dalam setiap pertunjukan wayang menyisipkan ajaran Islam terutama yang berkait ajaran Islam tentang iman.

 
Pada semua lakon, perlengkapan dan peralatan wayang purwa yang menciptakan adalah wali.  Semuanya merupakan gambaran kehidupan manusia, dewa dan hewan yang tak bernyawa tadi jika tidak dimainkan dan digerakkan oleh sang dalang maka semua manusia, hewan dan dewa-dewa yang berujud manusia itu tidak akan bermakna apa-apa. Tidak ada simbol gerak kehidupan di alam dunia ini.  Oleh karena itu dalam kaitannya dengan kepercayaan Islam, itu berkait rukun iman pertama, percaya adanya ALLAH.  Meskipun adanya dunia dan segala isinya ini juga karena kudratullah, akan tetapi tiada bisa hidup tanpa dihidupi oleh kudratullah itu. 

Begitu pula dalam pertunjukan wayang, Apabila segala sesuatunya telah sempurna disiapkan, maka mulailah dalang memainkan pertunjukan wayang.  Pertunjukan wayang yang biasanya dimainkan semalam suntuk itu hanya mengambil satu lakon saja.  Jumlahnya agak banyak tetapi pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan yang kalah dan yang menang.  Kalah dan menang itu didahului dengan perang tanding adu kesaktian.  Akhirnya apabila menurut lakon atau cerita suatu tokoh mesti kalah, ya kalah.  Walaupun ujudnya lebih perkasa dan persenjataannya lebih lengkap.  Sedangkan tokoh yang harus dimenangkan, ya harus dimenangkan itu tentu pihak yang benar menurut pertimbangan akal yang sehat.

Hal menang atau kalah dalam bertanding dalam hubungannya dengan agama Islam, termasuk rukun iman yang kelima, percaya terhadap kepastian (takdir baik dan buruk).  Adapun tindak peperangan berebut kemuliaan itu, menunjukkan arti usaha manusia.  Ummat Islam tidak boleh hanya menyerah pada nasib, sebelum berdaya upaya sungguh-sungguh dalam mengusahakan keduniaan.  Oleh sebab itu, maka dalam perang tanding tadi, meskipun menghadapi berbagai kesukaran, tetapi apabila dia benar, maka akan mendapat kemenangan dan kemuliaan. (SP)

PUSTAKA :
Drs. H. Effendi Zarkasi, Unsur-Unsur Islam Dalam Pewayangan.
PENERBIT :
Alfa Daya, Jakarta 1981
Bumi Pangarakan, Bogor
Selasa, 23 Desember 2015 – 14:54 WIB


Blog Denmas Priyadi: WAYANG ISLAMI: AJARAN IMAN DALAM PERTUNJUKAN WAYANG: AJARAN IMAN DALAM PERTUNJUKAN WAYANG Denmas Priyadi Blog : "Wayang Islami" - Sudahlah sama kita ketahui bahwa keseni...

Jumat, 18 Desember 2015

PERTUNJUKAN WAYANG DAN TASAWUF Oleh : Drs. Effendi Zarkasi




PERTUNJUKAN WAYANG DAN TASAWUF
Oleh : Drs. Effendi Zarkasi

Mengenai hal ini Ki Siswoharsojo menguraikan sebagai berikut:

Adapun hal-hal yang menyebabkan samarnya ajaran-ajaran ke-ISLAM-an dalam pewayanga ialah karea ajaran itu berada pada hal-hal yang nampaknya serba k ke-Budhaan, olah karena itu makan jarang orang dapat menyingkap tabir kehalusan ajaran ke-ISLAMAN-an yang terdapat di dalam pertunjukan wayang Purwa.  Malah, orang yang sudah mengaku Islam seperti sudah dikhitan, kawin, juga percaya kepada kebudayaan.  Buktinya masih adanya upacara “ngeruat”yang masih berlaku sampai sekarang ini.

Hal yang demikian itu hanya karena tidak tahu, kemudian ada pertanyaan dalam hati kita asing-masing.  Salah siapa, ada ajaran tidak terang-terangan yang menyebabkan timbulnya takhayul?  Jawabannya  adalah bahwa diciptakannya pertunjukan kesenian Wayang Purwa di Demak itu, memang dengan maksud untuk tuntunan bagi umat Islam yang telah sampai pada taraf tharikat, supaya mendapat obor untuk mencapai hakikat dan ma’rifat.  Oleh karena itu, maka tidak aneh bagi orang yang belum mengenal tharikat.  Tidak mengetahui betapa halusnya ke-Islaman dalam pewayangan.  Sebaliknya bagi mereka yang telah mempelajari tasawuf, walaupun lambang itu ujud apa saja tidak akan mengherankan mereka dan akan mengetahui apa maksudnya.

Oleh karena itu, maka semua yang diusulkan oleh Sunan Kalijaga, “Islam harus diajarkan  dengan menggunakan alat kesenian yang ada, dan harus sedikit demi sedikit”.  Memang merupakan satu kebijaksanaan umat mulai syari’at sampai ma’rifat.

Buat mereka yang belum mendalam tentang Islam, baru mau membaca syahadat atau Halimah thasyibah dan mengamalkan sebagian ajaran Islam saja, hukumnya sudah dianggap Islam juga.  Apalagi buat mereka yang telah memegangi rukun iman yang enam dan mengamalkan rukun Islam yang lima itu.  Buat mereka yang telah mendapat hidayah jalan yang lurus (mengamalkan thariqat) jika dia sudah merasa cukup dengan itu saja, juga sudah boleh menamakan dirinya Islam.  Adapun buat mereka yang bermaksud mencapai hakikat dan ma’rifat sesudah melalui jalan thariqat, jalan itu lalui dituruti dengan segala keimanan, maka Insya Allah tentu akan sampai pada ma’rifat, di situlah baru dapat dianggap sempurna Islamya.  Demikian antara lain pendapat Prof. T.  Tohir Abdul Muin, dalam Kitab Pengantar Ilmu Kalam.

salah satu lakon Wayang Purwa yang bermacam-macam itu yang tepat menjadi gambaran mencapai thariqat, hakikat dan ma’rifat, ialah lakon Dewaruci.

Pustaka:
Drs. Effendi Zarkasi, Unsur Islam Dalam Pewayangan, Alfa Media Jakarta 1981

Ki Slamet 42 - Kp. Pangarakan, Bogor
Sabtu, 19 Desember 2015 – 06:31 WIB


Blog Denmas Priyadi: WAYANG ISLAMI: PERTUNJUKAN WAYANG DAN TASAWUF Oleh : Drs. Effend...: PERTUNJUKAN WAYANG DAN TASAWUF Oleh : Drs. Effendi Zarkasi Mengenai hal ini Ki Siswoharsojo menguraikan sebagai berikut: ...