Sabtu, 29 Juni 2013

I Gusti Ngurah Dwaja: “Craddha atau keyakinan terhadap Hukum karma dan Punarbhawa


Slamet Priyadi Blog│Sabtu, 29 Juni 2013│22:35 WIB

I Gusti Ngurah Dwaja
Kata karma telah terbiasa dikonotasikan oleh pemakaianya"hindu"dengan karma phala adalah penggabungan dua kata yang berasal dari bahasa sangserkerta ,yakni karma dan phala yang karma berarti perbuatan,dan phala berarti hasil perbuatan karma phala berarti hasil perbuatan atau sering disebut hukum karma phala yakni hukum hasil perbuatan sering disbut dengan istilah hukum karma phala. Menyakini kebenaran tentang hakekat hukum karma sangat bermafaat dalam hidup dan kehidupan umat manusia.sebab didalamnya terdapat aksioma yaitu hukum yang tidak terbatalkan atau hukum yang tidak dapat dibatalkan oleh siapa saja. Proses penerimaan hasil perbuatan yang dilakukan oleh seseorang adalah berdasarkan (desa,kala,dan patra) tempat,waktu dan keadaan atau kondisinya secara tradisional proses penerimaan hukum karma phala dibagi menjadi 3 bagian .ketiga bagian yang dimadsud antara lain:

1.Sancita karma phala adalah hasil dari perbuatan seseorang dimasa lampau yang karena seseatu hal belum habis dinikmati pada saat berbuatnya sehingga sisanya merupakan benih yang menentukan dan hasilnya mesti diterima dalam kehidupan berikutnya.

2.prarabha karma phala adalah hasil perbuatan seseorang pada masa kehidupan yang sekarang hasilnya habis dinikmati sekarang juga tanpa ada tersisakan.

3.kriyamana karma adalah hasil perbuatan seseorang yang belum sempat dinikmati pada masa berbuatnya sehingga hasil perbuatanya harus dinikmati pada masa kehidupanya yang akan datang semua perbuatan yang dilakukan tentu mendatangkan hasil. Perbuatan yang baik (subha karma) membuahkan hasil yang baik, dan perbuatan yang buruk (asubha karma) jelas membuahkan hasil yang buruk. Bila seseorang meninggal,bekas-bekasnya perbuatanya (karma wasananya)lah yang mengantarkan roh-rohnya kemanapun ia pergi. Hukum karma phala bersifat universal dalam artian tidak seorangpun yang bisa menghidari hukum karma sebab akibat tersebut. Hukum karma phala sangat bermafaat dalam hidup dan kehidupan  kita. Diantaranya adalah sebagai pengedali pengontrol prilaku seseorang. Dengan demikian seseorang tidak sesuka hatinya dapat berbuat yang tidak baik. Meratapi hidup dan kehidupan punarbhawa ini setiap orang buruk juga. Demikian juga sebaliknya, maka dari itu kita jangan terlena dalam hidup ini. Hukum karma phala merupakan ajaran yang memberikan motivasi kepada setiap orang untuk selalu berbuat yang baik dalam penjelmaan ini. Hal ini sesuai dengan keyakinan umat hindu. 

Dalam hidup manusia memiliki lima lapisan badan, dan ke lima badan itu sangat berguna buat manusia untuk melakoni hidupnya. Diantaranya adalah:

1.anandamayakosa
2.pranamayakosa
3.manomayakosa
4.wijananamaya-kosa
5.Anadamayakosa

Badan kasar kita disamakan dengan Annamayakosa dan empat badan lainya termasuk (pranamayakosa, manoyakosa, wijananamaya-kosa, dan Anandamayakosa) badan halus. Karma wesana itu melekat pada badan halus,menyelubungi atma sehingga mengalami kegelapan awidya dan akhirnya mengalami punarbhawa dalam ajaran agama hindu secara tegas dinyatakan bahwa segala jenis penjelmaan itu merupakan seatu samsara atau penderitaan .jika kita yakin akan hal ini ,maka dapat menjadi motivasi yang positif bagi semua orang untuk dapat memperbaiki kualitas hidupnya dengan selalu berusaha menghindari perbuatan-perbuatanya yang buruk. Dengan demikan walaupun punarbhawa itu sesungguhnya merupakan penderitan ,namun disisi lain punarbhawa merupakan kesempatan untuk melakukan karma yang baik.adanya punarbhawa menurut ajaran agama hindu disebabkan oleh adanya karma wesana. karma wesana adalah bekas bekas perbuatan yang dilakukan oleh manusia bersangkutan.karma wesana itu muncul dari perbuatan manusia .baik buruknya karma manusia dapat menimbulkan baik-buruknya karma wesana. Demikianlah nilai nilai baik dalam kehidupan ini.sangat diterapkan tidak ada seseorang pun di antara kita yang menyia-yiakan amanat hidup ini. Setiap orang hendaknya selalu berupaya memupuk subha karma dan menghidarkan diri dari asubha karma. Dengan demikian apa yang menjadi tujuan utama dari hidup ini akan terjembatanani dan dapat kita wujudkan.kesempatan sebagai punarbhawa merupakan salah satu bagian dari upaya umat manusia untuk dapat mempersatukan kembali atmatnya dengan brahma. Bersatunya atma dengan brahman maka tercapai keadaan Sat Cid ananda, yaitu kebahagian yang kekal dan abadi.dan inilah yang dinamakan moksa. Demikianlah hakekat dari ajaran hukum karma dan punarbhawa yang patut kita realisasikan dalam hidup dan kehidupan ini,sehingga terwujudlah kehidupan yang harmonis dan damai.

Karma Dan Punarbhava

a. Pengertian Hukum Karma

Hukum Karma dan Punarbhawa adalah dua dari lima Sraddha agama Hindu. Kedua ajaran ini diyakini betul memiliki hubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari umat. Hukum Karma telah terbiasa dikonotasikan oleh umat “Hindu” dengan sebutan Karmaphala. Karmaphala adalah penggabungan dua kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, yakni dari kata Karma dan Phala. Kata Karma itu sendiri berasal dari akar kata Kr yang berarti berbuat/melakukan perbuatan, kerja/melakukan suatu pekerjaan dan Phala berarti buah atau dalam kaitanya dengan Karma diartikan sebagai hasil. Sehingga Karmaphala berarti hasil dari perbuatan atau sering disebut hukum Karmaphala yakni hukum hasil perbuatan. Hukum karmaphala merupakan hukum sebab akibat atau hukum aksi dan reaksi. Setiap karma mempunyai phala. Dengan demikian hukum Karma sering disebut dengan istilah hukum Karmaphala. Meyakini kebenaran tentang hakekat hukum Karma sangat bermanfaat dalam hidup dan kehidupan ini. Sebab didalamnya terdapat aksioma yaitu hukum yang tidak terbatalkan atau hukum yang tidak dapat dibatalkan oleh siapapun. Hukum karma berlaku adil dan bersifat universal. Sebelum phala itu kembali kepada sumber karma, maka selama itu phala itu terus berproses menunggu waktu akan kembalinya kepada sumber karma itu sendiri. Karma : The Law of action, karma diartikan sebagai hukum dari tindakan. Apapun yang kita kirimkan keluar akan kembali kepada kita dengan kekuatan yang sama. Karma adalah semua tindakan, semua kerja, semua kata – kata dan semua pikiran yang baik atau buruk, yang benar atau yang salah, disadari ataupun tidak disadari.

b. Jenis-jenis Hukum Karma

Proses penerimaan hasil perbuatan yang dilakukan oleh seseorang adalah berdasarkan (desa, kala dan patra) tempat, waktu dan keadaan atau kondisinya. Secara tradisional proses penerimaan hukum karma phala itu dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, ketiga bagian yang dimaksud antara lain :

1. Sancita Karma
    Sancita Karma adalah akumulasi dari hasil perbuatan seseorang dimasa lampau yang dapat dinikmati dalam kehidupan sesuai waktu yang tepat. Ciri-ciri dan upaya menikmati Sancita Karma:

a. Akumulasi dari karma di masa lalu
b. Benih yang menentukan kehidupan kita yang sekarang.
c. Memiliki kecenderungan dapat dihindari (avoidable)
d. Cara menerima hasilnya adalah dengan Self Control, melalui Yoga : Asana, Pranayama, dan Meditasi. Mempraktekkan cara hidup seorang Yogi seperti Yama, Niyama dan makan makanan Satvik, makanan Rajasik hanya untuk kesehatan dan alasan profesional, sedangkan makanan Tamasik harus dihindari

2. Prarabda Karma
    Adalah hasil perbuatan seseorang pada masa kehidupan yang saat ini dan    hasilnya dinikmati saat ini juga. Ciri-ciri dan upaya menikmati Prarabda Karma :

a. Hasilnya dinikmati saat ini juga
b. Unavoidable (tak dapat dihindari)
c. Cara menerima hasilnya adalah dengan Sembahyang/berdoa, chanting/Japa dapat memberikan kekuatan untuk melampaui efek negatif dari perbuatan buruk yang kita lakukan saat ini dan juga kerendahan hati dapat mengubahnya menjadi efek positif.
d. Tanpa kerendahan hati, Seseorang menjadi egoistis sehingga menaburkan benih negatif untuk dinikmati dimasa yang akan datang.

3. Kriyamana/Aagami Karma
    Adalah bibit dari perbuatan yang baru dilakukan dan hasilnya dinikmati di masa yang akan datang.  Ciri-ciri dan upaya menikmati Kriyamana/Aagami Karma:

a. Bibit karma untuk masa depan
b. Programmable (bersifat sebagai programing diri)
c. Dalam upaya memperoleh bibit yang baik untuk dinikmati dimasa depan maka bertindaklah Nishkaama Karma (bertindak tanpa motif/keinginan pribadi)
d. Satsang (Bergaul dengan teman yang menunjang kesadaran)
e. Menjaga diri dari pemicu negatif
f. Pilihlah profesi, Buku bacaan, kesenangan/hobby yang dapat menunjang peningkatan kesadaran

Swami Shivananda menjelaskan dalam literatur Vedanta bahwa terdapat sebuah analogi yang sangat indah mengenai Karma. Seorang pemanah/pemburu menembakkan anak panahnya ditangan kirinya. Tentu saja anak panah itu tidak bisa kembali. Ia akan menembakkan panah lainnya. Sebendel anak panah dalam kantung panah yang ada dipunggung pemburu adalah Sanchita. Panah yang di lepaskan adalah Praarabdha, dan panah yang ia pegang dan akan ia tembakkan adalah Kriyamana/Aagami Karma. Oleh karena itu, Ia memiliki kontrol penuh dalam Sanchita Karma dan Kriyamana/Aagami Karma, namun ia harus berbuat/bekerja secara sungguh – sungguh dalam Prarabdha Karma.

Semua perbuatan yang dilakukan mendatangkan hasil. Perbuatan yang baik (Subha Karma) membuahkan hasil yang baik. Perbuatan yang buruk (Asubha Karma) jelas membuahkan hasil yang buruk pula. Bila seseorang meninggalkan dunia fana ini, bekas-bekas perbuatannya (Karma Wasana : obsesi - obsesi) yang mengantarkan rohnya kemanapun ia pergi. Hukum karmaphala bersifat universal dalam artian tidak seorangpun bisa menghindarkan diri dari akibatnya. Hukum Karmaphala ini sangat bermanfaat dalam hidup dan kehidupan kita. Diantaranya adalah sebagai pengendali atau pengontrol perilaku seseorang. Dengan demikian seseorang tidak sesukanya dapat berbuat sesuatu. Meratapi hidup dan kehidupan “Punarbhawa” ini setiap orang mau tidak mau harus yakin bahwa perbuatan yang buruk mendatangkan hasil yang buruk juga. Demikian juga sebaliknya, maka dari itu kita jangan terlena dalam kehidupan ini. Hukum karmaphala merupakan ajaran yang memberikan motivasi kepada setiap orang untuk selalu berbuat yang baik, dalam penjelmaan ini.

Karma Sangga dan Karma Yoga

Ada dua macam karmaphala yang berkaitan dengan kehidupan ini yaitu Karma Sangga dan Karma Yoga. Karma Sangga, yaitu segala perbuatan atau tugas kewajiban yang berhubungan dengan keduniawian, menyangkut kehidupan sosial manusia. Bila seseorang karyawan bekerja dengan tenaga jasmaninya akan menerima upah yang disebut “Karma Kara”, sedangkan karyawan yang bekerja dengan tenaga rohani/pikirannya akan menerima upah yang disebut “Karma Kesama”. Karma Yoga, yaitu segala perbuatan yang dilakukan tanpa terikat keduniawian, tanpa memikirkan upahnya, karena keyakinan bahwa segala yang dilakukannya adalah atas kehendak Hyang Widhi sesuai dengan ethika agamanya. Dalam Bhawad Gita disebutkan: Karmani eva dhikaraste Mapalesu kadacanam Makarmaphala heturbur Matesango stwa akarmani. Hanya pada pelaksanaan engkau memiliki hak wahai arjuna, bukan pada hasinya, karena itu lakukan pekerjaan tanpa mengharapkan hasilnya.
Selain itu, dalam Bhagawad Gita juga dijelaskan mengenai Akarma dan Wikarma. Akarma adalah tidak berbuat atau tidak bertindak, sedangkan Wikarma adalah perbuatan yang keliru. Namun perlu disadari bahwa sebagai manusia kita tidak bisa tidak berbuat (akarma). Bahkan tubuhpun tidak dapat terpelihara jika tidak berbuat.

Bentuk – Bentuk Karma

Karma memiliki 3 bentuk yaitu :
1. Karma berbentuk Pikiran
2. Karma berbentuk Kata – kata
3. Karma berbentuk Perilaku
d. Beberapa Cara Memahami Karma
1. Menjadi sadar terhadap pilihan – pilihan kita
2. Menjadi sadar terhadap kehendak – kehendak atau orientasi kita
3. Ingatlah bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk menjadi bahagia atas apa yang kita lakukan

Punarbhava
Keyakinan umat Hindu yang ke empat setelah Karmaphala adalah Punarbhawa. Punarbhawa sering juga disebut Reinkarasi atau Samsara. Punarbhawa berasal dari bahasa Sansekerta, yakni dari kata Punar dan Bhava. Punar berarti lagi, kembali. Sedangkan kata Bhava berarti menjadi, menjelma, lahir. Sehingga Punarbhawa berarti menjelma kembali atau kelahiran kembali. Kelahiran yang kembali ini sesungguhnya merupakan penderitaan yang harus kita akhiri melalui kesempatan hidup ini. Setiap orang hendaknya berupaya untuk tidak menyia-nyiakan hidup ini, bila kita mau dan senang menikmati hidup.
Setelah menjelma dalam hidup ini sebagai mahkluk terutama manusia, kita memiliki lima lapisan badan. Kelima badan itu sangat berguna bagi manusia untuk melakoni hidupnya. Kelima lapisan tersebut disebut dengan Panca Maya Kosa, diantaranya adalah Annamayakosa, Pranamayakosa, Manomayakosa, Wijnanamaya-Kosa, dan Anandamayakosa. Badan kasar kita disebut dengan Annamayakosa dan empat badan yang lainnya termasuk badan halus. Karma Wasana itu melekat pada badan haus, meyelubungi Atman sehingga mengalami keadaan penurunan kesadaran atau lebih tepat disebut Avidya dan Avidya inilah yang membuat mahkluk mengalami Punarbhawa.

Ajaran Hindu secara tegas menyatakan bahwa segala jenis penjelmaan itu merupakan suatu Samsara atau penderitaan. Jika kita yakin akan hal itu, maka dapat menjadi motivasi yang positif bagi semua orang agar dapat memperbaiki kualitas hidupnya dengan selalu berusaha menghindari perbuatan-perbuatan yang buruk. Dengan demikian walaupun Punarbhawa itu sesungguhnya merupakan penderitaan, namun disisi lain punarbhawa itu merupakan kesempatan untuk melakukan karma yang baik. Baik buruknya karma manusia dapat mempengaruhi baik buruk kwalitas Karma Wasananya. Karma Wesana itu muncul dari keinginan – keinginan manusia. Sangat diharapkan tidak ada seorangpun diantara kita yang menyia-nyiakan amanat hidup ini. Setiap orang hendaknya selalu berupaya memupuk Subhakarma dan menghindarkan diri dari Asubhakarma. Dengan demikian apa yang menjadi tujuan utama dari hidup ini akan terjembatani dan dapat kita wujudkan. Kesempatan Punarbhawa merupakan salah satu bagian dari upaya umat manusia untuk dapat mempersatukan kembali Atman dengan Brahman. Bersatunya Atman dengan Brahman maka tercapai keadaan Sat Cit Ananda, yaitu kebahagiaan yang kekal dan abadi. Itulah yang dinamakan Moksa keadaan bebas dari ikatan.

Sumber: Panca Sradh

Sabtu, 22 Juni 2013

Tradisi Saweran Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Sunda Oleh Slamet Priyadi

Slamet Priyadi Blog│Sabtu, 23 Juni 2013│07:26 WIB

Jagad Perwira dan Bunga Restu Dewi Putri syah menjadi pasangan suami istri

Pada hari Jumat, 15 Juni 2013 pukul 09:20, saya menyaksikan prosesi pernikahkan putra kedua saya, "Jagad Perwira" dengan "Bunga Restu Dewi Putri", putri kedua dari bapak Encep Hudri dan ibu Euis (besan) di rumahnya yang beralamat di kampung Tejo Ayu, Cicurug, Sukabumi.
 
Pelaksanaan Ijab Qobul
Ada acara yang cukup unik dan menarik dari keseluruhan prosesi upacara perkawinan tersebut, yaitu acara setelah prosesi pernikahan atau Ijab Kabul Sang Pengantin selesai dilaksanakan yaitu berupa tradisi “Saweran. Dan, tradisi saweran ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah prosesi upacara perkawinan masyarakat sunda secara turun-temurun dilakukan.
 
Acara Saweran Berisi Pituah Bagaimana Seharusnya Berumah Tangga
Dalam pelaksanaannya acara saweran ini dipandu oleh seorang juru sawer yang biasanya diperankan oleh seorang wanita yang tingkat religi, pengalaman dan pengetahuannya dalam seluk beluk bahtera kerumahtanggaan cukup mendalam. Apa yang disampaikan dalam tembang-tembang yang dilantunkannya berisikan pituah-pituah khusus  untuk sang pengantin agar mereka di kemudian hari mampu mengarungi bahtera rumahtangga secara damai, sejahtera, harmonis dan bahagia.

Pada acara Saweran ini, kedua mempelai duduk secara berdampingan, yang didampingi oleh orangtua masing-masing mempelai. Sebuah payung berwarna kuning emas memayungi keduanya. Lantunan tembang-tembang berlanggam sunda disampaikan oleh juru sawer, berisikan pituah-pituah bagaimana seharusnya menjalani kehidupan sebuah mahligai rumah tangga bahagia. Selanjutnya, juru sawer di tengah-tengah lantunan tembang-tembang yang dinyanyikan, menebarkan berbagai jenis benda yang ada dalam “bokor” yang biasanya berisi koin uang recehan, beras, bunga, permen, dan lain-lain kepada semua yang hadir, baik para sanak keluarga maupun para undangan.
 
Add caption
Menurut juru sawer, hal itu merupakan perlambang seperti; uang sebagai lambang kemakmuran, beras sebagai lambang kesejahteraan, permen sebagai lambang bahwa, sepahit apapun proses kehidupan yang dijalani dalam hidup berumah tangga, harus selalu diselesaikan dengan cara yang manis semanis rasa permen.

Yang menarik adalah acara saweran ini merupakan acara yang paling dinanti-nantikan dan sangat disukai anak-anak yang hadir di situ yang pada umumnya mereka adalah anak-anak dari pihak sanak keluarga sendiri dan ada juga putera atau puteri dari para undangan yang ikut orang tuanya saat menghadiri pesta perkawinan. Mereka semua saling berlarian, melompat sana sini, saling berebut koin uang recehan dengan perasaan suka cita dan riang gembira.

Berkait dengan ini, Juru Sawer lebih jauh menegaskas, Tradisi Saweran yang dilakukan pada setiap upacara perkawinan atau upacara khitanan dalam keluarga masyarakat Sunda merupakan lambang rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah rizki yang telah diberikan dan dimilikinya. Lain daripada itu , upacara ritual Tradisi Saweran juga bertujuan agar kedua mempelai pasangan pengantin dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya bahwa di dalam hidup ini, agar selalu saling berbagi, saling membantu, saling bekerja sama, saling tolong menolong terhadap sesama.

Referensi:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud

Penulis:
Slamet Priyadi

Jumat, 14 Juni 2013

Berterimakasihlah pada Orang yang Mencaci Anda


Denmas Priyadi Blog│Rabu, 12 Juni 2013│15:30 WIB

Drs. I Gusti Ngurah Dwaja
ISTRI kerap menjadi sasaran kekesalan suami. Kesalahan sedikit saja, kadang akan dibesar-besarkan. Jika terjadi perlakuan demikian istri diharapkan tetap menanggapinya dengan kelembutan. “Berterimakasihlah pada orang yang mencaci-maki Anda.

Karena itu akan membuat Anda menjadi lebih sabar dan bijaksana,” ujar Gede Prama dalam Seminar “Rebut Masa Depan dengan Menyemai Masyarakat Enterpreneurial” yang digelar Kelompok Media Bali Post bekerja sama dengan Bank Saudara, di Denpasar. Tampil juga sebagai pembicara, founder Medco Group Arifin Panigoro yang mengupas tentang “Tantangan dan Peluang sebagai Surga Masyarakat Entrepreneurial”.

Gede Prama mengatakan tiap tingkatan ke atas pasti selalu akan menemukan banyak halangan, rintangan dan cobaan. Karena tanpa itu, manusia menjadi lemah. Kehidupan harus terus naik. Naik secara material juga spiritual. Keseimbangan ini yang akan membuat manusia bahagia. “Jangan menganggap masalah sebagai racun, tetapi vitamin/berkah. Ini yang akan membuat manusia bertumbuh,” ujarnya.

Rintangan terbesar manusia ada dalam pikirannya. Pikiran positif akan menghadapkan manusia pada peluang, sedangkan pikiran negatif membawa manusia pada ancaman dan halangan. Karena itu, penulis buku “Simfoni di Dalam Diri: Mengubah Kemarahan Menjadi Keteduhan” ini menyarakan peserta seminar untuk selalu berpikir positif.

Ia memberi ilustrasi orang yang mengirimkan kotoran sapi yang diletakkan di halaman rumah tetangganya. Jika berpikir negatif, kotoran sapi ini dinilai sebagai bentuk penghinaan. “Apa maksudnya mengirimkan tahi sapi ke rumahku. Aku tak pernah cari masalah sama dia. Awas aku akan membalasnya.” Kata-kata itu yang bisa jadi terlontar dari mulut orang yang berpikiran negatif. Lain halnya jika penerima kiriman itu berpikir positif. “Tetangga saya itu sangat menaruh perhatian. Mungkin dia melihat tanaman di kebun saya kurang subur dan perlu diberi pupuk. Makanya dia mengirim tahi sapi.”

Gede Prama mengingatkan jangan melihat pesaing atau orang yang membenci kita sebagi musuh, tetapi mereka adalah guru terbaik. Manusia dalam menjalani hidup diharapkan mengikuti mental pengusaha, teguh, dan ulet. Hambatan yang kerap dialami manusia biasanya dikarenakan selalu melihat kendala terlebih dahulu. “Kendala ini harus diubah menjadi kinerja. Di balik penolakan-penolakan itu, kita dituntut lebih kreatif,” ujarnya.

Untuk mencapai suatu keberhasilan, Gede Prama memberikan 4 kunci yakni aspirasi, kebiasaan, konsistensi, dan komitmen. Semua bermula dari aspirasi. Dari aspirasi ini, jika ditekuni (kebiasaan) akan menumbuhkan potensi. Dan, jika dijalani dengan konsisten dan komitmen yang kuat, niscaya mencapai keberhasilan.
Posted:
Drs. I Gusti Ngurah Dwaja
GURU SMAN 42 JAKARTA MENULIS: Berterimakasihlah pada Orang yang Mencaci Anda: Denmas Priyadi Blog│Rabu, 12 Juni 2013│15:30 WIB Drs. I Gusti Ngurah Dwaja ISTRI kerap menjadi sasaran kekesalan suami. Kes...

Drs. I Gusti Ngurah Dwaja: “Implementasi Dharma Dalam Era Kali Yuga"

Denmas Priyadi Blog│Senin, 10 Juni 2013│21:48 WIB

Jiwantani mrtavan - manye
dehinam dharma - varjitam
yato dharmena samyukto
dirgha-jivi na samsayah”
(Niti Sastra XIII. 9)

Artinya : “Orang yang perbuatannya tidak sesuai dengan dharma, sebenarnya ia sudah mati, walaupun masih hidup. Seorang dharmaatma, yaitu orang yang perbuatannya sepenuhnya sesuai dengan dharma, sebenarnya ia masih hidup, walaupun ia sudah mati”.

Drs. I Gusti Ngurah Dwaja (Foto: SP)
Dharma secara umum didefinisikan sebagai kebajikan (virtue), kewajiban (duty) dan agama (religion). Dalam Santi Parwa, Resi Bisma memberikan wejangan kepada Yudisthira, bahwa apapun yang menimbulkan pertentangan adalah adharma, dan apapun yang menyudahi pertentangan dan membawa pada kesatuan, keharmonisan dan keselarasan adalah dharma. Segala aktivitas manusia yang menimbulkan perselisihan, keretakan, ketidak selarasan dan menimbulkan kebencian adalah adharma. Segala upaya manusia yang membantu untuk menyatukan segalanya, mengembangkan cinta kasih kepada Tuhan dan persaudaraan universal adalah dharma. Dharma merupakan penuntun menuju jalan kesempurnaan, penolong untuk penyatuan langsung dengan Tuhan, sadhana untuk mencapai sifat-sifat ilahi dan merupakan jantung etika/susila Hindu. Resi Kanada dalam waisesika sutranya menyebutkan:

“Ya to bhyudayaniksreyasa siddhih so dharmah”. “Yang menuntun untuk pencapaian kemakmuran di dunia, penghentian total dari derita dan pencapaian abadi setelahnya, adalah dharma”.

Empat Macam Dharma
Salah satu dimensi dari kehidupan adalah adanya interaksi antara harapan/cita-cita dengan kerja. Hidup tanpa cita-cita sama dengan mati. Sedangkan cita-cita tanpa kerja hanyalah sebuah mimpi. Hidup adalah sebuah kerja sesuai dengan swadharma masing-masing. Dalam pengertian dharma sebagai kewajiban (duty), ada empat jenis dharma yang dijadikan landasan dalam kehidupan.

Pertama, Asrama Dharma, merupakan kewajiban hidup sesuai dengan tahapan kehidupan manusia yang dikenal dengan catur asrama. Dalam kaitan dengan tujuan hidup untuk mewujudkan Catur Purusa Artha, maka kewajiban manusia yang termasuk dalam Asrama Dharma ini, mempunyai kaitan yang erat. Pada tingkatan Brahmacari Asrama, kewajiban manusia lebih difokuskan pada pengisian /penguasaan ilmu pengetahuan (jnana), baik pengetahuan keduniawian (Aparawidya) maupun pengetahuan kerohanian (Parawidya). Pada tahap Grhasta Asrama, kewajiban hidup lebih diprioritaskan untuk pemenuhan Artha dan Kama yang berlandaskan atas dharma. Sedangkan pada tahapan Wanaprastha dan Sanyasa, kewajiban hidup lebih dititikberatkan kepada pencapaian kelepasan atau Moksha.

Kedua, Warna Dharma, merupakan kewajiban hidup yang berdasarkan atas guna (sifat) / keahlian) dan karma (perbuatan/ kerja). Brahmana warna,mereka yang ahli dalam bidang spritual keagamaan. Ksatria warna, mereka yang ahli dan bekerja dalam bidang sosial ekonomi/ wiraswasta. sedangkan Sudra warna, mereka yang melakukan kewajibannya /bekerja lebih banyak menggunakan tenaga phisik dalam melayani ketiga wama lainnya (Brahmana, Ksatria, dan waisya).

Ketiga, sadharana dharma, merupakan kewjiban umum yang harus dilakukan oleh setiap insan, tanpa memandang asrama maupun warna. kewjiban umum itu antara lain menghormati sesama, kasih sayang (prema) antar sesama dan kepada semua makhluk, pelayanan yang tulus (sewa), pengorbanan, tolong-menolong dan yang lain.

Keempat, Yuga Dharma, merupakan kewajiban manusia yang disesuaikan / dipengaruhi oleh peredaran jaman (yuga). Dalam falsafah Hindu dikenal adanya empat tahapan jaman (Yuga), yaitu Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga.

Dalam Slokantara disebutkan:
“Pada jaman Satya Yuga tapabratalah yang diutamakan, pada jaman Treta Yuga pengetahuan yang diutamakan. Di jaman Dwapara Yuga upacara kurban (yadnya) yang diutamakan, dan di jaman Kali Yuga hanya kebendaan yang diutamakan”
(S.81.65).

Dalam Tirthayatra Parwa, yang merupakan bagian dari wana Parwa (salah satu parwa diantara delapan belas parwa dalam Mahabaratha) dikisahkan pertemuan antara Bima dengan Hanuman di lembah Gunung Gandhamadana. Dalam pertemuan tersebut, Hanoman memaparkan panjang lebar tentang perwatakan manusia, keadaan alam, pada tiap-tiap yuga dan Catur Yuga. Pada jaman satya Yuga kewajiban masing-masing warna dalam catur warna dilaksanakan dengan semestinya, ajeg, dan dilandasi oleh kebajikan yang utuh. selama Yuga ini tidak ada penyakit, kerusakan, dendam/kebencian, keangkuhan, kemunafikan, kelicikan, ketakutan, kesengsaraan, iri hati dan tidak ada keserakahan.

Pada jaman Satya Yuga dikiaskan Hyang Narayana (Tuhan Yang Maha Esa) berbusana warna putih. Pada jaman Treta Yuga, dharma (kebajikan) surut seperempat bagian, persepsi tentang kebenaran mulai beragam. Kemampuan intelektual (jnana dan wijnana) mendapat tempat yang terhormat pada jaman ini. Tokoh-tokoh Upanisad seperti; Yadnavalkya, Uddalaka Aruni, Nachiheta, Swetaketu dikisahka hidup pada jaman ini Hyang Narayana ( Tuhan Yang Maha Esa) dikiaskan menggunakan busana warna merah. Pada jaman Dwapara Yuga, dharma (kebajikan) surut setengah bagian. Hyang Narayana dikiaskan menggunakan busana kuning. Kemampuan untuk memahami/mendalami Weda mulai berkurang. Sifat-sifat yang dibalut oleh rajah dan tamah mulai merasuki kehidupan manusia. Bentuk-bentuk dan sarana pemujaan berkembang pada jaman ini. Jaman Dwapara Yuga merupakan era Itihasa/sejarah kehidupan Rama pada epos Ramayana dan Krishna pada epos Mahabarata, dimana Rama dan Krishna merupakan Awatara Wisnu yang ditugaskan untuk menumpas adharma di dunia. Di jaman Kali Yuga, kebajikan (dharma) hanya tinggal seperempat bagian. Hyang Narayana dikiaskan menggunakan busana hitam. Berbagai jenis penyakit, bencana alam bermunculan pada jaman ini. Catur Warna tidak lagi menjalankan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang ditetapkan. Upacara, dana punya, tapa berata tidak patut dijalankan lagi. Sifat-sifat buruk yang ditimbulkan oleh guna rajah dan tamah mencapai puncaknya pada jaman ini.

Dharma dan Kali Yuga
Kali Yuga adalah jaman (yuga), dimana kita umat manusia sekarang berada. Menurut Prof. Sir Monier Williams,MA,KOIE, pakar dan Guru Besar bahasa Sanskerta, Kali Yuga telah mulai tepat tengah malam antara tanggal 17 dan 18 Pebruari 3102 Sebelum Masehi (bertepatan dengan penobatan raja Pariksit, cucu Arjuna). Bila dihitung sejak tanggal 18 Juni 1996 yang lalu, Kali Yuga telah dijalani oleh umat manusia selama 5098 tahun lebih 4 (empat) bulan. Dalam Manawa Dharmasatra (I. 64-73) dan Bagawadgita (VIII.17) diulas mengenai lamanya masing-masing jaman (yuga) dalam Catur Yuga. Satya Yuga lamanya/berusia 1.728.000 tahun, Treta Yuga 1.296.000 tahun, Dwapara Yuga 864.000 tahun, dan Kali Yuga berusia/lamanya 432.000 tahun. Usia /lamanya seluruh Yuga adalah 4.320.000 tahun, dan disebut satu kalpa. Dengan demikian jarnan Kali Yuga masih tersisa kurang lebih 426.902 tahun. Suatu rentang/kurun waktu yang cukup panjang. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pada jaman Kali Yuga, dharma / kebajikan hanya tinggal seperempat bagiannya. Hal ini merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari / ditolak. Kita umat manusia yang hidup di jaman ini hanya bisa berupaya memperkecil /meminimalkan pengaruh - pengaruh buruk yang di bawa oleh Kali Yuga. Rsi Bhisma yang beralaskan/berbantalkan ratusan anak panah, sambil menantikan ajalnya tiba saat gerakan matahari ngutarayana (berbalik ke utara), dalam Anusasana Parwa, beliau tidak henti-hentinya memberikan wejangan kepada Panca Pandawa, khususnya kepada Yudhistira yang akan memegang tampuk pemerintahan di Astinapura.

Khususnya mengenai Kali Yuga beliau mengatakan:
“Cucuku Yudhistira, tidak seorang manusia pun akan mampu melepaskan diri sama sekali dari pengaruh Yuga ini. Hanya dengan pengetahuan dharmalah yang akan mampu sedikit melepaskan diri dari pengaruh tiap-tiap Yuga. Setelah jaman Dwapana sekarang ini. Kali yuga segera akan tiba, yang ditandai dengan kegoncangan dunia sebagai akibat oleh awidya (kegelapan). Raja-raja tidak lagi memberi sedekah, tetapi sebaliknya justru raja-raja yang disedekahi oleh orang-orang kaya”.

Kitab Manawa Dharmasastra menyebutkan, yang dianggap paling berharga pada jaman Kali sekarang ini adalah uang atau harta benda. Bila uang dapat dikuasai, segala benda pemuas nafsu akan mudah didapatkan. Pada salah satu bait kekawin Niti Sastra menyebutkan:

“Yan Yuganta Kali dateng tan hana
mengeluwihaning Sang Maha-dana,
Sang Sura Pandita Widagda pada
mengayap ring Sang Daneswara”.
Atinya : “Bila jaman kali datang,
tidak ada yang lebih hebat dari orang kaya,
Para Ksatria (pejabat),
Pendeta dan orang pandai,
semua sebagai pelayan orang kaya”.

Bertolak dari “hitam kusamnya” jejak-jejak yang dibawa oleh zaman Kali, antisipasi-antisipasi apa yang mungkin masih bisa diupayakan guna meminimalkan pengaruhnya. Jawabannya sudah jelas adalah “back to Religion”, kembali ke jalan Dharma. Jadi bagaimana pelaksanaannya dharma di era Kali Yuga ini adalah minimal, tetap bisa membentengi diri kita di era Kali Yuga ini adalah setidak-tidaknya, tetap bisa mempertahankan kewajiban yang hanya tinggal seperempatnya itu dengan membentengi diri kita dengan Sradha (keimanan) yang kuat. Untuk memelihara etos kerja supaya tetap memiliki semangat melayani yang tinggi, kita bisa simak isi Sloka Bhagawagita (11.47) di bawah ini :

“Kewajibanmu hanyalah pada pelaksanaan kerja,
tidak ada hasil dari kerja itu.
Jangan hasil pekerjaan itu jadi motivasimu
dalam melaksanakan kerja.
Dan jangan sekali-kali engkau berdiam diri”.

Ditingkat sadhanah (pendakian spiritual) atau pendekatan diri kepada Tuhan, kita bisa simak Sloka berikut:
Perenungan/samadi adalah cara rnenghubungkan diri kepada Tuhan di jaman Satya Yuga, kurban suci jaman Yuga, pemujaan pada lingga di jaman
Dwapara Yuga, dan pengucapan maha mantra/kirtanam di jaman Kali Yuga.
(Srimad Bhagawatam 12.3.52)

Jadi berdasaran sloka di atas, cara yang paling tepat dilakukan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan di jaman Kali ini, adalah dilakukan kidung suci (kirtanam) dan menyebut nama Tuhan (namasmaranam). Dalam membentengi iman kita, sedemikian sehingga kita memiliki persepsi yang teguh, internalisasi yang mendalarn tentang kekuatan hukum karma, dan dapat memaknai realitas suka duka kehidupan, sloka berikut sangat kontekstual untuk kita kontemplasikan di jaman “kebendaan” sekarang ini:

“ayuh karma ca vittani ca
vidya nidham eva ca
pancaitani hi srjyante
garbhasthasyewa dehinah”.

Umur, pekerjaan, kekayaan,
Pengetahuan dan kematian,
kelima hal ini sudah ditentukan
sewaktu kita masih ada dalam
kandungan.
(Canakya Nitisastra IV.1)

Dalam upaya mengurangi rasa kikir, pengaturan Bhoga, Upabboga, dan Paribhoga, serta memobilisasi semangat berdana punya, bisa kita simak apa yang tersurat dan tersirat dalam sloka berikut:

Hendaknya perolehan harta benda itu dibagi tiga, satu bagian untuk kepentingan dharma/dana punya bagian kedua untuk memenuhi kama, dan bagian ketiga untuk kegiatan usaha memperoleh artha. Demikian hakekat pembagiannya oleh orang yang ingin memperoleh kebahagiaan. (Sarasamuscaya 262).

Perolehan sebanyak banyaknya dan berikan pula sebanyak-banyaknya. Hendaknya engkau bekerja dengan seratus tanganmu dan berdamailah dengan tanganmu.
(Atharvaveda VII.50.)

Ucapan Svami Vivekanda berikut merupakan senjata ampuh untuk menangkal/menanggulangi gejala seksual yang kian merebak di era yuga ini. Sudah barang tentu tidak cukup hanya dengan menyimak ucapan beliau saja, namun diperlukan upaya penyadaran diri terus-menerus untuk menepis perilaku asusila yang satu ini. Dalam buku Suara Vivekananda, beliau berkata:

“Bagi para pria, setiap wanita,
kecuali isterinya sendiri harus
dianggap/dipandang
sebagai ibunya sendiri”.
Dan bagi para wanita, setiap pria,
kecuali suaminya sendiri harus
dianggap sebagai anaknya.”

Andaikan saja setiap insan (kaum laki dan perempuan) mempunyai pandangan/pemikiran seperti Vivekananda, maka dunia ini akan terbebas dari pelecehan seksual.

Harapan:
Hembusan angin Kali Yuga kian deras di setiap sudut kehidupan di bumi ini. Kita sebagai umat tidak akan pernah kekurangan/ kehilangan tempat berpijak di tataran “landasan Spiritual”, guna meminimalkan pengaruh jaman kali ini. Berbuatlah seperti anak kera (markata nyaya), yang berpegang teguh kepada induknya, agar tidak jatuh, manakala sang induk loncat dari dahan yang satu ke dahan yang lain. Berperilakulah seperti anak kucing (Marjara Nyaya), serahkan diri sepenuhnya, kendati sang induk tampak seperti memakannya, namun itulah cetusan kasih sayang sang induk kepada anaknya.
Posted by:
*) Drs. Igusti Ngurah Dwaja adalah ketua PGRI unit SMA Negeri 42, anggota team penulis Kurikulum 2013

GURU SMAN 42 JAKARTA MENULIS: Drs. I Gusti Ngurah Dwaja: “Implementasi Dharma Da...: Denmas Priyadi Blog│Senin, 10 Juni 2013│21:48 WIB Jiwantani mrtavan - manye dehinam dharma - varjitam yato dharmena samyukto dir...